Bola.com, Jakarta - Indonesia memiliki keunikan dari banyak aspek, tak terkecuali sepak bola dan timnasnya. Sebenarnya banyak yang bisa dibanggakan dari Tim Merah Putih, namun tak sedikit pula yang bikin geleng-geleng kepala.
Sejak PSSI didirikan pada 1930, relatif tak ada prestasi yang benar-benar bisa dibanggakan. Menjadi yang terbaik di Asia Tenggara saja belum pernah dilakukan Timnas Indonesia.
Baca Juga
Anak Baru di Timnas Indonesia Minta Maaf Gagal Lolos ke Semifinal Piala AFF 2024: Ini Bukan Hasil yang Kami Inginkan
Saking Senangnya Lolos ke Semifinal Piala AFF 2024 dengan Mengalahkan Timnas Indonesia, Kapten Filipina: Saya Nggak Bisa Berkata-kata!
Foto: Mengenal Koji Takasaki, Wasit yang Usir Ferrari dan Beri Penalti untuk Filipina
Advertisement
Kendati demikian, sepak bola merupakan olahraga paling digemari di Indonesia. Tengok saja antusiasme suporter ketika Timnas Indonesia bertanding di luar negeri, pasti ada saja segelintir suporter yang rela menyisihkan waktu, uang, dan tenaga demi menyaksikan perjuangan kebanggaannya berlaga.
Sebelum era kemerdekaan, sepak bola Indonesia diorganisasi oleh Hindia Belanda melalui Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), atau suksesornya, Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Baru setelah merdeka tahun 1945, PSSI mengambil alih organisasi sepak bola di Indonesia secara menyeluruh.
Tidak dapat dipungkiri, prestasi sepak bola Indonesia pasca kemerdekaan, di bawah payung PSSI, mengalami kemajuan pesat, setidaknya di Asia. Pada 1956 misalnya, Timnas Indonesia berhasil lolos ke Olimpiade Melbourne, Australia, dan sukses melaju hingga perempat final.
Semenjak itu pula, banyak kejadian tak terlupakan yang menghiasi perjalanan Timnas Indonesia. Berikut ini Bola.com merangkumnya dalam 10 fakta menarik Timnas Indonesia.
Â
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1. Negara Asia Pertama di Piala Dunia
Sebelum era kemerdekaan, seperti disebutkan di awal, Indonesia masih bernama tim sepak bola Hindia Belanda. Pada 1938, tim di bawah naungan NIVB itu ikut tampil pada Piala Dunia di Prancis.
Perdebatan mengenai status tim sepak bola apa yang berlaga di Piala Dunia 1938 berlangsung hingga akhirnya pada 2018, FIFA resmi mengakui Indonesia adalah tim tersebut. Pengumuman itu sekaligus menjadikan Timnas Indonesia sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia.
Â
Â
Advertisement
2. Dari Tukang Becak hingga Dokter
Masih pada Piala Dunia 1938, ada satu nama yang 'Indonesia banget', yakni Achmad Nawir. Pemain bertahan asal klub cikal bakal Persebaya, Soerabajasche Voetbal Bond itu dipilih oleh pelatih Johannes Christoffel van Mastenbroek untuk menjadi kapten.
Menariknya, berdasarkan keterangan laman Java Post, Nawir diketahui berprofesi sebagai dokter. Tak cuma itu saja, dr. Nawir juga mengenakan kacamata. Mungkin, beliau adalah pesepak bola pertama yang tampil dengan kacamata.
Selain itu, ada sosok Andi Ramang, legenda sepak bola Indonesia dari Makassar, yang sebelum terjun ke dunia sepak bola, merupakan seorang tukang becak.
Jelang kemerdekaan, Ramang diketahui hijrah ke Makassar dan memutuskan untuk 'berkarier' sebagai penarik becak. Pada suatu hari, ia bergabung dengan Persatuan Sepak Bola Induk Sulawesi. Sisanya, sejarah yang berkata.
Â
3. Pemain Keturunan Tionghoa Jadi Andalan
Kiprah pesepak bola keturunan Tionghoa sudah ada sebelum era kemerdekaan. Pada Piala Dunia 1938 misalnya, setidaknya ada tiga pemain Tionghoa bermarga Tan, yakni Tan "Bing" Mo Heng, Tan Hong Djien, dan Tan See Han.
Kemudian pada Olimpiade 1956, pemain keturunan Tionghoa makin banyak lagi di Timnas Indonesia. Tan Liong Houw, Phwa Sian Liong, Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, dan Beng Ing Hien. Mereka menjadi andalan pelatih Antun 'Toni' Pogacnik.
Â
Â
Advertisement
4. Pelatih Tersukses: Antun Pogacnic
Periode terbaik Timnas Indonesia terjadi pada 1950-an. Saat itu, pelatih asal Yugoslavia, Antun Pogacnik merupakan otak di balik 'kesempurnaan hakiki' Timnas Merah Putih.
Di bawah kepemimpinannya, Timnas Indonesia berhasil melaju hingga semifinal Asian Games 1954. Dua tahun berselang, Pogacnik sukses mengantar anak asuhnya ke perempat final Olimpiade Melbourne 1956.
Pada 1958, Timnas Indonesia juga berhasil meraih medali perunggu Asian Games Tokyo. Bahkan, Pogacnik nyaris membawa Indonesia lolos Piala Dunia 1958 Swedia.
Usut punya usut, ada peran diplomasi dua negara antara Presiden Soekarno dengan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Kabarnya, Ir. Soekarno meminta langsung kepada Broz Tito agar Pogacnik, pelatih yang sebelumnya melatih Yugoslavia, mau menangani Timnas Indonesia.
Â
5. Demi Kemanusiaan, Tolak Hadapi Israel
Timnas Indonesia nyaris lolos ke putaran final Piala Dunia 1958. Itu terjadi tatkala Garuda Asia memasuki babak kedua kualifikasi Piala Dunia usai mengalahkan China dalam laga kandang dan tandang.
Akan tetapi, Timnas Indonesia, Sudan, dan Mesir menolak bertanding karena satu hal: Israel. Indonesia dan dua negara lainnya itu, karena alasan politik dan kemanusiaan, enggan bersua Israel yang dianggapnya menindas Palestina dan bukan sebuah negara absolut.
Singkat cerita, Israel lolos ke babak playoff bertemu Wales. Israel lalu kandas dan gagal ke Piala Dunia 1958.
Â
Advertisement
6. Tak Pernah Jadi yang Terbaik di Asia Tenggara
Spesialis runner tampaknya layak disematkan kepada Timnas Indonesia pada ajang Piala AFF (dulu Piala Tiger). Sejak pertama kali digelar pada 1996, prestasi terbaik Timnas Indonesia adalah juara dua.
Timnas Indonesia lima kali lolos ke final Piala AFF, dan lima kali pula gagal merengkuh trofi juara. Selain itu, Timnas Indonesia juga empat kali kandas di babak grup.
Â
7. Dua Timnas
Sebuah negara memiliki dua tim nasional? Mungkin hanya terjadi di Indonesia. Fenomena aneh tersebut terjadi menjelang Piala AFF 2012.
Dualisme kepengurusan PSSI berimbas besar kepada Tim Garuda, yang sempat mengalami perpecahan. Hasilnya cukup buruk, Tim Merah-Putih yang tidak dibentuk dari pemain-pemain terbaik hanya berkiprah di babak penyisihan grup di Malaysia.
Tim Garuda yang berangkat ke Malaysia dipimpin oleh pelatih Nilmaizar, diisi oleh mayoritas dari klub-klub Indonesia Premier League (IPL).
Pemain-pemain asal klub Indonesia Super League (ISL) melakukan aksi boikot karena diancam diputus kontrak oleh klubnya. Hanya Bambang Pamungkas (Persija Jakarta) dan Oktovianus Maniani (Persiram Raja Ampat) yang datang memenuhi panggilan membela negara.
Saat itu klub-klub ISL tengah melakukan pemberontakan ke PSSI, yang mengubah sistem kompetisi profesional dengan mengabaikan statuta. Disokong sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI, mereka kemudian membuat organisasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Jelang Piala AFF 2012, KPSI sempat membentuk timnas sendiri dengan asuhan Alfred Riedl, yang belakangan eksistensinya tidak diakui AFF.
Alhasil Nil Maizar hanya memberdayakan pemain alakadarnya. Ia bahkan sampai harus memasukkan nama Elie Aiboy, pemain gaek yang sejatinya tidak lagi cukup pantas membela Tim Merah-Putih.
Untuk menambal skuat Timnas Indonesia, PSSI mendatangkan pemain naturalisasi, Raphael Maitimo, Tonnie Cussel, dan Jhon van Beukering, yang sayangnya performanya ternyata di bawah ekspetasi.
Dampaknya compang-campingnya skuat Timnas Indonesia berimbas ke lapangan. Tim Garuda hanya mampu bermain 2-2 saat berhadapan dengan Laos.
Pada laga kedua Indonesia menghadapi Singapura, tim yang sudah dua kali menjadi juara Piala AFF, yaitu pada 2004 dan 2007. Namun, di pertandingan inilah Timnas Indonesia mampu memperlihatkan sebuah titik balik yang bagus walau hanya menang tipis 1-0.
Pada pertandingan terakhir, Indonesia takluk dari Malaysia. Irfan Bachdim dkk. pun tersingkir.
Perjalanan Timnas Indonesia di Piala AFF 2012 menjadi cermin dari permasalahan dualisme PSSI yang berimbas kepada dualisme liga, dan akhirnya menjadi dualisme Timnas Indonesia, sehingga tim yang beraksi di level internasional pun harus diakui bukan yang terbaik.
Â
Advertisement
8. Enam Sponsor Jersey Timnas
PSSI secara resmi memperkenalkan Mills sebagai official apparel Timnas Indonesia mulai tahun 2020 ini. Mills merupakan brand dari perusahaan lokal, PT Mitra Kreasi Garmen.
"Kami resmi memilih Mills sebagai apparel Timnas Indonesia mulai tahun ini. Pemilihan ini melalui pertimbangan yang matang dan komitmen Mills untuk mensupport Timnas Indonesia," kata Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan.
"Selain itu Mills produk asli Indonesia. Kami mendukung program pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengangkat UMKM dan produk lokal. Terbukti kualitas produk lokal kita tidak kalah dengan apparel dari Amerika dan Eropa. Dengan kepercayaan ini, kami berharap produk anak bangsa bisa mendunia. Semoga kerja sama ini berlangsung baik dan Timnas Indonesia meraih prestasi, " tambahnya.
Sebelumnya, Indonesia juga pernah menggandeng brand besar macam Adidas dan Nike. Diadora juga sempat menjadi produsen kostum Timnas Indonesia pada periode 1995-1996, disusul Asics setahun berselang.
Menariknya, pada Piala Asia 2003, asisten manajer Timnas Indonesia, Muhammad Ghazali, melakukan sebuah terobosan. Ia berani mensponsori jersey Tim Garuda. Kebetulan yang bersangkutan punya brand pakaian Ghazali Sports di Semarang.
Jadilah Ponaryo Astaman dkk. menggunakan jersey bermerek lokal Ghazali Sports pada saat berlaga di China. Pada awalnya, disain milik Ghazali Sports banjir kritik.
Kostum Timnas Indonesia dianggap norak. Lambang Garuda besar menempel di dada. Andi Darussalam, manajer Timnas Indonesia saat itu memilih tutup kuping.
"Kita harus hargai kebaikan Pak Ghazali. Dia mau menyuplai kostum timnas disertai perjanjian bisnis yang bagus ke PSSI," kata Andi kala itu.
Ghazali sempat melontarkan kesedihannya, ketika jersey milik perusahaan garmennya dicaci. "Sedih saya, niat hati ingin menonjolkan logo Garuda di dada kostum untuk mengobarkan semangat para pemain, eh malah dihujat," katanya.
Ivan Kolev dan para pemain Timnas Indonesia tak mempersoalkan kualitas bahan jersey yang mereka pakai. "Lumayan enak dipakai, tidak seberat jersey yang dipakai klub," kata Ponaryo Astaman, gelandang Timnas Indonesia saat itu.
Selain dipakai di Piala Asia 2004, jersey dengan brand Ghazali Sports sempat wira-wiri pada Kualifikasi Piala Dunia 2008.
Â
9. Doyan Dilatih Orang Asing
Terhitung sejak 1938 hingga sekarang, terdapat 23 pelatih asing yang pernah menjadi pelatih Timnas Indonesia. Belanda mendominasi karena ada enam pelatih yang pernah menangani Merah Putih.
Sementara itu, hanya ada 16 pelatih lokal yang melatih Timnas Indonesia. Suwardi Arland, Benny Dollo, dan Sinyo Aliandoe merupakan figur yang paling sering melatih.
Pelatih Lokal:
- E.A. Mangindaan
- Endang Witarsa
- Suwardi Arland
- Djamiat Dalhar
- Aang Witarsa
- Harry Tjong
- Sinyo Aliandoe
- M. Basri, Iswadi Idris dan Abdul Kadir (pelatih bersama)
- Bertje Matulapelwa
- Danurwindo
- Nandar Iskandar
- Benny Dollo
- Aji Santoso
- Nil Maizar
- Rahmad Darmawan
- Bima Sakti
Pelatih Asing:
- Johannes Christoffel van Mastenbroek (Belanda)
- Choo Seng Quee (Singapura)
- Antun Pogacnik (Yugoslavia)
- Yusuf Balik (Turki)
- Wiel Coerver (Belanda)
- Frans van Balkom (Belanda)
- Marek Janota (Polandia)
- Bernd Fischer (Jerman)
- Anatoli Polosin (Rusia)
- Ivan Toplak (Yugoslavia)
- Romano Matte (Italia)
- Henk Wullems (Belanda)
- Bernard Schumm (Jerman)
- Ivan Kolev (Bulgaria)
- Peter Withe (Inggris)
- Alfred Riedl (Austria)
- Wim Rijsbergen (Belanda)
- Luis Manuel Blanco (Argentina)
- Jacksen F. Tiago (Brasil)
- Pieter Huistra (Belanda)
- Luis Milla (Spanyol)
- Simon McMenemy (Skotlandia)
- Shin Tae-yong (Korea Selatan)
Â
Advertisement
10. Bambang Pamungkas Legenda Asia Tenggara
Bambang Pamungkas merupakan figur yang penting buat Timnas Indonesia. Sebanyak 38 gol sudah ia bukukan dari 86 penampilan sebelum memutuskan pensiun pada 1 April 2013.
Memang, kesuksesan urung diraih Bambang Pamungkas di level timnas karena tidak berhasil memberikan gelar. Tak ada satu pun gelar prestisius yang disumbangkannya dari 1999 hingga gantung sepatu tujuh tahun silam.
Hanya ada dua gelar yang ia berikan, yakni juara trofi Piala Kemerdekaan pada 2000 dan 2008. Akan tetapi, turnamen tersebut dianggap tidak prestisius.
"Pada akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak ada satu gelar bergengsi yang mampu saya berikan untuk Indonesia. Dan oleh karena itu seperti yang pernah saya janjikan, maka di akhir artikel ini saya akan berteriak dengan lantang, jika Saya Adalah Generasi Yang Gagal," kata Bepe di bambangpamungkas20.com.
Kendati demikian, Bambang Pamungkas merupakan satu dari lima legenda Asia Tenggara. Status itu diberikan oleh AFC, Asosiasi Sepak Bola Asia.
Empat lainnya adalah Neil Etheridge (Filipina), Soh Chin Aun (Malaysia), Kiatisuk Senamuang (Thailand), dan Le Cong Vinh (Vietnam).
ÂÂÂView this post on Instagram