Bola.com, Solo - Satu di antara klub tua di Indonesia, Persis Solo, sudah terlalu lama tidur dari kompeisi kasta tertinggi.
Dulu, Persis terkenal begitu superior pada awal sepak bola Indonesia, yakni era Perserikatan tahun 1930-an. Mereka meraih tujuh gelar juara. Sayangnya, tim yang genap berusia 97 tahun sampai detik ini masih berkutat di kompetisi Liga 2 dan terus berjuang kembali ke level tertinggi.
Baca Juga
Media Negeri Jiran Panaskan Rumor Pelatih Karismatik Malaysia Jadi Arsitek Gres Persis di BRI Liga 1
Cerita Legenda Chelsea Temukan Bakat Hokky Caraka: Dulunya Bek dan Diubah Jadi Striker, Bangga Masuk Timnas Indonesia
Vietnam Mau Mainkan Pemain Naturalisasi Brasil Rafaelson aka Nguyen Xuan Son di Piala AFF 2024 Vs Timnas Indonesia, Masih Tunggu Izin FIFA
Advertisement
Tim yang memiliki julukan Laskar Sambernyawa menjalani tahun demi tahun yang begitu susah untuk kembali menemukan masa kejayaan. Setelah Perserikatan, mereka hanya menjuarai Divisi 2 pada 1994.
Mereka menjadi 'raja' pada masa sebelum Indonesia merdeka. Nyatanya, Persis hanya seperti macan ompong hingga masuk era milenium. Padahal klub ini juga menjadi bagian dari sejarah lahirnya PSSI.
Mereka juga memiliki suporter fanatik. Kini, Persis juga sudah bisa menggunakan Stadion Manahan, yang sudah direnovasi menjadi stadion mewah dengan julukan Stadion Utama Gelora Bung Karno mini.
Berikut ini ulasan Bola.com tentang sepak terjang Persis Solo dalam mengarungi kancah sepak bola Indonesia yang begitu panjang.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Embrio Lahirnya PSSI
Persis Solo didirikan pada tahun 1923, saat Indonesia memasuki era perjuangan untuk merdeka. Sejumlah tokoh di kota Bengawan kala itu mendirikan sebuah bond sepak bola dengan nama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB).
Nama VVB kemudian digantikan menjadi Persatuan sepak bola Indonesia Surakarta atau yang dikenal saat ini dengan Persis Solo pada tahun 1928, seiring adanya gerakan Sumpah Pemuda. Persis bersama enam bond di Jawa menginisiasi lahirnya PSSI pada 1930 di Yogyakarta.
Persis Solo menjadi raja di awal era berdirinya PSSI. Mereka meraih tujuh gelar juara kompetisi Perserikatan, yakni pada 1935, 1936, 1939, 1940, 1941, 1942, dan 1943. Itu menjadi bukti Persis sebagai kekuatan besar di sepak bola Indonesia pada masa itu.
Advertisement
Tidur Panjang
Tim yang memiliki ciri khas warna merah ini tidur terlalu pulas, bahkan hingga memasuki era milenium. Persis tidak mampu menyamai torehan prestasi sesama bond yang penuh sejarah seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, dan Persib Bandung.
Persis tercatat meraih gelar terakhirnya pada tahun 1943, atau dua tahun sebelum Indonesia merdeka. Ini merupakan waktu yang sangat lama bagi sebuah tim legendaris.
Adanya kompetisi Galatama dan Ligina pada medio 1990-an, Persis masih saja terpuruk di kasta bawah. Tim kebanggaan wong Solo terlalu lama berkutat di level Divisi I setidaknya hingga tahun 2006.
Ada beberapa faktor yang menghambat prestasi Persis. Pembinaan yang berjalan di tempat hingga finansial klub yang sangat terbatas. Selain itu, Solo sempat menjadi surga bagi klub-klub Jakarta untuk dijadikan markas.
Pamor Persis semakin tenggelam dengan kehadiran Arseto Solo, Pelita Solo, hingga Persijatim Solo FC.
Perlahan, Persis bangkit setelah mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah, meski kembali lagi terseok-seok seperti sekarang ini.
Prestasi Singkat
Momentum kebangkitan Persis Solo baru dirasakan pada tahun 2006. Pemerintah daerah setempat memperhatikan Persis dengan serius dan berhasil promosi kasta tertinggi, yakni Divisi Utama.
Persis mampu melahirkan pemain-pemain muda berbakat ketika itu, dua diantaranya adalah penjaga gawang Wahyu Tri Nugroho dan bek Wahyu Wiji Astanto. Keduanya berhasil menembus Timnas Indonesia.
Persis menjadi kekuatan tersendiri pada Liga Djarum 2007. Mereka mendatangkan pemain dengan nama besar, yakni Greg Nwokolo, Hari Saputra, Rudi Widodo, Alvin Kie, dan Frank Seator.
Sayangnya, berada di kasta tertinggi hanya berlangsung singkat. Pada musim berikutnya, PSSI menyusun kompetisi level tertinggi dengan nama ISL pada tahun 2008. Persis hanya mampu finis di peringkat ke-10 grup barat gagal gagal bertahan di level utama.
Selanjutnya, pencapaian Persisstagnan dari musim ke musim sampai saat ini. Meski pernah melaju ke fase delapan besar pada 2014, Persis kembali kesulitan bersaing memperebutkan tiket promosi.
Advertisement
Dukungan Suporter Fanatik
Persis Solo sangat beruntung memiliki kelompok suporter yang begitu fanatik dan militan. Pasoepati sejatinya bukanlah suporter asli Persis.
Pasoepati lahir saat adanya Pelita Solo, yang kemudian mendukung Persijatim Solo FC. Hingga akhirnya, Pasoepati mendeklarasikan diri sebagai suporter Persis Solo untuk selamanya.
Pasoepati tidak lelah mendukung perjuangan Persis. Saat tim kebanggaannya bertanding di level manapun, Pasoepati all out dalam mendukung.
Selain mendukung dengan total dalam setiap pertandingan, Pasoepati juga dikenal sebagai suporter yang kritis demi kemajuan tim kebanggaannya. Tidak jarang, Pasoepati melakukan aksi kritis kepada Persis, termasuk memboikot laga kandang seperti pada Liga 2 musim 2019.