Bola.com, Semarang - Nama Sartono Anwar akan sangat sulit dilupakan oleh publik PSIS Semarang. Ya, dia adalah pelatih yang pertama kali mempersembahkan gelar juara bagi Mahesa Jenar di pentas sepak bola Indonesia.
Sartono mengantarkan PSIS meraih trofi juara Perserikatan tahun 1987 dengan mengalahkan Persebaya Surabaya di final. Itu adalah bukti sentuhan magis pria kelahiran Semarang 30 September 1942.
Baca Juga
Stadion Nasional Dipakai Konser, Timnas Singapura Terpaksa Geser ke Jalan Besar di Semifinal Piala AFF 2024: Kapasitas Hanya 6 Ribu Penonton
Gelandang Newcastle United Bantah Punya Darah Negeri Jiran, Minta Jangan Dihubungkan Lagi dengan Timnas Malaysia
Sydney Menyala! 3.250 Suporter Akan Dukung Timnas Indonesia Vs Australia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada 20 Maret 2025
Advertisement
Sartono, ketika menjadi pemain, tidak terlalu istimewa. Namun, ia mendapat predikat profesor sepak bola setelah menjadi pelatih. Tidak sedikit yang menaruh respek terhadapnya sebagai satu di antara pelatih berpengalaman di negeri ini.
Filosofi permainan, gaya melatih, hingga taktik jitu menjadikan Sartono Anwar sebagai pelatih yang punya nama besar. Selain membesut PSIS, Sartono juga melatih Assyabaab Salim Grup, Petrokimia Putra, Arseto Solo, Persibo Bojonegoro, dan Persisam Samarinda.
Bola.com menyajikan ulasan tentang pesona Sartono Anwar sebagai pelatih jempolan dari bumi Semarang. Mantan anak buahnya di PSIS, Ahmad Muhariah bercerita panjang lebar mengenai sosok Sartono yang ia sebut profesor.
"Sewaktu bermain, saya sering dilatih banyak pelatih senior. Kalau secara strata pendidikan, saya ibaratkan beliau ini sudah levelnya profesor, bukan hanya guru atau dosen lagi," ujar Ahmad Muhariah, Kamis (30/4/2020).
"Sampai sekarang beliau masih aktif membina anak-anak di akademi dan tetap bergelut dengan sepak bola. Termasuk pelatih yang saya anggap paling komplet segalanya," tutur mantan gelandang PSIS Semarang itu.
Mau ikuti challenge 5 tahun Bola.com dengan hadiah menarik? Klik Tautan ini.
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Disiplin dan Hobi Misuh
Ahmad Muhariah merupakan satu di antara anak didik Sartono saat meraih kesuksesan bersama PSIS Semarang tahun 1987. Muhariah bersama almarhum Ribut Waidi, membawa klub pujaan kota Lunpia berada di titik tertinggi kala itu.
Kedisiplinan yang dibawa Sartono Anwar jadi kunci utama PSIS menjadi tim terbaik. Sartono dikenal sebagai pemain yang menekankan tanggung jawab.
Dia kerap emosional hingga memarahi anak buahnya dengan umpatan. Itu sudah menjadi menu sehari-hari bagi pemain di bawah gemblengan pelatih yang identik selalu mengenakan topi tersebut.
Ahmad Muariah juga menilai Sartono sama halnya dengan manusia biasa, yakni ada sisi baik dan tidaknya. Ia menyebut eks pelatihnya itu paling senang misuh (mengumpat) agar anak buahnya disiplin.
"Kami ada grup WhatsApp lintas generasi pemain PSIS, dan sebagian besar pernah dilatih beliau. Semuanya merasakan pernah menjadi korban marah dari Sartono Anwar. Saya pun pernah mengalami padahal hanya terlambat satu atau dua menit saja. Saya dimarahi dan tidak boleh ikut latihan," kenang Ahmad.
"Ada beberapa pemain yang akhirnya ikut emosional hingga mengajak berkelahi beliau. Sebagian pemain ada yang tidak tahan, ya begitulah suka dukanya dilatih sama om Sartono Anwar. Pelatih lain belum ada apa-apanya dan memang pantas menjadi pelatih legendaris di PSIS," beber Ahmad yang pernah melatih Persibangga Purbalingga.
Advertisement
Total Football Lapangan Becek
Muhariah memuji sosok Sartono Anwar yang pawai dalam meramu taktik maupun strategi permainan. Prestasi gemilang PSIS Semarang tahun 1987 juga berkat tangan dingin Sartono yang memaksimalkan strategi total football ala Semarang.
Selain itu, chemistry antarpemain begitu kuat dibandingkan para pesaingnya. Betapa tidak, skuat PSIS tidak banyak berganti materi pemain selama lima musim beruntun, hingga meraih trofi juara di Jakarta tahun itu.
"Keluar masuk pemain paling hanya dua tiga orang saja. Antar pemain saling mengisi, saya di gelandang, Ribut Waidi di sisi sayap, ada bek Budiawan yang kuat, jadi semua satu unit dan sangat memahami satu sama lain. Lima tahun kami dalam satu tim bersama-sama," terangnya.
"Bisa saya katakan total football ala PSIS, karena saling mengisi peran. Ketika menyerang kemudian terkena counter attack dan overlap, maka pemain lain di dekatnya harus bisa menutup. Sayap bisa jadi bek, striker bisa turun ke gelandang, ya itulah kuncinya, butuh waktu lama bisa membentuk tim seperti itu," tambah Muhariah.
"Formasi ideal beliau adalah 4-3-3 dengan sistem pendek merapat. Beliau menanamkan sepak bola sebagai seni. Main bola harus benar-benar dinikmati. Yang main di lapangan main dengan enak oper sana-sini, yang nonton juga senang dan terhibur," katanya.
Feeling Tajam
Keistimewaan lain yang dimiliki Sartono Anwar adalah feeling yang begitu tajam. Muhariah mencontohkan perihal ketepatan menghitung waktu yang dimiliki Sartono Anwar setara dengan sebuah jam atau stopwatch.
Penuturannya adalah ketika Ahmad Muhariah menjabat sebagai asisten Sartono Anwar di PSIS. Jika pelatih pada umumnya membawa stopwatch atau jam tangan, Sartono Anwar tidak.
"Saya pernah asisten pelatih beliau di PSIS, biasanya pelatih pasti memegang stopwatch atau jam tangan. Kadang dipegang tangan atau digantung di leher. Beliau ini tanpa alat penghitung waktu, anehnya bisa dengan tepat hanya dengan feeling saja," jelasnya.
"Joging kurang dua menit saja, dia sudah tahu dan berteriak masih dua menit. Gila ini pelatih batin saya. Hanya dengan feeling saja bisa pas, ini betul-betul profesor, mungkin karena sudah sering bergelut. Saya pun tidak bisa punya kemampuan seperti itu," kelakarnya.
Advertisement
Menular ke Anak
Sartono Anwar memiliki putra yang juga menjadi pemain sekaligus asisten pelatih Timnas Indonesia, yakni Nova Arianto.
Nova pernah bekerja dengan ayahnya dalam satu tim, yakni ketika membela Arseto Solo tahun 1997. Pria yang akrab disapa Vava ini menjadi pemain, sementara ayahnya merupakan pelatih.
Hanya, saat itu posisi awal Vava adalah menjadi seorang striker, dengan postur tingginya. Lantas, Vava tampil menjadi pemain belakang yang tangguh. Ia banyak meraih kesuksesan sebagai seorang stoper.
Menurut Ahmad Muhariah, darah kedisiplinan Sartono mengalir kepada diri Nova. Dengan menempati posisi sebagai pemain belakang, Vava lebih mengenal karakter disiplin dalam permainan.
"Nova Arianto terus terang saya tidak tahu karakternya apakah sama dengan ayahnya. Termasuk psikologis atau cara melatihnya, jadi saya tidak bisa bicara banyak. Tapi melihat dia adalah anak dari Sartono Anwar, pasti sedikit banyak mendapat pelajaran dari ayahnya. Dari orang tuanya pasti memberikan banyak masukan ke Vava," ucap Ahmad Muhariah.
"Ada sisi positif saat dia berganti posisi menjadi pemain belakang. Dia jadi lebih hafal bagaimana menghentikan pergerakan striker lawan mengingat dulunya dia adalah seorang penyerang. Menjadi seorang stoper juga membutuhkan konsentrasi dan kedisiplinan mengawal pertahanan, barangkali itu yang bisa ditularkan ayahnya kepada Nova Arianto," timpalnya.