Bola.com, Jakarta - Indonesia tidak pernah berhenti melahirkan pesepak bola berkualitas di segala posisi, termasuk penjaga gawang. Pada setiap era selalu lahir kiper-kiper top yang mengawal gawang Timnas Indonesia.
Saat ini, posisi penjaga gawang Tim Garuda mayoritas diisi pemain-pemain muda berbakat, mulai dari Muhammad Adi Satryo (18 tahun), Muhammad Riyandi (20 tahun), dan Nadeo Argawinata (23 tahun). Timnas Indonesia juga memiliki satu kiper senior lainnya, yakni Andritany Ardhiyasa.
Advertisement
Dari nama-nama tersebut, Nadeo yang paling mencuri perhatian. Selain memiliki paras rupawan dan disebut-sebut mirip kiper Chelsea, Kepa Arrizabalaga, performa Nadeo Argawinata dalam mengawal gawang cukup memuaskan.
Meski belum menorehkan caps bersama timnas senior, kiper Bali United itu turut membantu Timnas Indonesia U-23 meraih medali perak SEA Games 2019. Sementara itu bersama Bali United, Nadeo mencatatkan satu clean sheet dan sekali kebobolan dari dua laga di Liga 1 musim ini.
Jauh sebelum Nadeo Argawinata, Indonesia memiliki deretan kiper berkelas yang memiliki prestasi membanggakan. Siapa saja mereka? Berikut ini adalah lima penjaga gawang legendaris yang mengukir tinta emas bersama Timnas Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Maulwi Saelan
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928, Maulwi Saelan adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Tanah Air. Ia pernah membela Timnas Indonesia berlaga di Olimpiade 1956 Melbourne, Australia.
Sayangnya, langkah Tim Merah-Putih terhenti pada perempat final saat melawan raksasa beruang merah, Uni Soviet. Pertandingan ini berjalan dramaris. Skor 0-0, meski sudah ada perpanjangan waktu 2X15 menit. Kala itu aturannya jika pertandingan berakhir seri, laga harus diulang sehari sesudahnya. Pada partai ulangan, Indonesia menyerah 0-4 dari Uni Soviet.
"Saat itu sama sekali tidak ada yang menghitung Indonesia akan bisa merepotkan Uni Soviet. Kami dianggap tim kemarin sore. Nyatanya kami membuat mata publik terbelalak," cerita Maulwi Saelan beberapa tahun lalu.
"Harus diakui tingginya jam terbang uji coba internasional yang dijalani Timnas Indonesia ikut mendongkrak kepercayaan diri para pemain. Sebelum tampil di Olimpiade kami sempat menggelar tur Eropa Timur," lanjutnya.
Kiprah memesona Maulwi Saelan terdengar hingga telinga Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno. Bersama Tim Merah-Putih, sang kiper diundang ke Istana Negara.
"Bung Karno tanya siapa ayah saya," kenang Saelan. Saya kemudian menjawab dengan tegas, "Amin Saelan, seorang pendiri Taman Siswa di Makassar."
Pada 1962, Resimen Tjakrabirawa dibentuk. Saelan dipanggil Bung Karno untuk mengisi jabatan sebagai staf, dan kemudian menjadi wakil Komandan menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus.
Lalu, pada 1966, Maulwi Saelan menjadi ajudan Bung Karno. Saelan menjadi penjaga Bung Karno yang paling setia. Ia menemani Bung Karno hingga akhir hidupnya.
"Bung Karno meninggalkan Istana memakai kaus oblong, piyama, serta sandal usang. Bajunya disampirkan ke pundak," katanya.
Tidak mengherankan, ketika Bung Karno sudah meninggal dan Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, Maulwi Saelan sempat dipenjara beberapa tahun tanpa pengadilan. Ia sebagaimana tahanan yang dianggap terlibat G/30/S, mendapatkan diskriminasi politik ketika orba berkuasa.
Selain menjadi pemain timnas, Maulwi juga sempat menjadi Ketua Umum PSSI periode tahun 1964-1968. Pada 10 Oktober 2016, Maulwi Saelan meninggal dunia dalam usia 90 tahun.
Advertisement
Ronny Paslah
Penjaga gawang kelahiran Medan, 15 April 1947 itu adalah kiper Indonesia yang berkiprah sekitar tahun 1960-an hingga awal 1970. Ia punya julukan Macan Tutul.
Dengan tinggi badan 183 cm, Ronny ketika masih aktif bermain dikenal tangguh menghalau bola-bola atas. Ia disebut-sebut memiliki kemampuan dan kelenturan badan setara kiper legendaris Uni Soviet, Lev Yashin.
Saat Timnas Brasil melakoni tur ke Asia pada 1972, Tim Samba yang ketika itu diperkuat pesepak bola legendaris dunia, Pele, mampir ke Indonesia. Dalam laga persahabatan tersebut Indonesia kalah 1-2, tetapi tetap menjadi momen terindah bagi Ronny, karena berhasil menahan eksekusi penalti Pele.
Prestasi yang dicetak Ronny di Timnas Indonesia adalah juara Piala Agakhan di Bangladesh (1967), juara Merdeka Games (1967), peringkat III Saigon Cup (1970), serta kampiun Pesta Sukan Singapura (1972).
Tidak heran, posisi pemain inti di Timnas Indonesia tak tergantikan sejak 1966 hingga memutuskan pensiun membela negara pada usia 38 tahun. Ronny pensiun total pada usia 40 tahun.
Klub terakhir yang dibelanya adalah Indonesia Muda. Setelah pensiun ia lebih banyak bergelut di bidang olah raga tenis lapangan sebagai pelatih. Bahkan, ia memiliki sekolah tenis lapangan bernama Velodrom Tennis School di Jakarta.
Yudo Hadianto
Menahan serbuan pemain-pemain klub luar negeri semisal Leeds United (Inggris), Benfica (Portugal), dan Dynamo Moskow dari Rusia, merupakan satu di antara pengalaman paling berkesan bagi Yudo Hadianto saat masih aktif menjadi penjaga gawang Timnas Indonesia.
"Pada era saya klub-klub luar negeri memang banyak yang menyambangi Indonesia. Kedatangan mereka membuat permainan skuat Timnas Indonesia kian matang. Jangan heran saat tampil di berbagai turnamen internasional, negara kita kerap jadi batu sandungan tim top," kenang Yudo.
Yudo adalah satu di antara penjaga gawang legendaris yang dimiliki negeri ini. Pencinta sepak bola pada 1960 hingga 1970-an pasti mengenal sosok kerempeng khas Yudo. Saat masih berjaya, Yudo dikenal sebagai penjaga gawang yang tenang tetapi tetap tangkas menyambut datangnya bola.
Kiprah bersama UMS pula yang membawa Yudo masuk skuat Tim Merah-Putih. Kala itu, pelatih asing Tony Pogacnik yang menangangi timnas PSSI memanggil Yudo untuk masuk timnas yunior pada 1961.
Yudo pun tampil di Kejuaraan Junior Asia. Selanjutnya, status kiper timnas selalu di sandang Yudo. Ia tampil menjaga gawang timnas pada sederet ajang internasional. Seperti misalnya juara Merdeka Games (1962, 1969, 1974), King’s Cup Thailand (1978), Aga Khan Cup Bangladesh (1978).
Menariknya di usia yang terhitung senja, Yudo aktif melatih. Hanya saja, ia tidak melatih sepak bola lapangan besar, melainkan futsal.
Namanya tercatat sebagai pelatih kiper Timnas Indonesia Futsal periode 2004-2007. "Pada prinsipnya melatih kiper sepak bola dan futsal sama. Reflek dan kemampuan teknik jadi pegangan utama. Bekal pengalaman yang saya punya saya bagikan turun menurun ke para pemain muda," ucap Yudo yang kelahiran Solo, Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941 itu.
Advertisement
Eddy Harto
Eddy Harto merupakan kunci sukses Indonesia meraih medali emas cabang sepak bola di SEA Games 1991. Pencapaian tersebut masih belum mampu diulang hingga kini.
Di bawah mistar, Eddy memberikan rasa nyaman bagi rekan-rekannya. Timnas Indonesia tampil trengginas sejak fase penyisihan dengan melibas Malaysia 2-0, Vietnam 1-0, dan Filipina 2-1.
Pada partai semifinal, Indonesia mengalahkan Singapura dengan skor 4-2 (diperkuat David Lee dan Fandy Ahmad) melalui babak adu penalti, dan mempermalukan Thailand 4-3 di final (diperkuat Natee Thongsookkaew dan Worawoot Srimaka) juga melalui adu penalti.
Stadion Rizal Memorial, Manila, jadi saksi keceriaan Eddy, Maman Suryaman, Widodo C. Putro, Ferril Raymond Hattu, Robby Darwis, Aji Santoso, Sudirman, dan Bambang Nurdiansyah.
Banyak pengamat menilai Timnas Indonesia bisa sukses di SEA Games 1991 karena didominasi banyak pemain bau kencur usia 20-22 tahun. Selain itu, pelatih Anatoli Polosin layak diacungi jempol.
Pelatih berkarakter keras dan disiplin berkebangsaan Uni Soviet tersebut yang membentuk gaya bermain Indonesia menjadi tim yang solid. Pada dua bulan pertama pemusatan latihan jelang SEA Games 1991, Timnas Indonesia cuma dilatih menempa fisik di pinggir pantai dan kolam renang oleh Polosin, tanpa memainkan bola. Beberapa pemain yang bingung dengan metode kepelatihan Anatoli Polosin tersebut kabur dari pemusatan latihan.
Beberapa pemain timnas yang kabur mengatakan mereka tak pernah dilatih menendang bola, cuma disuruh gendong-gendongan di pinggir pantai dan kolam.
"Saya hampir menyerah ikut pelatnas, karena latihan yang digeber Polosin amat berat. Sehari ia menggelar sesi latihan sampai tiga kali, kesemuanya diisi latihan fisik saja. Cerita-cerita pemain muntah atau pingsan bukan barang aneh," papar Eddy Harto, mengenang masa-masa awal dirinya bergabung di Timnas SEA Games 1991.
Setelah menyakini kondisi fisik pemainnya dalam keadaan prima, Anatoli Polosin baru mengajarkan metoda shadow football kepada seluruh anggota tim. Shadow football merupakan bermain tanpa bola.
Bola imajiner ditunjuk oleh pelatih. Ke mana tangan menunjuk, ke sana pemain harus gerak. Setelahnya para pemain disuruh melakukan latihan pertama bermain selama 90 menit, tanpa arahan apa-apa dari pelatih.
Di pinggir lapangan tampak asisten pelatih Vladimir Urin membuat catatan jumlah sentuhan bola para pemain selama 90 menit. Para pemain Indonesia waktu itu cukup terkejut karena menyentuh bola pun dihitung. Setelah itu dalam sesi latihan, Anatoli Polosin menyuruh para pemain Indonesia meningkatkan jumlah ball touch dalam pertandingan.
Vladimir Urin menjelaskan bahwa touch ball yang dibuat Marco van Basten selama 90 menit tampil di lapangan minimal mencapai 150 kali. Para pemain Indonesia diharapkan dapat mendekati apa yang dilakukan bintang asal Belanda yang baru sukses menjadi juara Piala Eropa 1988 tersebut.
Pada saat metode latihan touch ball inilah pemain Indonesia sadar, bahwa latihan shadow football yang dilakukan sebelumnya sangat berguna bagi mereka. Untuk bisa bergerak aktif pastinya membutuhkan stamina dan fisik yang kuat. Latihan fisik ekstrem yang dijalani para pemain timnas Indonesia membuat para pemain mampu berlari sejauh 4 km dalam waktu 15 menit.
"Fisik kami benar-benar prima. Ibarat kata tidak ada rasa capeknya saat berlaga di lapangan. Refleks saya sebagai penjaga gawang stabil," cerita Eddy.
Eddy merasakan didikan keras ala Polosin berguna saat dirinya menjadi pelatih saat ini. Eddy terhitung sering menjadi pelatih kiper Timnas Indonesia.
Di bawah asuhannya Timnas Indonesia U-23 sukses menjadi runner-up SEA Games edisi 2011 dan 2013. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 16 Juni 1962, yang menempa dua kiper belia, Kurnia Meiga dan Andritany Ardhiyasa, yang langganan menjadi tulang-punggung Tim Merah-Putih.
Hermansyah
Pada era 1980-an nama Hermansyah begitu dikenal. Ada kesan seolah-olah hanya yang bersangkutan penjaga gawang yang dimiliki Indonesia. Maklum, tiap kali Tim Merah-Putih bertanding, Hermansyah hampir selalu mengawal gawang sebagai pemain utama. Itu terjadi pada 1983 hingga awal 1990.
Saat Hermansyah menjadi kiper utama timnas, Indonesia nyaris bisa berlaga di Piala Dunia 1986 Meksiko. Sayangnya, pada partai penentuan babak akhir kualifikasi (fase ketiga), Indonesia yang menjadi juara grup 3 B kalah dari Korea Selatan yang juara grup 3 A.
Bermain di Jakarta, Timnas Merah Putih kalah 1-3 dan saat melawat ke Korsel, Indonesia kalah 0-2. Padahal, jika Timnas Indonesia yang kala itu dilatih Sinyo Aliandoe bisa menggasak Korea Selatan, maka Hermansyah dkk. yang akan berlaga ke Meksiko 1986.
"Menyesakkan jika mengenang kegagalan itu. Kami selangkah lagi lolos ke Piala Dunia. Secara teknik kami tidak kalah dibanding lawan. Hanya ada beberapa hal nonteknis yang mengganggu konsentrasi anggota tim saat itu," ujar Hermansyah.
Satu hal yang membuat Hermansyah awet menghuni skuat Timnas Indonesia ialah kedisiplinan. Kiper kelahiran Sukabumi, 17 Agustus 1963 tersebut dikenal sebagai pemain yang disiplin dan tidak neko-neko. Jangan heran jika kariernya sebagai pesepak bola panjang.
Hermansyah di usia gaek membela klub Mastrans Bandung Raya, dan ikut memberikan gelar juara Liga Dunhill 1995-1996 bagi klubnya. Ia dikenal sebagai kiper tangguh, dan spesialis pemblok penalti. Soal urusan penalti Hermansyah sempat dilatih oleh pelatih penjaga gawang legendaris asal Brasil, Barbatana.
"Saya belajar banyak dari Barbatana, terutama teknik-teknik dasar menjadi penjaga gawang," ujar Hermansyah yang baru gantung sepatu pada 1999 saat membela klub Persikota.
Advertisement