Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia, tim yang (pernah) dicap sebagai Macan Asia, merupakan negara pertama dari Benua Kuning yang sanggup menembus Piala Dunia pada 1938 silam. Namun di balik itu semua, tercatat banyak prestasi mengenaskan di level Asia Tenggara saja, tepatnya pada ajang Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger).
Timnas Indonesia berulang kali melangkah hingga final Piala AFF. Akan tetapi, tak sekalipun piala lambang supremasi sepak bola Asia Tenggara itu mampir di lemari trofi. Padahal hampir tiap edisi, Merah Putih selalu digadang-gadang sebagai kandidat terkuat peraih juara.
Baca Juga
Hasil Liga Inggris: Dipaksa Imbang Everton, Chelsea Gagal Kudeta Liverpool dari Puncak
Hasil Liga Italia: Bang Jay Gacor 90 Menit, Venezia Sikat Cagliari dan Keluar dari Posisi Juru Kunci
Aneh tapi Nyata! PSM Main dengan 12 Pemain saat Menang atas Barito Putera di BRI Liga 1: Wasit Pipin Indra Pratama Jadi Bulan-bulanan
Advertisement
Thailand menjadi tim tersukses dengan torehan lima kali juara. Sementara, Timnas Indonesia harus puas dengan status spesialis runner-up karena dari lima kali masuk final, lima kali pula kandas dan hanya meraih tempat kedua. Pada edisi 2000, 2002, dan 2004, Indonesia bahkan mencatatkan hattrick runner-up.
Timnas Indonesia juga pernah empat kali gagal lolos babak grup. Itu didapatkan pada edisi 2007, 2012, 2014, dan yang terakhir pada edisi terakhir, 2018.
Berikut ini Bola.com merangkum cerita mengenaskan Timnas Indonesia di Piala AFF.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sepak Bola Gajah di Piala AFF 1998
Tidak ada yang menduga, terutama di kalangan pencinta sepak bola Indonesia, bila keikutsertaan Timnas Indonesia pada Piala AFF 1998 (dulu bernama Piala Tiger) meninggalkan noda hitam bagi sepak bola negeri ini.
Insiden sepak bola gajah yang terjadi pada babak penyisihan akan terus dikenang sebagai titik terendah dalam sejarah si kulit bundar di Tanah Air. Sikap tidak sportif yang diperlihatkan Tim Garuda tidak hanya menyentak publik dalam negeri karena kejadian ini juga jadi perhatian di pentas internasional.
Kejadian bermula ketika Indonesia tergabung di Grup A bersama Thailand, Myanmar, dan Filipina. Ketika itu Thailand dan Indonesia mendominasi penyisihan grup.
Alhasil, Indonesia yang kala itu dilatih Rusdy Bahalwan (almarhum) dan Thailand memastikan diri tampil di semifinal. Penentuan juara dan runner-up grup ditentukan pada duel terakhir (laga ketiga), yang mempertemukan keduanya.
Tidak diduga, pertandingan yang diprediksi berjalan panas karena dua tim terbaik di Grup A berhadapan, justru memunculkan keanehan sejak awal pertandingan. Kedua tim bermain dalam tempo lambat dan tampak tidak bergairah untuk memenangi pertandingan.
Di pengujung waktu normal, kejadian menyesakkan ini terjadi. Adalah Mursyid Effendi yang jadi pelaku gol bunuh diri pada menit ke-90 yang membuat Indonesia kalah 2-3.
Gol bunuh diri itu tidak hanya mengagetkan penonton di Stadion Thong Nat, Ho Chi Minh, Vietnam, namun juga suporter setia Indonesia yang berada di Tanah Air menyaksikan siaran langsung lewat layar kaca. Nyaris tidak ada yang percaya gol bunuh diri itu terjadi, membuat Indonesia kalah dan jadi runner-up.
Unsur kesengajaan dalam proses gol bunuh diri itu sangat jelas terlihat. Melalui layar kaca, penggemar sepak bola di Tanah Air tersentak karena seusai membobol gawang sendiri, Mursyid disambut beberapa rekan setim justru melakukan selebrasi.
Motif menghindari Vietnam di semifinal diduga kuat sebagai alasan Timnas Indonesia dan Thailand enggan menang di partai terakhir penyisihan Grup A hingga akhirnya memilih memainkan sepak bola gajah.
Saat itu Vietnam dianggap menakutkan untuk dihadapi karena permainan yang diperlihatkan selama penyisihan grup. Padahal, justru Singapura yang keluar sebagai juara Grup B.
Apesnya, rencana menghindari Vietnam di semifinal tetap tidak mampu membawa Indonesia ke final karena di semifinal, Yusuf Ekodono cs. dikalahkan Singapura 1-2 pada 3 September 1998. Sama seperti Indonesia, Thailand juga menyerah dengan skor 0-3 dari Vietnam.
Singapura akhirnya memenangi gelar juara Piala AFF 1998, gelar pertama mereka, setelah menundukkan tuan rumah Vietnam 1-0. Sedangkan Indonesia, mengakhiri Piala AFF 1998 dengan berada di peringkat ketiga setelah mengalahkan Thailand lewat adu penalti (5-4) setelah di waktu normal bermain sama kuat, 3-3.
Advertisement
Runtuhnya Era Peter Withe di Piala AFF 2007
Piala AFF 2007 menjadi cerita memalukan buat Timnas Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia untuk pertama kali gagal lolos ke semifinal alias terhenti di fase penyisihan grup pada turnamen sepak bola terbesar di Asia Tenggara ini.
Padahal, asa mengangkat trofi juara untuk kali pertama begitu tinggi. Dalam lima penyelenggaraan terakhir, Indonesia selalu berhasil melaju ke semifinal.
Bahkan dalam tiga edisi terakhir sebelum Piala AFF 2007, Indonesia tidak pernah absen di partai final dan mengakhiri turnamen dengan status runner-up secara beruntun.
Secara khusus, keinginan memenangi Piala AFF tahun 2007 makin tinggi setelah kegagalan di turnamen Merdeka Cup (Agustus 2006) di Malaysia dan BV Cup yang digelar di Vietnam pada November 2006.
Dengan latar belakang itu, Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, langsung memberi target juara kepada Peter Withe sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia di Piala AFF 2007. "Kalau Peter Withe gagal, posisinya langsung dievaluasi," ucap Nurdin Halid ketika itu.
Tetapi, apa daya. Pada Piala AFF 2007 Indonesia bak dinaungi kesialan. Pasalnya, Indonesia sebenarnya mengumpulkan poin lima, poin yang sama dengan dua tim yang lolos semifinal dari Grup B, yaitu Singapura dan Vietnam. Tim Merah-Putih terjegal karena selisih gol kalah jauh dari dua negara itu.
Vietnam dan Singapura punya selisih gol masing-masing 11 dan sembilan, sementara Tim Merah-Putih hanya surplus dua gol saja.
Penyebab semua itu, kendati Indonesia tidak terkalahkan di tiga pertandingan penyisihan grup, Tim Garuda tidak mampu menang banyak atas tim yang dianggap terlemah di Grup B, yaitu Laos. Di Grup B, Indonesia tergabung bersama Laos, Vietnam, dan tuan rumah Singapura.
Cerita Suram Dualisme di Piala AFF 2012
Timnas Indonesia berada di dalam masa-masa kelam saat Piala AFF 2012 berlangsung. Dualisme kepengurusan PSSI berimbas besar kepada Tim Garuda, yang sempat mengalami perpecahan.
Hasilnya cukup buruk, Tim Merah-Putih yang tidak dibentuk dari pemain-pemain terbaik hanya berkiprah di babak penyisihan grup di Malaysia.
Tim Garuda yang berangkat ke Malaysia dipimpin oleh pelatih Nilmaizar, diisi oleh mayoritas dari klub-klub Indonesia Premier League (IPL).
Pemain-pemain asal klub Indonesia Super League (ISL) melakukan aksi boikot karena diancam diputus kontrak oleh klubnya. Hanya Bambang Pamungkas (Persija Jakarta) dan Oktovianus Maniani (Persiram Raja Ampat) yang datang memenuhi panggilan membela negara.
Saat itu klub-klub ISL tengah melakukan pemberontakan ke PSSI, yang merubah sistem kompetisi profesional dengan mengabaikan statuta. Disokong sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI, mereka kemudian membuat organisasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Benar saja, tanpa persiapan matang dan komposisi pemain ala kadarnya, jangankan lolos ke final, lolos ke babak grup pun tidak sanggup.
Kegagalan ini menjadi satu di antara jilid terburuk dalam lembaran sepak bola Indonesia di Asia Tenggara. Satu kemenangan, satu imbang, dan satu kekalahan menjadi noda yang tak akan hilang begitu saja dari lembar sejarah Timnas.
Advertisement
Piala AFF 2014: Stamina Ampas Berujung Petaka
Piala AFF 2014 jadi kisah tidak menyenangkan lainnya bagi Tim Merah-Putih. Pada Piala AFF edisi ke-10, dimulai pada 22 November 2014, Timnas Indonesia gagal lolos ke semifinal untuk ketiga kalinya sepanjang sejarah keikutsertaan di turnamen sepak bola terakbar di Asia Tenggara ini.
Secara khusus, hasil tersingkir di penyisihan grup ini jadi yang beruntun buat Indonesia karena hasil sama dicatatkan pada penyelenggaraan edisi sebelumnya (Piala AFF 2012). Padahal, Indonesia berangkat ke Hanoi, Vietnam, dengan target tertinggi: jadi juara untuk kali pertama!
Salah satu cara mewujudkan ambisi itu, PSSI melalui BTN (Badan Tim Nasional) yang kala itu dipimpin La Nyalla Mattalitti, pada medio November 2013 kembali menunjuk Alfred Riedl untuk jadi pelatih Timnas Indonesia. Alfred menggantikan posisi Jacksen F. Tiago yang diminta kembali ke Persipura Jayapura.
Selang setahun kemudian, pelatih asal Austria itu kembali ke Indonesia untuk mempersiapkan tim di Piala AFF 2014. Meski kesepakatan dengan BTN terjalin sejak November 2013, setelah pertandingan melawan Arab Saudi di kualifikasi Piala Asia 2015 (5/3/2014), Alfred Riedl tetap tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan timnas di Piala AFF 2014.
Imbasnya, seluruh pemain baru bisa berkumpul satu pekan jelang keberangkatan ke Hanoi atau tiga hari sebelum kick-off penyisihan Grup A yang dihuni Indonesia bersama Filipina, Laos, dan tim tuan rumah Vietnam. Hal itu dikarenakan kompetisi reguler baru berakhir pada 7 November 2014.
Minimnya waktu berlatih bersama dalam pemusatan latihan jadi salah satu faktor utama kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2014. Satu lagi adalah buruknya kondisi fisik dan stamina (kebugaran) pemain untuk bermain dalam turnamen dengan jadwal ketat seperti Piala AFF. Hal itu karena pemain sudah bertarung habis-habisan bersama klub masing-masing dan tidak memiliki waktu jeda ideal.
Dengan stamina tidak mendukung, Alfred Riedl mengaku kesulitan menerapkan strategi permainan yang diinginkannya. Alih-alih memainkan permainan bola-bola pendek, timnas jadi memainkan umpan-umpan lambung karena strategi awal tidak berjalan baik lantaran stamina pemain yang tidak bugar.