Bola.com, Jakarta - Dalam perjalanan Timnas Indonesia sejak 1938 hingga saat ini, begitu banyak pelatih-pelatih dari berbagai belahan dunia pernah singgah untuk menjadi arsitek tim. Sejumlah nama merupakan pelatih kelas dunia, mulai dari Wiel Coerver hingga Shin Tae-yong saat ini.
Bahkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pernah mengapungkan sebuah ide untuk merekrut pelatih top kelas dunia untuk Timnas Indonesia. Nama Jose Mourinho sempat muncul jadi wacana pada 2016, di mana saat itu PSSI baru saja lepas dari hukuman FIFA.
Baca Juga
3 Penggawa PSBS yang Menonjol dalam Kebangkitan Mereka di BRI Liga 1: Semakin Nyaman Berkreasi
Deretan Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia yang Sebaiknya Main di Piala AFF 2024: Ngeri-ngeri Sedap Kalau Gabung
Mengulas Rapor Buruk Shin Tae-yong di Piala AFF: Belum Bisa Bawa Timnas Indonesia Juara, Edisi Terdekat Bagaimana Peluangnya?
Advertisement
Pada perjalanannya, Timnas Indonesia pernah disinggahi pelatih-pelatih yang punya reputasi kelas dunia. Sayangnya kehadiran mereka tak otomatis mengatrol prestasi Tim Merah-Putih di persaingan ASEAN, Asia, atau dunia.
Luis Milla yang pada 2017 mendapatkan kesempatan menangani Timnas Indonesia U-22 dengan pengalaman membawa Timnas Spanyol U-21 menjuarai Euro U-21 2011, pun meleset dari target yang ditetapkan PSSI.
Namun, PSSI dalam perjalanannya memang cukup sering melihat prestasi seorang pelatih di level dunia sebagai pertimbangan untuk bisa mengangkat prestasi Timnas Indonesia.
Berikut daftar pelatih-pelatih dengan reputasi internasional mentereng yang sempat singgah menangani Timnas Indonesia.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Wiel Coerver
Wiel Coerver merupakan pelatih klub top Belanda, Feyenoord. Dia nyaris membawa Timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal 1976, sebuah tendangan penalti dari Anjas Asmara yang melayang mengubur mimpi Timnas Indonesia ke olimpiade.
Skuat Merah putih berhasil melaju ke final kualifikasi. Sayangnya, pasukan Garuda harus tersingkir setelah ditundukan Korea Utara melalui drama adu penalti, 4-5.
Coerver yang lahir pada 3 Desember 1924 memenangi Kejuaraan Belanda 1956 ketika memperkuat Rapid JC (sekarang Roda JC). Pada periode 1975 sampai 1976, Coerver menukangi skuat Merah Putih.
Dia didatangkan khusus untuk membantu Timnas Indonesia lolos kualifikasi Olimpiade 1976. Kala itu, Indonesia baru kembali ke pentas internasional setelah dijatuhi sanksi larangan tampil selama 16 tahun akibat memboikot pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958 melawan Israel.
Walau berada di Indonesia dalam waktu yang singkat, nama Coerver melegenda. Ia dinilai sukses membangun pondasi gaya bermain sepak bola Indonesia.
Di pentas internasional, prestasi Wiel Coerver amat mentereng. Ia mengantar Feyenoord mengalahkan Tottenham Hotspur untuk memenangi Piala UEFA 1974 silam.
Gerrad Meijer yang bertugas sebagai fisioterapis di Feyenoord selama 50 tahun, mengatakan Coerver merupakan sosok dengan semangat yang tinggi. Ketika baru tiba di Feyenoord, dasar-dasar sepak bola menjadi materi utama Coerver. Teknik yang diajarkan Coerver membuat para pemain benar-benar berkembang.
Selain Indonesia dan Feyenoord, Coerver juga pernah melatih Sparta Rotterdam, Roda JC Kerkrade dan Go Ahead Eagles. Namun, bukan kiprahnya sebagai pelatih yang membuat Coerver terkenal di persepakbolaan internasional.
Dia terkenal dengan metode kepelatihannya yang disebut Coerver Method. Metode ini dinilai sebagai sistem kepelatihan paling sukses di era sepak bola modern. Metode ini menggabungkan kemampuan pesepak bola menggiring bola, mengoper, kecepatan, pergerakan satu-lawan-satu, dan penyelesaian.
Advertisement
Ivan Toplak
Ivan Toplak datang ke Indonesia dengan rapor bagus mengantar timnas Yugoslavia meraih perunggu di Olimpiade Los Angeles 1984. Kehadirannya diharapkan bisa meneruskan kisah sukses pelatih-pelatih asal Eropa Timur macam Tony Poganick serta Anatoli Polosin.
Apesnya, mentor berkewarganegaraan Serbia tersebut gagal total saat dipercaya menakhodai Timnas Indonesia di SEA Games 1993. Padahal, dua tahun sebelumnya Polosin sukses mempersembahkan medali emas.
Pelatih ini merupakan pesepak bola top Yugoslavia pada 1950-an. Semasa masih menjadi pemain, Toplak bermain di posisi striker. Jebolan tim muda Branik Maribor ini mengawali karier seniornya di klub Olimpija Ljubljana.
Empat musim kemudian, ia hijrah ke klub Red Star Belgrade dan bertahan di sana hingga tujuh tahun lamanya. Gantung sepatu pada 1961, Toplak terjun ke dunia kepelatihan pada 1964 dan Red Star Belgrade jadi klub pertama yang ia asuh.
Dua tahun berselang, Toplak hijrah ke Amerika Serikat dan membina karier di sana hingga 1975 bersama California Clippers, klub sepak bola Universitas Stanford, dan San Jose Earthquakes. Pulang ke kampung halaman pada 1976, Toplak didapuk melatih timnas Yugoslavia.Â
Dengan kontrak sebesar Rp 300 juta untuk periode dua tahun, Toplak dibebani target berat membawa Tim Garuda juara SEA Games 1993 serta lolos ke putaran final Piala Dunia 1994 dan Olimpiade Atalanta 1994.
Sayangnya tak satupun target itu sukses diwujudkan. Toplak punya catatan penting buat Timnas Indonesia. Rapuhnya organisasi dan kerja sama, serta individualisme yang cenderung menonjol, membuat Indonesia kerap harus pulang dengan tangan hampa di berbagai ajang internasional.Â
Toplak merasa mentalitas para pemain perlu dibangun sejak usia dini. Ia memberi saran ke PSSI untuk membentuk Timnas Indonesia level junior berjenjang mulai U-19 hingga U-21. Saran itu disampaikan karena ia merasa kesulitan mendapatkan talenta muda saat membesut Tim Merah-Putih.
Romano Matte
Pelatih asal Italia, Romano Matte didatangkan PSSI untuk memegang Timnas Indonesia di SEA Games 1995, menggantikan Ivan Toplak.Â
Sang mentor diyakini bisa langsung membaur dengan pemain-pemain Tim Merah-Putih kala itu yang didominasi oleh jebolan Timnas Primavera yang menempa diri di klub Serie A, Sampdoria.
Romatto Matte merupakan pelatih tim Primavera Sampdoria. Ia kepanjangan tangan pelatih asal Swedia, Sven-Goran Eriksson, yang menangani tim utama Sampdoria.
Benar saja, berbeda dengan Ivan Toplak yang gemar memakai tenaga tua, Romano Matte lebih percaya kepada anak muda.
Skuat SEA Games dihuni bintang-bintang belia yang pernah berguru di Negeri Pizza macam Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Kurnia Sandy, yang notabene dikenal betul gaya permainannya oleh Matte.
Dua tahun kemudian PSSI memilih Henk Wullems yang sukses mengantarkan Bandung Raya juara Liga Indonesia 1995-1996. Di tangan pelatih asal Belanda tersebut Indonesia menembus final SEA Games 1997.
Di sisi lain, sepulang dari Indonesia Romano Matte meneruskan karier di kampung halamannya. Pada tahun 2000-2001 ia sempat menangani timnas Mali, namun tak juga sukses.
Advertisement
Peter Withe
Peter Withe datang ke Indonesia sebagai pelatih setelah mempersembahkan dua gelar untuk Timnas Thailand di turnamen Piala AFF 2000 dan 2002.
Kehadiran pria yang kini berusia 64 tahun tersebut, membawa perubahan besar bagi sepak bola Indonesia. Ia juga merupakan orang yang menemukan talenta hebat dari Boaz Solossa yang bersinar di Piala AFF 2004.
Walau Indonesia hanya jadi runner-up di Piala AFF, publik sepak bola nasional puas pada performa Tim Garuda yang tampil trengginas sepanjang turnamen sebelum dikalahkan oleh Singapura di laga puncak.
Sebelum banting setir jadi pelatih, Peter Withe adalah pesepak bola tenar di Inggris. Bermain sebagai seorang striker, ia dikenal amat haus gol. Sepanjang kariernya ia mencetak 178 gol (satu di antaranya buat timnas Inggris).
Ia membawa timnya Aston Villa meraih gelar Piala Champions di tahun 1982 setelah mengalahkan Bayern Munchen. Kemenangan Aston Villa atas Bayern Munchen di final itu tak lepas dari peran Withe. Ia menjadi orang yang mencetak gol semata wayang kemenangan timnya di laga tersebut.
Selain di Aston Villa, Peter pernah bermain di klub-klub populer di Inggris macam, Birmingham City, Nottingham Forest, dan Newcastle United.
Sayang, di Indonesia mantan penyerang yang dikenal jago dalam duel-duel udara kariernya berakhir tragis. Ia didepak sebagai pelatih Timnas Indonesia, karena gagal membawa Tim Merah-Putih melaju ke semifinal Piala AFF 2007.
Foppe de Haan
Foppe de Haan adalah pelatih kondang Belanda yang mengantarkan Jong Oranje mengukir sejarah dengan merebut gelar Piala Eropa U-21 2006 dan 2007. Ia diminta jadi Direktur Teknik (pada prakteknya sebagai pelatih) Timnas Indonesia U-23 di ajang Asian Games Qatar 2006.
Pelatih legendaris yang menemukan bakat Marco van Basten hanya diberi waktu selama tiga bulan untuk menempa Tim Garuda Muda. Saat itu Timnas Indonesia U-23 yang dipimpin Bambang Nurdianyah menggelar pelatnas jangka panjang di Negeri Kincir Angin.Â
Namun, saat turnamen Timnas Indonesia U-23 yang kala itu dibela pemain macam Ahmad Bustomi, Tony Sucipto, Bobby Satria, dan Ferry Rotinsulu jadi bulan-bulanan.
Tim asuhan Foppe de Haan digasak Irak 0-6 di Al-Ahly Stadium, Doha. Setelah itu mereka kalah 1-4 dari Suriah dan hanya bisa meraih hasil imbang 1-1 kontra Singapura.
Pencapaian ini jadi noda hitam karier pelatih kelahiran 26 Juni 1943 pemegang rekor terlama mengarsiteki sebuah klub di Liga Utama Belanda. Foppe melatih SC Herenveen selama 19 tahun.
Advertisement
Wim Rijsbergen
Wim Rijsbergen memulai karier sepak bola lewat klub Leiden Roodenburg. Puncak karier Rijsbergen sebagai pesepak bola terjadi di Feyenoord Rotterdam pada musim 1973-1974.
Saat itu, ia sukses meraih dua gelar yaitu Liga Belanda serta Piala UEFA. Kariernya di timnas Belanda, bisa dikatakan cukup gemilang. Ia berhasil membawa Oranje ke final Piala Dunia 1974 dan 1978, meskipun harus puas di posisi runner-up. Rijsbergen juga membawa Belanda menjadi peringkat tiga Piala Eropa 1976.
Pada zamannya Wim Rijsbergen pernah menjadi bek tengah terbaik dunia. Ia dikenal sulit dilewati penyerang-penyerang top dunia. Memulai karier kepelatihan pada 1988 sebagai pelatih junior Ajax Amsterdam, pada 2005 ia menjadi asisten pelatih Timnas Trinidad dan Tobago.
Wim mendampingi pelatih top Belanda, Leo Beenhakker, dan berhasil meloloskan negara tersebut ke putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Saat Leo berhenti dari Trinidad dan Tobago, Wim naik jabatan sebagai pelatih kepala. Belum sempat memberi prestasi apa-apa ia dipecat karena terlibat keributan fisik dengan salah satu pengurus Federasi Sepak Bola Trinidad dan Tobago.
Pada awal 2011, ia menerima pinangan melatih klub Indonesia, PSM Makassar, yang kala itu berlaga di Liga Primer Indonesia. Hanya menangani Tim Juku Eja setengah musim karena kompetisi bubar jalan, Wim dapat tawaran menarik dari PSSI pada awal 2012.
Ia diminta menggantikan Alfred Rield menjadi pelatih Timnas Indonesia. Sayang saat memimpin Tim Merah Putih di Kualifikasi Piala Dunia 2014 banyak pemain menolak gaya kerasnya.
Imbasnya penampilan Indonesia di sepanjang penyisihan amat mengecewakan. Menjelang laga penutup kualifikasi melawan Bahrain ia dipecat.
Wim Rijsbergen digantikan Aji Santoso. Hasil buruk didapat Tim Garuda dengan kalah 0-10 dari Bahrain, yang menjadi rekor terburuk sepanjang sejarah Tim Merah-Putih di event internasional.
Luis Milla
Luis Milla adalah pelatih Timnas Indonesia yang datang saat PSSI era Edy Rahmayadi ingin fokus membangun tim dari usia muda. Keberhasilan Luis Milla mengantar Timnas Spanyol U-21 menjuarai Euro U-21 2011 jadi faktor pertimbangan besar.
Luis Milla merupakan mantan pemain yang Barcelona, Real Madrid, dan Valencia. Bersama Barcelona, Luis Milla pernah menjuarai La Liga 1984-1985, Copa del Rey 1989-1990, serta Piala Winners Eropa 1988-1989.
Prestasinya berlanjut saat berkiprah bersama Real Madrid. Ia menjuarai La Liga 1994-1995 dan 1996-1997 bersama Los Blancos. Sebelum itu, ia juga sempat menjuarai Copa del Rey 1992-1993 dan Piala Super Spanyol 1993 bersama Real Madrid.
Pada akhir karier profesionalnya, Luis Milla sempat berkiprah di Valencia dan meraih gelar Copa del Rey 1998-1999, juara Piala Intertoto 1998, serta dua kali menjadi runner-up Liga Champions, 1999-2000 dan 2000-2001.
Bicara kepelatihan, Luis Milla memang merupakan sosok yang gemar dengan tim muda. Ia memulai karier tim muda dengan menangani Spanyol U-19 pada 2008 hingga 2010 hingga akhirnya Spanyol U-21 menjadi juara Eropa pada 2011.
Setelah sempat menangani sejumlah klub di Spanyol, Luis Milla mendapat tawaran untuk menangani Timnas Indonesia. Kesuksesan bersama tim muda pun membuat PSSI memintanya untuk menangani Timnas Indonesia dan juga tim muda, di mana Timnas Indonesia U-22 dipersiapkan menuju SEA Games 2017 di Malaysia dan Asian Games 2018 di Jakarta.
Timnas Indonesia U-22 yang saat itu ditargetkan meraih emas SEA Games 2017 di bawah asuhan Luis Milla hanya berhasil meraih perunggu. Namun, pelatih asal Spanyol itu tetap mendapatkan kesempatan untuk meraih goal utamanya, yaitu empat besar Asian Games 2018.
Sayang, Luis Milla kembali gagal membawa Timnas Indonesia U-23 meraih targetnya. Indonesia tersingkir di babak 16 besar karena kalah adu penalti dari Uni Emirat Arab.
Setelah itu, Luis Milla kembali ke Spanyol karena tidak mendapatkan kepastian masa depan setelah kontraknya berakhir pada Agustus 2018. Padahal saat itu Timnas Indonesia harus bersiap untuk pergelaran Piala AFF 2018, di mana akhirnya PSSI menunjuk asisten Luis Milla, Bima Sakti, untuk memimpin tim Garuda di AFF 2018.
Advertisement
Shin Tae-yong
Shin Tae-yong menjadi pilihan PSSI untuk menangani Timnas Indonesia pada akhir 2019. Pelatih asal Korea Selatan ini terpilih setelah PSSI merasa dirinya lebih cocok dengan Tim Garuda ketimbang Luis Milla yang juga menjadi kandidat saat itu.
Shin Tae-yong merupakan pelatih elite di Korea Selatan. Kiprah terbaru sebelum bergabung bersama Timnas Indonesia adalah mengantar Timnas Korea Selatan berkiprah di Piala Dunia 2018.
Meski berhasil menang 2-0 atas Jerman yang juga tersingkir di babak grup Piala Dunia 2018, Korea memang tidak berjalan jauh di kejuaraan sepak bola tertinggi yang digelar di Rusia itu. Kekalahan dari Swedia dan Meksiko dalam dua laga pertama membuat Korea Selatan hanya menempati peringkat ketiga di Grup F.
Sebelum itu, Shin Tae-yong membawa Timnas Korea Selatan U-23 menjadi runner-up Piala AFC U-23 2016 dan membantu tim yang sama melangkah hingga perempat final Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro.
Jauh sebelum itu, Shin Tae-yong pernah membawa klub Korea, Seongnam Ilhwa Chunma, menjuarai Liga Champions Asia 2010.
Setelah terpilih menjadi pelatih Timnas Indonesia pada akhir Desember 2019, Shin Tae-yong pun memulai pemusatan latihan bersama pemain-pemain Indonesia. Pelatih berusia 49 tahun itu pun menyorot kemampuan fisik pemain Indonesia yang berada di bawah standar.
Sayang, belum lama bekerja untuk Timnas Indonesia, Shin Tae-yong harus kembali ke Korea Selatan karena dunia tengah dilanda pandemi COVID-19 hingga saat ini.