Bola.com, Semarang - Ada begitu banyak figur di PSIS Semarang yang memang layak masuk dalam kategori legenda klub, mulai dari Ribut Waidi, Tugiyo, Agung Setyabudi, hingga I Komang Putra. Namun, jangan lupakan Muhammad Ridwan, pesepak bola asli Semarang yang juga layak menyandang status legenda bagi Mahesa Jenar.
Pria yang kini sudah berusia 39 tahun tersebut cukup sukses sebagai pemain besar di Indonesia, termasuk ketika membela klub tanah kelahirannya, PSIS Semarang. Bisa dikatakan Ridwan menjadi produk asli binaan PSIS yang cukup sukses.
Baca Juga
Maarten Paes Bawa Level Berbeda di Bawah Mistar Timnas Indonesia: Perlu Pesaing yang Lebih Kuat?
Mengulas Sosok Pemain yang Paling Layak Jadi Kapten Timnas Indonesia: Jay Idzes Ada Tandingan?
Rapor Pemain Lokal pada Dua Laga Home Timnas Indonesia di Kualifiaksi Piala Dunia 2026: Ridho Tak Tergantikan, Marselino Jadi Pahlawan
Advertisement
Pasalnya, tim pujaan Panser Biru dan Snex merupakan tim dari tanah kelahirannya. Tak hanya itu, PSIS juga menjadi klub pertama yang ia bela pada 1999. Pria kelahiran 8 Juni 1980 itu pun gantung sepatu di PSIS.
Nama besar Ridwan bakal sulit dipisahkan dari PSIS. Ia tumbuh dan besar di klub Kota Lumpia, hingga menjadikannya sebagai satu di antara pemain nasional yang hebat. Ia nyaris ikut membawa PSIS menjadi juara Liga Indonesia pada 2006 silam.
Ridwan kini sedang menikmati profesinya sebagai pelatih tim Elite Pro Academy PSIS Semarang U-18. Dirinya sudah mengantongi lisensi A-AFC sebagai bekal dalam karier kepelatihannya di masa mendatang.
Berikut ini petikan wawancara eksklusif Bola.com dengan Muhammad Ridwan seputar perjalanan panjang sebagai pesepak bola hingga aktivitasnya saat ini di PSIS Semarang.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Tentang Aktivitas Saat Ini
Apa kesibukan Anda di tengah pandemi virus Corona yang membuat aktivitas sepak bola Indonesia terhenti?
Saya sibuk momong anak di rumah saja. Untuk sepak bola juga off semua, saya sendiri tidak pernah ke lapangan lagi. Hanya tetap jaga kondisi saja.
Untuk jaga kondisi dan kebugaran, saya pribadi hanya latihan ringan di rumah. Begitu pula dengan anak-anak di akademi, tidak ada program khusus, hanya melaksanakan program mandiri saja di rumah.
Mereka atlet, jadi harus tetap bisa menjaga kondisi masing-masing. Awalnya memang ada program yang kami berikan, hanya ada keterbatasan lapangan, seperti tempat yang kurang luas.
Untuk itu kami berikan kebebasan latihan di manapun, sebisanya anak-anak. Durasinya pun juga bebas, saya yakin mereka tahu ukuran latihan masing-masing.
Sebelumnya sudah kami berikan panduan latihan mandiri. Juga tidak perlu harus terkontrol lewat video atau apa. Hanya saya tekankan jika sepak bola sudah menjadi jalan hidup, maka juga harus profesional dalam hidup.
Mereka tidak akan selamanya di Elite Pro Academy, karena sebagai sarana seleksi. Kalau tidak bisa bersaing akibat salah mengatur dirinya sendiri, ya harus ditanggung oleh masing-masing individu.
Kalau usaha sampingan, terus terang saya tidak ada. Tetap latihan mandiri saja, termasuk sempat melakukan hobi lain seperti bulutangkis. Namun, tidak melibatkan banyak orang, bulutangkis hanya empat sampai enam orang, dan jaraknya juga jauh.
Advertisement
Perjalanan Karier dari PSIS hingga Berakhir di PSIS
Apakah Anda bisa menceritakan kiprah selama memperkuat PSIS Semarang, hingga menjadi seorang pemain sayap yang begitu sulit tergantikan?
Bicara tentang awal karier di PSIS, saya merasa jalur hingga menjadi pemain PSIS dipermudah dan dilancarkan oleh Allah SWT. Sejak ikut SSB, tampil di PSIS junior, masuk tim Haornas, puslat PSIS, sampai ke tim senior PSIS, saya bisa ada di sana. Perjalanan karier saya di PSIS berjalan cukup lancar.
Sampai sebelum saya ke PSIS senior, saya sempat ikut tim PON Jateng. Lantas tahun pertama di PSIS berstatus magang. Apapun status saya, tapi bisa ikut di PSISÂ merupakan cita-cita saya.
Kemudian ada transformasi posisi yang saya alami sebagai pemain sepak bola karena posisi awal saya adalah sebagai gelandang tengah. Beberapa pelatih punya insting dan naluri melihat bakat pemain. Kemudian saat dipegang Danurwindo, saya dipasang sebagai bek kanan.
Akhirnya posisi saya naik ke sayap kanan ketika pindah ke Pelita Jaya saat dilatih oleh Fandi Ahmad hingga lanjut ke Timnas Indonesia.
Semua pasti butuh penyesuaian, tapi kita berlatih bagaimana cara bermain di setiap posisi. Setiap kali striker atau sayap melakukan kesalahan pelatih melakukan koreksi, dan kami ada di situ untuk belajar. Jadi tahu proses belajarnya.
Selain di PSIS, Anda berkelana di enam klub berbeda. Ada alasan khusus bergabung dengan klub-klub tersebut?
Pertama saat memutuskan keluar dari PSIS karena sebenarnya saya berada dalam zona nyaman. Saya pasti bermain, entah sebagai pemain inti atau cadangan. Tapi, saya pribadi ingin mendapat tempat reguler di tim.
Ada kesan saat itu bahwa saya baru bisa main itu sebagai pemain pengganti atau di babak kedua. Sementara saya ingin bermain dari awal permainan. Dan akhirnya ada tawaran dari Pelita KS.
Kemudian saya terpanggil masuk Timnas Indonesia untuk SEA Games. Tapi, posisinya saya belum masuk di tim reguler. Kalau saya mau mendapatkan tempat reguler dan menit bermain yang banyak saya harus turun kasta. Saya harus cari tempat dulu dan kemudian ada tawaran dari Persegi Gianyar.
Kemudian saya mendapat apa yang saya inginkan, yaitu tempat utama. Kemudian tawaran datang dari klub lama tempat saya bermain, PSIS. Kemudian juga di Sriwijaya FC, di mana saya ikut menjuarai ISL,
Kemudian saya menerima tawaran Persib Bandung. Banyak yang bertanya kenapa saya memilih Persib. Saya tertantang karena ada stigma di publik Bandung, Persib adalah kuburan bagi pemain bintang. Semua pemain tim nasional atau pemain bintang tidak akan sukses di Persib. Saya mencobanya dan alhamdulillah berhasil menjuarai liga dan Piala Presiden.
Bisa disimpulkan bahwa tidak semua pemain yang dianggap bintang atau berlabel Timnas Indonesia berakhir dengan buruk di Persib. Semua tentu kembali ke diri masing-masing.
Apa momen paling berkesan bagi Anda selama menjadi pemain profesional?
Kalau di level klub, tentu ketika PSIS jadi peringkat ketiga. Kemudian menjadi juara liga bersama Sriwijaya FC dan Persib. Terutama ketika membawa Persib juara mengalahkan Persipura. Saya ikut mencetak gol dan itu menjadi kesan yang indah bagi saya.
Kemudian Timnas Indonesia pada 2010 selalu ada dalam memori saya, meski akhirnya belum sesuai harapan karena tidak bisa menjadi juara. Setidaknya ikut menjadi momen istimewa bagi saya.
Alasan Pensiun dan Menjadi Pelatih
Anda memutuskan pensiun pada 2017 setelah membawa PSIS Semarang promosi ke Liga 1. Apa alasannya?
Ada tiga alasan, pertama dari awal memang sudah saya rencanakan. Saya fidak mau pensiun ketika saya tidak kuat lagi untuk bermain bola. Artinya, saya putuskan pensiun di saat fisik saya masih kuat.
Ketika memutuskan pensiun, masih banyak tawaran untuk saya agar tetap bermain, bahkan dari tim Liga 1.
Kemudian yang kedua karena gairah saya sudah mulai beralih ke dunia kepelatihan, di mana saya sudah punya lisensi saat itu. Kurang pas saat masih jadi pemain dan mulai merintis pelatih.
Saat itu ada semacam pemberontakan dalam hati saya, terasa tidak cocok dengan apa yang diterapkan pelatih. Tapi tidak mungkin saya utarakan ke pelatih. Maka saya putuskan untuk melakukan sendiri, mencakup strategi atau hal lainnya.
Alasan ketiga, saya punya anak yang sudah besar dan ingin saya dampingi, termasuk bersekolah di pondok. Kalau harus mendampinginya ke sana kemari, tapi saya harus bermain ke sana kemari, tentu sulit. Waktu saya banyak yang hilang, maka harus ada yang dikorbankan.
Apa yang mendorong Anda untuk tetap berkarier di sepak bola, terutama dunia kepelatihan saat ini?
Karena gairah saya memang ada di sepak bola. Disiplin ilmu juga di sepak bola. Untuk itu saya ingin ilmu yang saya miliki bisa berpindah ke orang lain dan mengubah kesejahteraan mereka. Saya merasa tidak punya keahlian lain di luar sepak bola.
Kemudian dunia kepelatihan, saya juga ingin menciptakan rolemodel yang ideal bagi masa depan sepak bola Indonesia. Saya melihat masih banyak pemain punya temperamen tinggi, punya kebiasaan buruk, kurang tepat jika dijadikan rolemodel.
Sebagai contoh ada siaran langsung pertandingan, semua usia bisa menyaksikan. Ketika ada insiden yang awalnya biasa saja, terus terjadi perkelahian, bagaimana nanti pemain usia 8 atau 9 atau 10 tahun melihat idolanya berkelahi? Itulah yang ingin saya ubah demi sepak bola Indonesia.
Kalau punya dasar karakter dan mental yang baik, Insyaallah bisa berkarier dalam jangka waktu yang lama. Akan berbeda kalau memiliki skill bagus, tapi attitude buruk, bisa jadi tidak lama kariernya. Akhir karier bisa cepat kalau banyak yang tidak suka dengan kita.
Apa cita-cita atau harapan Anda untuk karier ke depan?
Pasti ada cita-cita, secara individual saya punya goal setting atau rancangan seperti bagaimana tahun pertama, kemudian kedua, dan saat tahun ketiga. Ini masih awal saya belajar, bereksperimen, di mana ini tahun mencari banyak kekurangan atau kesalahan.
Kemudian ketika merasa sudah cukup di level ini, pasti saya mencoba tantangan lain, tentunya naik level.
Advertisement