Sukses


Kisah Klasik Diklat Salatiga: Pabrik Pemain Top Timnas Indonesia yang Kini Tinggal Kenangan

Bola.com, Solo - Kota Salatiga, Jawa Tengah memang tidak memiliki klub sepak bola yang mentereng. Sangat jauh bila dibandingkan dua klub legendaris Jateng, Persis Solo atau PSIS Semarang.

Namun Salatiga jangan meremehkan karena dari Kota Salatiga, pernah muncul bibit-bibit unggul atlet sepak bola yang menjadi tulang punggung klub elite dan Timnas Indonesia.

Dulu, Diklat Salatiga begitu familiar bagi pelaku maupun pencinta sepak bola. Berpusat di lapangan Ngebul yang cukup sederhana, Diklat itu dibangun pada tahun 1963.

Pada 1973, nama Diklat Salatiga diresmikan. Dari tempat inilah telah lahir talenta besar pemain sepak bola tenar di negeri ini. Mulai era Iswadi Idris, Anjas Asmara, Kurniawan Dwi Yulianto, Gendut Doni Christiawan, Bambang Pamungkas, Bayu Pradana.

Keberhasilan Diklat Salatiga menginspirasi DKI Jakarta untuk mendirikan Diklat Ragunan. Ini merupakan pencapaian besar Diklat Salatiga.

Kepada Bola.com, mantan siswa Diklat Salatiga di era 80-an, Sri Widadi bertutur kisah mengenai kehebatan mantan sekolahnya yang melahirkan pemain-pemain hebat. Kakak kandung Kas Hartadi ini menyebut Diklat Salatiga layaknya roh dalam pembinaan sepak bola Indonesia. 

"Saya masuk Diklat Salatiga pada tahun 1981, satu angkatan dengan Hermansyah. Kemudian setelah lulus dari sana saya ikut ke tim termasuk Arseto Solo dan membawa tim juara di 1992," ungkap Sri Widadi, Minggu (10/5/2020).

"Setelah itu saya kembali ke Diklat Salatiga untuk menjadi pelatih tahun 1996 sampai 2004. Ada sejumlah anak didik saya di antaranya Bambang Pamungkas dan Gunawan Dwi Cahyo," tuturnya.

Video

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 5 halaman

Kedisplinan Tertanam di Setiap Siswa

Sri Widadi bercerita, Diklat Salatiga begitu ampuh dalam mencetak pemain sepak bola berbakat. Namun, tidak ada cara khusus dalam kurikulum yang diberikan kepada siswa.

Menurutnya, metode pelajaran bagi anak didik di Diklat Salatiga tak jauh berbeda dengan sekolah olahraga lain, termasuk Diklat Ragunan. Hal yang membedakan adalah kemandirian siswa.

"Sebenarnya tidak ada metode khusus atau cara yang berbeda dalam mencetak atlet di Diklat Salatiga. Kuncinya pada diri atlet masing-masing yang selalu menambah porsi latihan sendiri. Mereka tertantang untuk tetap berjuang, tidak mau sekadar menjadi siswa dan lulus begitu saja," beber pria yang akrab disapa Dadit itu.

Displin menjadi kunci utama dalam meraih kesuksesan termasuk selama menuntut ilmu di Diklat Salatiga. Sri Widadi sepakat jika Diklat Salatiga disebut sebagai kawah candradimuka mencetak bibit unggul pesepak bola.

"Di benak setiap siswa harus tertanam tentang kedisiplinan. Misalnya hari Sabtu sebenarnya libur, tapi tetap giat berlatih. Banyak yang menambah jam latihan sendiri tanpa disuruh pelatih," ungkapnya.

3 dari 5 halaman

Peran Besar PSSI

Sri Widadi mengakui adanya peran dari pemerintah dan PSSI bagi kejayaan Diklat Salatiga

PSSI ikut membantu membesarkan jebolan Diklat Salatiga ketika itu. Banyak siswa yang semakin moncer namanya ketika ikut program PSSI, terutama mengikuti kejuaraan di luar negeri, hasil menjaring potensi dari Diklat.

Semasa menjadi anak didik di Diklat Salatiga, Dadit mengaku PSSI banyak menggulirkan program pencarian bakat terutama di level siswa Diklat. Dari situlah banyak siswa dari Salatiga yang paling bisa bersaing.

"Sebagian dari kami banyak yang ikut program PSSI tingkat pelajar, seperti ke Thailand dan negara lain. Ini bukti wakil dari Diklat Salatiga memang benar-benar teruji dan bisa diandalkan," bebernya.

4 dari 5 halaman

Klub Besar Mengantre

Buah manis yang dapat dipetik oleh alumnus Diklat Salatiga adalah banyak klub besar dsn profesional yang mengantre. 

Kurniawan Dwi Yulianto misalnya. Kariernya melesat setelah menjalani trial di program PSSI Primavera dan klub Serie A Sampdoria. Kemudian Bambang Pamungkas yang membuatnya direkrut Persija Jakarta dan terbang ke Belanda bergabung dengan EHC Norad.

Menurut Dadit, fenomena ini sudah lazim bagi alumnus Diklat Salatiga. Ia menilai karena banyak klub sudah melihat jejak setiap pemain saat masih belajar di Diklat. Imbasnya, nama Diklat Salatiga juga ikut terangkat.

"Siswa dari Diklat Salatiga sudah diantri banyak klub yang siap meminangnya. Klub seperti berlomba-lomba mendatangkan pemain jebolan Diklat Salatiga karena mereka tidak perlu memberikan kompensasi kepada Diklat Salatiga," paparnya.

"Hasilnya pun bisa dinikmati setelah lulus. Lihat saja nama Kurniawan, Bambang, Gendut Doni, dia sufah ditunggu klub besar begitu lulus dari Diklat. Jika ada yang tidak laku di klub besar, karena kurang fokus latihan selama mengemban ilmu," kata mantan pemain Persis Solo ini.

5 dari 5 halaman

Penurunan Kualitas

Tahun 2008, nama Diklat Salatiga berubah menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Salatiga. Sepak bola tetap menjadi pusat pelatihan bersama beberapa cabang olahraga lainnya seperti sepak takraw.

Tapi, sayang, sejak beberapa tahun lalu PPLP Salatiga ditiadakan. PPLP Salatiga diboyong ke Semarang dilebur dengan PPLP Jawa Tengah yang berlatih di kompleks olahraga Jatidiri. Selain itu, ada pula yang berlatih di Stadion Wujil, Ungaran.

Bagi Sri Widadi, telah terjadi penurunan kualitas dalam menghasilkan anak didik di PPLP Jawa Tengah dibandingkan saat era dirinya di Diklat Salatiga. Metodologi pembinaan atlet yang terkesan instan, menjadi pembedanya.

"Dulu benar-benar teruji karena semua diawali dari dasar yang tepat. Sekarang ini sudah main di klub besar bahkan Timnas, cara mengumpan bola saja banyak yang masih keliru," jelas Sri Widadi menutup obrolan.

Video Populer

Foto Populer