Bola.com, Jakarta - Playmaker dalam pemainan sepak bola adalah seorang pemain dengan karakteristik istimewa di sektor tengah. Tak sembarang pemain bisa memainkan peran tersebut, tak terkecuali di Timnas Indonesia.
Pemain dengan sebutan playmaker, yang identik dengan nomor 10 dalam permainan sepak bola, memang sosok yang sangat penting dalam sebuah tim. Pemain di posisi ini sering kali menjadi sosok yang diperlukan oleh sebuah tim untuk bergantung.
Baca Juga
5 Penjualan Terbaik yang Pernah Dilakukan Arsenal, Nicolas Anelka Paling Bikin Untung Nih
11 Pemain yang Kawinkan Gelar Piala Dunia dan Liga Champions pada Tahun yang Sama: Elite Banget!
Komparasi 3 Skuad Timnas Indonesia Asuhan Shin Tae-yong yang Gagal di Piala AFF: Materi dan Persiapan Edisi 2024 Jadi Biang Kerok
Advertisement
Perannya menjadi dirijen sebuah tim. Ia harus pintar mengatur tempo, membaca skema permainan lawan, hingga menyodorkan umpan-umpan terukur yang memanjakan rekan-rekannya.
Tak hanya itu, playmaker juga merupakan roh dari sebuah tim. Pemain ini biasa menjadi pengatur alur permainan tim, apakah bermain cepat atau lambat. Andrea Pirlo dan Xavi Hernandez adalah contoh playmaker kelas dunia di era sepak bola modern.
Sementara itu, Michel Platini, Zinedine Zidane, Johan Cruyff, atau pun Diego Armando Maradona, merupakan deretan playmaker ulung tempo dulu yang aksinya membius publik sepak bola dunia. Kiprah mereka di zamannya dikenang hingga kini. Mereka masuk kategori maestro sepak bola.
Timnas Indonesia pun memiliki sederet playmaker kelas atas, dari masa ke masa.
Harus diakui jumlah mereka terhitung tak banyak. Serbuan pemain asing sejak 1995 di sektor tengah membuat pesepak bola lokal kesulitan mengasah kemampuan sebagai pengendali permainan.
Mayoritas klub kompetisi kasta elite lebih senang menempatkan playmaker asing dalam timnya. Mereka biasanya berasal dari negara-negara Amerika Latin dengan bekal skill individu di atas rata-rata.
Walau persaingan amat ketat, tetap muncul figur-figur lokal yang menjelma menjadi playmaker elite.
Firman Utina jadi pemain terakhir yang posisinya tak tergantikan sebagai playmaker di Timnas Indonesia, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Pelatih-pelatih Tim Merah-Putih terlihat kesulitan mencari pemain menggatikan Firman.
Belakangan muncul sosok Evan Dimas, pemain belia yang diyakini bakal selevel dengan Firman. Akankah demikian?
Bola.com memilih lima figur playmaker terbaik di Timnas Indonesia dari berbagai era. Siapa-siapa saja mereka dan bagaimana prestasinya?
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Ronny Pattinasarany
Bagi Anda yang menggemari Timnas Indonesia pada era 1970 hingga 1980-an, nama Ronny Pattinasarany pasti sangat akrab di telinga. Pemain kelahiran Makassar berdarah Ambon ini terbilang sukses membawa Indonesia bicara di level Asia.
Ronny memulai karier di PSM Makassar sejak level junior pada 1966. Dalam dua tahun ia pun naik ke tim PSM senior dan sempat didaulat menjadi Olahragawan Terbaik Nasional 1976.
Ronny kemudian bergabung dengan klub Galatama, Warna Agung, di mana ia sukses menjadi pemain terbaik Galatama pada 1979 dan 1980. Ia pun kembali meraih predikat Olahragawan Terbaik Nasional pada 1981.
Setelah bersinar bersama Timnas Indonesia, Ronny sempat didaulat masuk dalam All Star Asia pada 1982 setelah sebelumnya membawa Indonesia meraih medali perak SEA Games 1979 dan 1981.
Ban kapten timnas pun pernah melingkar di lengan pemain berjulukan "Si Kurus" itu ketika nama Indonesia melambung di level Asia.
Ronny Pattinasarany memutuskan gantung sepatu pada 1983. Ia kemudian melanjutkan karier sebagai pelatih. Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Petrokimia Gresik, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara, dan Persija Jakarta adalah kumpulan klub yang pernah ditanganinya.
Ronny sudah tutup usia pada 19 September 2008 dalam usia 60 tahun. Selama satu tahun berjuang melawan kanker hati, akhirnya salah satu idola sepak bola Indonesia itu pergi untuk selamanya dengan nama yang sangat harum.
Advertisement
Fakhri Husaini
Fakhri Husaini adalah salah satu playmaker terbaik yang dimiliki Indonesia di era 1990-an. Baik di level klub maupun timnas, ia adalah sosok yang sangat penting bagi awal serangan timnya. Ia memulai karier bersama Bina Taruna sebelum kemudian berlabuh ke Lampung Putra dan Petrokimia Putra.
Fakhri kemudian mendarat di Pupuk Kaltim Bontang, di mana namanya sangat melekat dengan klub yang kemudian dikenal dengan nama Bontang FC itu. Playmaker satu ini mengantarkan Pupuk Kaltim hingga menjadi runner-up Liga Indonesia 1999-2000.
Panggung utama Fakhri didapatkan di final SEA Games 1997 di Jakarta. Bersama timnas Indonesia asuhan Henk Wullems, Fakhri sukses mencapai partai puncak setelah membantu mencetak gol ke gawang Singapura dalam kemenangan 2-1 di semifinal. Namun, meski sudah memperlihatkan permainan terbaiknya di final, Fakhri gagal mempersembahkan medali emas bagi Indonesia.
Bersama timnas Indonesia yang dibelanya sebanyak 42 pertandingan pada rentang tahun 1986-1997, ada 13 gol lahir atas namanya. Fakhri kemudian memutuskan untuk gantung sepatu dan meneruskan kariernya dengan menjadi pelatih. Ia sempat melatih tim PON Kalimantan Timur yang meraih medali perunggu pada PON 2004.
Sempat melatih Pupuk Kaltim, pria kelahiran 27 Juli 1965 itu kemudian membesut Timnas Indonesia U-16 dan U-19 pada 2015. Namun, dua tim besutan Fakhri gagal bertanding karena Indonesia mendapat sanksi dari FIFA.
Fakhri kemudian kembali ke Timnas Indonesia U-16. Di tangan Fakhri, Timnas Indonesia U-16 merengkuh satu gelar bergengsi, Piala AFF U-16 2018 dan dua trofi turnamen Turnamen Jenesys 2018 dan Tien Phong Plastic Cup 2017.
Ansyari Lubis
Umpan-umpannya terkenal akurat. Tendangan bebasnya pun sangat bagus. Ansyari Lubis juga sempat berduet dengan Fakhri Husaini di SEA Games 1997. Bahkan hingga usia 40 tahun, playmaker Indonesia yang satu ini masih memperlihatkan kemampuan yang mumpuni dalam mengolah bola.
Ansyari Lubis memang terhitung cukup lama berada di Timnas Indonesia, sejak 1990 hingga 2003. Pemain kelahiran Tebing Tinggi 29 Juli 1970 itu juga pernah didaulat menjadi kapten tim Garuda dalam pra-Olimpiade 1992.
Ada dua hal menarik dari seorang Ansyari Lubis dalam kariernya sebagai pesepak bola. Pertama, ia sempat menjadi pemain nasional dengan transfer termahal di Indonesia ketika diboyong dari Medan Jaya oleh Pelita Jaya pada tahun 1993. Nilai transfernya tidak tanggung-tanggung, yaitu Rp 25 juta, yang merupakan jumlah yang sangat besar pada saat itu.
Kemudian yang kedua adalah keberhasilannya menjadi Top Scorer Galatama pada 1993. Seorang playmaker sukses menjadi pencetak gol terbanyak dalam satu musim kompetisi dengan 14 gol untuk Pelita Jaya, yang membuatnya juga menjadi Pemain Terbaik Galatama 1993.
Advertisement
Ponaryo Astaman
Salah satu playmaker andal yang dimiliki Indonesia pada era 2000-an. Malang melintang di sejumlah klub Indonesia, dan sempat merumput di Malaysia, Ponaryo Astaman adalah seorang pengatur serangan yang juga bisa berperan sebagai gelandang bertahan.
Gaya bermainnya mirip gelandang serang Inggris, Frank Lampard atau Steven Gerrard.
Ponaryo memulai karier di PKT Bontang pada 2000 sebelum akhirnya hijrah ke PSM Makassar pada 2004. Ponaryo memulai kariernya di timnas Indonesia pada 2003, di mana ia sukses mencetak satu gol di Piala Asia 2004 dan membawa Indonesia meraih kemenangan pertama di ajang tersebut saat menang 2-1 atas Qatar.
Memperkuat Malaka Telekom pada 2006 hingga 2007, Ponaryo didaulat menjadi kapten Timnas Indonesia di ajang Piala Asia 2007 yang digelar di empat negara, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sayang Indonesia tidak berhasil lolos dari fase grup setelah hanya meraih satu kemenangan saat menghadapi Bahrain di laga pertama.
Ponaryo hingga ini masih aktif bermain. Ia sempat membela Arema Malang, Persija Jakarta, Sriwijaya FC, dan kembali ke PSM Makassar. Kini pemain kelahiran Balikpapan itu menjadi pengurus Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) dan komentator.
Firman Utina
Pemain yang mengawali karier di Persma Manado ini dikenal sebagai pengatur irama permainan tim di era sepak bola modern Indonesia. Begitu meninggalkan klub kampung halamannya dan bergabung bersama Persita Tangerang, nama Firman Utina semakin dikenal karena penampilan gemilang bersama La Viola.
Firman pun kemudian masuk dalam Timnas Indonesia untuk SEA Games 2001 yang digelar di Malaysia. Sejak itu, Firman pun menjadi salah satu langganan untuk masuk dalam skuat Garuda.
Salah satu penampilan cemerlang Firman Utina bersama timnas Indonesia adalah saat menghadapi Bahrain di pertandingan pertama Piala Asia 2007. Kontribusi besar Firman terhadap gol yang dicetak Bambang Pamungkas dan Budi Sudarsono membuatnya menjadi Man of the Match pada laga tersebut.
Puncak karier Firman di timnas Indonesia pun didapatkan pada Piala AFF 2010 yang digelar di Indonesia. Firman, yang menjadi wakil kapten timnas saat itu, lebih sering mengenakan ban kapten karena Bambang Pamungkas lebih sering dicadangkan oleh Alfred Riedl karena kehadiran Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim di lini depan.
Performa apik Firman di lini tengah Tim Garuda membuat sosoknya terlihat semakin sentral. Firman mampu membayar kepercayaan Riedl dengan penampilan cemerlang, salah satunya saat memberikan umpan matang kepada Cristian Gonzales yang berbuah gol di leg pertama dan kedua laga kontra Filipina di semifinal Piala AFF 2010.
Firman kerap berpindah pelabuhan di level klub. Prestasi Firman bersama klub dimulai saat mengantarkan Arema Indonesia menjadi juara Copa Indonesia dua kali berturut-turut pada 2005 dan 2006. Ia kemudian menjadi juara Indonesia Super League bersama Sriwijaya FC pada 2011-2012 dan bersama Persib Bandung pada 2014.
Advertisement
Evan Dimas
Pemain muda yang digadang-gadang akan menjadi bintang Timnas Indonesia pada masa depan. Nama Evan Dimas Darmono melesat usai mengantarkan timnas U-19 Indonesia menjadi juara Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo.
Evan Dimas menjadi sosok pengatur tempo permainan timnya. Piawai memberikan umpan-umpan matang, punya kemampuan eksekusi tendangan bebas yang bagus, dan akurasi serta kekuatan tembakan jarak jauh yang luar biasa.
Evan memulai karier di SSB Sasana Bhakti dan Mitra Surabaya. Ia kemudian meneruskan karier bersama Persebaya Surabaya dan sempat merasakan trial bersama klub sepak bola Spanyol, Espanyol, pada awal tahun ini.
Setelah sukses menonjol bersama Timnas U-19, Evan Dimas pun masuk dalam skuat Timnas U-23 yang berlaga di SEA Games 2015 di Singapura dan timnas senior di Piala AFF 2014. Sayangnya, kontribusi Evan Dimas tak berhasil membantu tim Garuda meraih hasil maksimal.
Tim Garuda Muda gagal meraih medali SEA Games 2015 karena kalah di semifinal di tangan sang juara, Thailand, dan kemudian kalah dari Vietnam di perebutan medali perunggu.
Namun, Evan tetap memperlihatkan penampilan terbaiknya. Gol perdana bagi timnas Indonesia saat menang 5-1 atas Laos di Piala AFF 2014 membuatnya diperhitungkan untuk menjadi sosok yang akan membawa tim Garuda meraih sukses.
*Artikel ini ditulis oleh Bola.com dengan judul 6 Playmaker Ulung di Timnas Indonesia, terbit 5 September 2016.