Bola.com, Solo - Poros sepak bola di wilayah Jawa Tengah dan DIY, saat ini tertuju pada PSIS Semarang, PSS Sleman, Persis Solo, dan PSIM Yogyakarta. Sejarah panjang dan fanatisme pendukung mereka menjadi pembedanya.
Persis Solo dan PSIM Yogyakarta, sebagai tim legendaris pernah berjaya saat awal pembentukan PSSI. Kemudian PSIS Semarang yang bangga dengan trofi juara Perserikatan dan Liga Indonesia 1998-1999.
Baca Juga
PSM Klarifikasi Polemik Pemain ke-12 ketika Kalahkan Barito Putera 3-2 di BRI Liga 1: Sesuai Arahan Wasit Utama dan Cadangan
Rahmad Darmawan Ceritakan Kronologi PSM Mainkan Pemain ke-12 Vs Barito Putera di BRI Liga 1: Lawan Mengakui, Wasit Tetap Play-on
Tersingkirnya Timnas Indonesia di Piala AFF 2024: Keputusan PSSI Turunkan Skuad yang Belum Matang, Risiko Tanggung Sendiri
Advertisement
Sementara, PSS mulai mencuri perhatian sebagai kuda hitam dalam dua tahun terakhir. Selain mereka, ada sejumlah tim yang pernah mencuat pada jamannya masing-masing. Yakni Arseto Solo, BPD Jateng, dan Persiba Bantul.
Sepak terjang klub-klub ini tidak bisa dilupakan, karena pernah mewarnai persaingan sengit.
Namun sayangnya, tim-tim ini seperti mati suri karena berbagai faktor. Faktor situasi politik, pendanaan, hingga kalah bersaing dengan tim tetangga, menjadi alasan klub-klub tersebut tidak lagi menunjukkan eksistensinya.
Bola.com merangkum tiga tim yang dulu berkibar di wilayah Jateng dan DIY, tapi mengalami fase titik nadir, hingga degradasi ke kasta terendah sampai bubar.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1. Arseto Solo
Klub peserta kompetisi Galatama asal Jakarta, yakni Arseto hijrah ke Solo pada tahun 1983. Klub kaya raya milik keluarga Cendana yakni Sigit Harjojudanto ini begitu tersohor kala itu.
Tim berjulukan biru langit itu pernah memiliki sederet pemain hebat pada masanya. Di antaranya Ricky Yakob, Eddy Haryo, Sudirman, Nasrul Kotto, Inyong Lolombulan, Rochi Putiray, hingga generasi terakhir Miro Baldo Bento, I Komang Putra, dan Agung Setyabudi.
Gelar juara Galatama tahun 1992 menjadi kebanggaan Arseto dan masyakarat Solo pada waktu itu. Stadion Sriwedari yang menjadi homebase, selalu penuh sesak untuk menyaksikan tim yang pernah memiliki julukan miniatur Timnas Indonesia itu.
Secara tidak langsung, kehadiran Arseto membuat pencinta sepak bola Solo lupa dengan Persis Solo yang begitu sulit kembali berkiprah di kasta tertinggi.
Namun, seiring lengsernya Presiden Soeharto, Arseto dibubarkan pada tahun 1998. Kompetisi 1997-1998 ditetapkan force majeure. Liga Indonesia 1997-98 menjadi menjadi jejak terakhir Arseto di sepak bola Indonesia.
Banyak kalangan menginginkan Arseto dihidupkan kembali, mengingat memori yang begitu mengena di hati masyarakat Solo. Setiap tahun, pemain Arseto lintas generasi berkumpul di Solo untuk reuni.
Tidak mudah memang untuk menghidupkan kembali Arseto, karena wewenang sepenuhnya ada pada pemilik klub, Sigit Harjojudanto. Beberapa sumber di mantan pemain Arseto menilai, Sigit belum berkeinginan terjun kembali di sepak bola Indonesia.
Advertisement
2. BPD Jateng
Selain PSIS Semarang, ada tim Bank Perkreditan Daerah (BPD), yang pernah menyemarakkan kiprah sepak bola di kota Atlas. BPD Jateng eksis di kompetisi Galatama medio 1988 hingga 1994.
BPD pernah menjadi klub fenomenal pada musim 1992-1993. Tim yang punya julukan Kepodang atau Blue Force ini menjadi kandidat juara dengan skuat mentereng.
BPD berisi pemain-pemain Timnas Indonesia. Mulai dari kiper Erick Ibrahim, Darma Rachman, Hamdani Lubis, Jaya Hartono, Jessie Mustamu, Widyantoro, Eri Kusnan, Hengky Siegers, hingga Jefridien Anwar.
Dua pemain yang musim sebelumnya membawa Arseto Solo juara, Inyong Lolombulan dan Ricky Yacobi, juga merapat ke BPD. BPD Jateng pernah memiliki statistik mentereng, yakni hanya mengalami sekali kalah dari 16 laga sepanjang putaran pertama dan nyaman di puncak klasemen dan menjadi rekor era Galatama.
Namun, BPD Jateng harus merelakan gelar juara saat itu kepada Arema Malang. Kiprah BPD di sepak bola Indonesia hanya bertahan selama enam tahun karena menyatakan bubar pada 1994.
Hilangnya BPD Jateng dari sepak bola Indonesia bukan soal finansial klub. Namun lebih kepada pergantian pengurus manajemen dari era sebelumnya, yang membuat BPD tak dapat lagi bertahan.
Beberapa tahun terakhir, BPD dengan nama baru Bank Jateng, eksis di bola voli nasional.
3. Persiba Bantul
Persiba Bantul berdiri pada 21 September 1967. Tim berjulukan Laskar Sultan Agung ini masih di bawah bayang-bayang nama besar PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman.
Tahun 2004 merupakan tonggak sejarah sepak bola di Kabupaten Bantul. Setelah menunggu selama 37 tahun, Persiba Bantul akhirnya masuk ke Divisi Satu Liga Indonesia.
Setelah lama berkutat di Divisi I, Persiba untuk pertama kalinya menembus Divisi Utama pada 2008. Mereka tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Persiba untuk bisa menancapkan prestasinya.
Musim 2011 adalah tahun emas tim kebanggaan Paserbumi dengan merebut gelar juara Divisi Utama. Puluhan ribu pendukung Persiba Bantul ketika itu memerahkan Stadion Manahan dan menjadi saksi bagi Fortune Udo dan kawan-kawan menyabet gelar juara.
Meski mengantongi tiket promosi ke kasta tertinggi, Persiba Bantul perlahan tenggelam seiring kompetisi terpecah dengan mengikuti Liga Primer Indonesia (LPI) tahun 2012. Hingga akhirnya Persiba harus turun kasta ke Divisi Utama.
Musim 2017 menjadi titik nadir bagi tim kebanggaan Bumi Projotamansari. Persiba secara ironis harus turun ke Liga 3 hingga musim ini.
Advertisement