Bola.com, Semarang - PSIS Semarang pernah menorehkan masa kejayaannya pada 1987. Gelar juara Liga Indonesia Perserikatan untuk pertama kali diraih Mahesa Jenar ketika itu dengan menumbangkan Persebaya Surabaya di Stadion Utama Senayan Jakarta.
Pertandingan melawan Persebaya yang merupakan musuh bebuyutan PSIS Semarang, berjalan dalam tempo yang tinggi dan ketat. Hingga sebuah gol akhirnya tercipta pada menit ke-77 untuk PSIS Semarang.
Advertisement
Gol tunggal kemenangan Mahesa Jenar dilesakkan oleh Saiful Amri memanfaatkan umpan tarik Budi Wahyono. Kiper Persebaya, Putu Yasa, hanya mampu menyaksikan gawangnya bobol.
Sebuah pencapaian yang menjadi kenangan istimewa bagi publik sepak bola Kota Lunpia. Gelar juara yang merupakan buah kesabaran dalam skuat PSIS kala itu.
Bola.com merangkum beberapa fakta menarik mengenai kesuksesan PSIS meraih gelar pertama kalinya pada 33 tahun silam. Ahmad Muhariah yang ikut menjadi bagian dari skuat PSIS Semarang ketika itu membeberkan kisahnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Komposisi Skuad Matang
Ahmad Muhariah merupakan sosok gelandang utama di PSIS ketika menjuarai Liga Indonesia 1987. Ia menceritakan bahwa skuatnya sudah sangat matang dan siap dalam menghadapi kompetisi.
Komposisi timnya tidak mengalami perubahan besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Skuad PSIS tidak banyak mengalami pergantian materi setidaknya dalam lima musim beruntun.
Sehingga chemistry antarpemain begitu kuat dan menyatu, dibandingkan para pesaingnya. Menurutnya, hal itu menjadi satu diantara kunci sukses sebuah tim dalam mempertahankan performa secara stabil.
"Paling hanya dua tiga pemain yang keluar-masuk. Jadi dalam satu tim tidak butuh penyesuaian dengan lama. Antar pemain sangat mengenal dan paham karakter permainan satu dengan lainnya," tutur Ahmad Muhariah.
"Budiawan sebagai bek tengah, saya di tengah, Ribut Waidi di sayap, dan Soerajab di depan, dan beberapa pemain lain dalam satu unit dan itu dari tahun ke tahun tidak berubah," tuturnya.
Advertisement
Sentuhan Sartono Anwar
Trofi juara pada 1987 yang diraih PSIS tentu tidak bisa lepas dari sosok Sartono Anwar. Sang pelatih dengan jam terbang yang begitu tinggi memang memiliki andil besar bagi pencapaian Mahesa Jenar.
Sartono Anwar begitu paham dengan kultur sepak bola Semarang dan bertahun-tahun menangani PSIS. Taktik dan strategi yang jitu khas Sartono Anwar semakin menambah kekuatan dari PSIS.
Ahmad Muhariah mengatakan Sartono Anwar mengedepankan pola latihan dan perilaku yang disiplin. Meski dikenal tegas, galak, dan saklek, PSIS berhasil memetik buah kesabaran dan sentuhan dari sang profesor Sartono Anwar.
"Beliau (Sartono Anwar) menanamkan sepak bola adalah seni. Main bola harus benar-benar dinikmati. Pemain di lapangan main dengan enak oper sana-sini, yang nonton juga senang dan terhibur," ujarnya.
"Biasa bagi pemain yang biasanya di belakang ikut naik ke depan jadi striker. Kemudian yang aslinya penyerang bisa turun ke bawah untuk menjadi bek, ketika kena serangan balik. Ya harus saling mengisi, itulah total football ala PSIS di waktu itu," bebernya.
Julukan Jago Becek
Sejak era 1980-an, PSIS dikenal sebagai ahlinya bermain dalam kondisi hujan dan lapangan becek. Bukan tanpa alasan kenapa PSIS dijuluki sebagai tim jago becek.
Pada pertandingan putaran pertama kompetisi divisi utama tahun 1986, wilayah Timur yang berlangsung di Surabaya. PSIS begitu superior bertanding dalam kondisi hujan deras dan lapangan becek.
Pada saat itu PSIS berhasil memenangkan tiga pertandingan melawan Persiba, PSM Makassar, dan Persipura Jayapura. Namun saat hujan tak turun, PSIS justru kalah dari Persebaya dan Perseman Manokwari.
Ada anggapan bahwa PSIS bakal bertambah kuat dan sulit dikalahkan ketika kondisi lapangan becek. Akan tetapi hal tersebut diakui Ahmad Muhariah hanya secara kebetulan saja.
"Hanya pemberitaan media saja ketika itu. Pada dasarnya ya sama saja, tidak terpengaruh kondisi lapangan atau cuaca. Semua diraih dengan kerja keras di lapangan," kata mantan pelatih Persibangga Purbalingga ini.
Advertisement
Magis Ribut Waidi
Sosok lain yang menjadi kunci sukses PSIS berprestasi pada tahun tersebut adalah Ribut Waidi. Talenta luar biasa pria kelahiran Pati, 5 Desember 1962 menorehkan tinta emas bersama Mahesa Jenar dan juga Timnas Indonesia.
Tahun 1987 adalah menjadi waktu yang paling bersejarah baginya. Ribut Waidi seperti menyentuh langit di tahun tersebut. Ia mengawinkan gelar juara bersama klubnya PSIS Semarang dan Timnas Indonesia.
Mahesa Jenar dibawanya keluar sebagai juara Perserikatan pada 1987. Di tahun yang sama Ribut Waidi mengantarkan Indonesia menggodok medali emas sepak bola di SEA Games Jakarta 1987.
Ribut Waidi tutup usia pada 3 Juni 2002. Untuk mengenang pengabdian dan jasa besarnya terhadap dunia sepak bola tanah air, Pemkot Semarang mendirikan patung Ribut Waidi sedang menggiring bola di Jalan Karangrejo, atau jalur utama menuju Stadion Jatidiri, markas PSIS Semarang.