Bola.com, Sleman - Jagat sepak bola Indonesia pernah diguncang peristiwa memalukan, yakni sepak bola gajah yang dilakukan oleh PSS Sleman dan PSIS Semarang pada tahun 2014. Kedua tim sama-sama tidak menunjukkan sikap sportif dalam sebuah pertandingan resmi.
Tepatnya pada 26 Oktober 2014 atau lima tahun yang lalu, dalam pertandingan terakhir babak delapan besar Divisi Utama. PSS dan PSIS sama-sama sudah memastikan diri lolos ke semifinal. Namun, mereka tidak ingin menang dalam laga terakhir.
Baca Juga
Gelandang Timnas Indonesia, Eliano Reijnders: Akan Sangat Indah jika Bisa Melawan Belanda dan Tijjani di Piala Dunia 2026
Erick Thohir Blak-blakan ke Media Italia: Timnas Indonesia Raksasa Tertidur, Bakal Luar Biasa jika Lolos ke Piala Dunia 2026
Erick Thohir soal Kemungkinan Emil Audero Dinaturalisasi untuk Timnas Indonesia: Jika Dia Percaya Proyek Ini, Kita Bisa Bicara Lebih Lanjut
Advertisement
Dalam pertandingan yang berlangsung di Stadion Sasana Krida AAU, Yogyakarta (26/10/2018), PSS berhasil keluar sebagai pemenang dengan skor akhir 3-2. Anehnya, baik Elang Jawa PSS maupun Mahesa Jenar PSIS dengan sengaja melakukan gol bunuh diri.
Kedua kubu tidak niat memenangkan pertandingan, sejak peluit sepak mula dibunyikan wasit Hilman Simangunsong. Lebih dari satu jam, pemain hanya bermain-main di daerah pertahanan sendiri. Mereka mengoper bola seperti latihan, tidak ada niat untuk menyerang pertahanan lawan.
Kejanggalan mulai terlihat ketika memasuki menit 78. Gelandang PSS, Agus Setiawan mencetak gol ke gawang sendiri dan penjaga gawang membiarkan bola masuk gawangnya.
Sepuluh menit kemudian, PSS kembali melakukan gol bunuh diri lewat Hermawan Jati untuk memberikan keunggulan 2-0 bagi PSIS.
Aksi itu mendapat balasan dari PSIS yang akhirnya menjaringkan tiga gol ke gawang sendiri. Gol bunuh diri pertama PSIS lahir dari Fadli Manan menit 89, dua gol bunuh diri PSIS lainnya dicetak Komaedy pada menit 90+1' dan 90+3'.
PSS yang menjadi pemenang dalam laga ini. PSSI dan FIFA turun tangan untuk menginvestigasi tindakan memalukan tersebut. Media-media internasional pun ikut mengulas peristiwa itu.
Sejumlah pelaku sepak bola gajah baik dari PSS maupun PSIS mendapat hukuman yang berbeda-beda. Kini kedua tim masih eksis di kompetisi kasta tertinggi dan telah lepas dari bayang-bayang kasus memalukan lima tahun silam.
Banyak pihak yang hingga kini masih mengalami kerugian atas insiden tersebut. Karier sebagian pelaku kini sudah tamat atas peristiwa itu.
Bola.com merangkum sejumlah hal berkaitan dengan misteri sepak bola gajah antara PSS dan PSIS pada musim 2014.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1. Bukan Peristiwa Pertama
Peristiwa sepak bola gajah yang dilakukan PSS dan PSIS ternyata bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Istilah sepak bola gajah pertama kali mencuat pada 21 Februari 1988, ketika Persebaya Surabaya kalah telak 0-12 dari Persipura.
Saat itu, Persebaya sengaja mengalah untuk menjegal PSIS lolos ke babak semifinal. Syaratnya, Persebaya harus kalah dengan skor minimal 0-4. Persebaya pun harus mambiarkan gawangnya dibobol hingga selusin gol. Cara memalukan ini dilakukan Persebaya untuk membalas sakit hati mereka terhadap PSIS.
Pada musim sebelumnya, PSIS mengandaskan impian Persebaya lolos ke partai final setelah dianggap mengalah dari PSM Makassar. Dendam inilah yang disinyalir menjadi alasan Persebaya.
Dari situlah muncul istilah sepak bola gajah. Wasit yang pemimpin pertandingan berasal dari Lampung yang merupakan tempat gajah-gajah bermain bola.
Selain itu, menjadi istilah yang masuk akal karena seperti gajah-gajah yang tak tahu harus mencetak gol ke gawang mana lantaran arah bola dikendalikan oleh pawang.
Advertisement
2. Demi Menghindari Borneo FC
Satu di antara faktor yang menjadi pemicu PSS dan PSIS melakukan praktik sepak bola gajah adalah karena adanya tim Pusamania Borneo FC. Mereka menganggap klub asal Kalimantan Timur ini memiliki kekuatan nonteknis kala itu.
PSS maupun PSIS yang bertarung di Grup 1, tidak menginginkan bertemu Borneo FC pada partai semifinal. Kedua tim menghindari berjumpa Borneo FC demi satu tiket promosi ke ISL.
Inisiatif mencetak gol bunuh diri muncul setelah mendengar informasi hasil pertandingan lain di grup 2 yang mempertemukan Borneo FC vs Persis Solo dan Martapura FC vs PSCS.
Memasuki menit akhir, Borneo FC ternyata menang WO atas Persis Solo dan menjadi runner-up grup, sementara Martapura FC memetik kemenangan 1-0 atas PSCS. Hasil itu membuat Martapura FC keluar sebagai juara grup 2.
PSS dan PSIS tidak ingin menang agar menjadi runner-up dan bertemu Martapura FC di semifinal.Â
PSS akhirnya tampil sebagai juara grup grup 1 dengan 14 poin dan PSIS menempati peringkat 2 dengan 11 poin. Dengan demikian, PSS akan bertemu Borneo FC dan Martapura FC menghadapi PSIS di semifinal.
PSS dan PSIS akhirnya didiskualifikasi. Jatah tiket ke semifinal diberikan pada digantikan oleh PSGC Ciamis dan Persiwa Wamena yang sebenarnya tidak lolos.
3. Pelaku Dibebaskan
Setelah peristiwa itu, PSSI bereaksi dan menjatuhkan hukuman bagi para pelaku sepak bola gajah. PSSI menerbitkan surat berisi sanksi yang beragam bagi pelaku.
Mayoritasnya hukuman adalah larangan berkecimpung di sepak bola Indonesia seumur hidup. Namun, pada awal Januari 2017, PSSI melalui Ketua Edy Rahmayadi mengeluarkan surat keputusan bahwa lebih dari 20 pelaku sepak bola gajah 2014 itu telah dibebaskan dari sanksi. Para pelaku bebas untuk kembali berkarier pada kompetisi musim 2017.
Sejumlah nama besar pemain maupun pelatih yang ikut terlibat, telah dibebaskan dan kini kembali berkarier di klub. Pelatih PSS kala itu, Herry Kiswanto, kemudian pemain, di antaranya Anang Hadi, Mudah Yulianto, Monieaga Bagus, Rasmoyo, Guy Junior, Saktiawan Sinaga, hingga Kristian Adelmund.
Sementara di kubu PSIS, terdapat pelatih Eko Riyadi, pemain Anam Syahrul, Sunar Sulaiman, Eli Nasoka, serta dua pemain asing Ronald Fagundez dan Julio Alcorse.
Beberapa pemain membela Mahesa Jenar, yakni Safrudin Tahar dan Hari Nur Yulianto, serta manajer tim saat itu, Wahyu Winarto dan sekarang merupakan GM PSIS.
Advertisement