Bola.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia tak pernah kehabisan cerita unik dan menarik. Ada saja kisah-kisah menarik di lapangan, maupun dari sisi-siai lainnya.
Ada fenomena tarkam atau turnamen antarkampung. Hal-hal seperti itu kadangkala sulit ditemui di negara-negara lain, alias hanya ada di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Dalam femomena tarkam, beberapa orang di Indonesia rela merogoh kocek dalam-dalam demi membawa timnya ikut turnamen tarkam dengan menggaet-menggaet pemain yang berstatus profesional, dan tentu saja berbanderol mahal.
Manuver mereka mungkin terasa aneh bagi orang-orang awam. Alasannya, apa manfaatnya mengeluarkan uang sebanyak mungkin padahal hadiah turnamen sangat kecil? Bagi mereka, keuntungan bukan lah segalanya. Itulah sisi unik dari sebuah turnamen antarkampung.
Berikut ini empat hal-hal unik yang kemungkinan hanya bisa ditemui di sepak bola Indonesia.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Keluarkan Ratusan Juta untuk Ikut Tarkam, Hadiah Hanya Rp25 Juta
Turnamen antarkampung selalu penuh cerita unik. Pria bernama Wahyu Widodo mendadak terkenal di Kabupaten Banjarnegara, Jateng, setelah klub tarkam yang ia bentuk menjuarai Piala Bupati Banjarnegara, 1 November 2015. Klub itu bernama Brahman Keong Racun yang sukses mengalahkan Persak Kebumen 2-0 pada partai final.
Wahyu adalah pedagang sapi di Pasar Induk Banjarnegara, yang sudah memulai bisnis sejak 2008. Sebagai pencinta sepak bola, Wahyu tak mau tinggal diam ketika Asosiasi PSSI Kabupaten Banjarnegara menggelar turnamen. Wahyu berpikir dengan membentuk klub dan ikut turnamen, ia bisa mempromosikan bisnis sapi.
Tak tanggung-tanggung, Wahyu membentuk klub dengan modal pemain lokal plus beberapa pemain ISL. Pada laga final, saat itu ada dua pemain Sriwijaya FC yang ia rekrut, yakni T.A. Musafri dan Fachrudin Wahyudi Aryanto. Dua pemain asing berhasil ia datangkan, yakni Herman Dzumafo dan Onambele Basile.
Selain itu, Brahman Keong Racun juga diperkuat gelandang Persib Bandung saat itu, Hariono dan mantan bek timnas, Nova Arianto. Ditambah lagi, ada eks striker Persikabo Bogor, Mustopa Aji dan penyerang lincah Persiba Bantul, Ugik Sugiyanto.
Pemain yang kenyang pengalaman di Indonesia Super League dan Divisi Utama itu tampil di partai final. Hasilnya, Musafri dan Mustopa Aji mencetak dua gol kemenangan Brahman Keong Racun.
Sebelumnya, Brahman Keong Racun juga diperkuat mantan gelandang timnas U-19, Muhammad Hargianto dan dua pemain Surabaya United, Slamet Nurcahyo dan Rudi Widodo. Total, selama gelaran Piala Bupati Banjarnegara, Wahyu sukses mendatangkan 11 pemain berlabel ISL (kompetisi kasta tertinggi saat itu).
Enam di antaranya gabung klub ISL hingga saat ini, yakni Hariono, T.A. Musafri, Fachrudin, Hargianto, Slamet Nurcahyo, dan Rudi Widodo. Sementara, Nova Arianto, Herman Dzumafo, Onambele Basile, Erik Setiawan, dan Munadi berstatus eks pemain ISL karena saat ini tidak aktif di klub ISL.
Wahyu membeberkan, ia membayar pemain mulai 2 hingga 5 juta rupiah untuk sekali tanding. Bila ditotal, uang yang ia keluarkan mencapai seratus juta lebih. Padahal, hadiah juara turnamen hanya 25 juta.
Advertisement
Nonton Tarkam dari Kuburan, Lapangan Berubah Jadi Kolam Saat Hujan
Turnamen anarkampung adalah salah satu fenomena unik yang mungkin hanya ada di Indonesia. Sebuah turnamen tarkam menarik yang pernah digelar adalah Plumbon Cup 2015.
Ajang tersebut berlangsung di lereng Gunung Lawu, tepatnya Stadion Mini Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar itu. Meski tarkam, atmosfernya seperti kompetisi kompetisi resmi.
Selain adu performa 16 tim yang delapan di antaranya merupakan tim Divisi Utama, ribuan suporter juga berjubel di berbagai sudut stadion. Sebut saja Ultras Curva Sud milik Madiun Putra FC, SPINK (Persipur Purwodadi), Ganster (PSIR Rembang), hingga suporter "tuan rumah" Pasoepati.
Puncak antusiasme masyarakat sejauh ini terjadi saat Persis Solo menghajar klub amatir, AC Bola Cepu, dengan skor 5-1, pada 5 November 2015. Sedikitnya 5.800 lembar tiket terjual yang mayoritas dibeli suporter Pasoepati dengan per lembarnya dibanderol Rp8.000.
Ada beragam cerita menarik di balik turnamen yang berlangsung sejak 30 Oktober lalu. Kontestan Divisi Utama yang kalah dari klub amatir, lapangan jadi kolam saat hujan, hingga puluhan masyarakat yang menyaksikan laga dari area makam.
Warganya terpaksa menonton pertandingan dari kuburan yang terletak di utara lokasi pertandingan karena menghindari gesekan dengan suporter. Beruntung, letak makam berada di atas tebing sehingga pandangan ke lapangan masih terlihat.
Coba di mana ada fenomena penonton menyaksikan pertandingan dari arena makam? Sepertinya benar-benar hanya ada di Indonesia.
Transfer Pemain Berbanderol Rp100
Peristiwa transfer unik juga pernah terjadi di Indonesia. Pemain Arseto Solo, Indriyanto Nugroho, direkrut Pelita Jaya dengan biaya transfer Rp100 pada Maret 1996.
Perpindahan pemain dengan uang senilai Rp100 itu merupakan yang termurah dalam sejarah sepak bola di Indonesia. Sepertinya tak ada transfer dengan nilai serendah itu di mana pun.
Atas harga transfer tersebut, Indriyanto mendapat julukan Mister Cepek.
Nilai transfer tersebut bukan sekadar angka. Nominal transfer Rp100 tersebut sebagai bentuk rasa frustrasi Arseto atas sikap Indriyanto. Sang pemain membantah pernah dibina Arseto Solo.
Jadi, nilai nilai transfer itu merupakan celaan atau sindiran dari Arseto kepada Indriyanto.
Advertisement
Sedang Bermain di Lapangan, 2 Pemain Ditangkap Polisi
Pemain bola ditangkap polisi karena kasus kriminal bukan hal aneh. Tapi, apa jadinya jika ada pemain yang ditangkap polisi ketika bertanding? Yang jelas kasus seperti itu pernah terjadi di Indonesia.
Dua pesepak bola ditangkap polisi ketika sedang membela tim masing-masing di ajang Divisi Utama Liga Indonesia 2009, pada 12 Februari, di Stadion Sriwedari Solo.
Pemain yang dimasud adalah Nova Zaenal dari Persis Solo dan Bernard Mamadao dari Gresik United.
Kronologinya, Bernard diduga memukul Nova saat berebut bola pada menit ke-80. Nova kemudian mengejar Bernard, kemudian diikuti aksi saling mengejar antara pemain Persis dan GU, sehingga memicu keributan.
Keributan itu kebetulan disaksikan langsung Kapolda Jawa Tengah saat itu, Irjen Alex B Riatmodjo. Dia kemudian beranjak dari tribune dan turun ke lapangan. Alex kemudian memerintahkan kedua pemain itu ditangkap dan dibawa keluar dari lapangan.
Kedua pemain sempat mendekam di penjara. Saat divonis, Nova dan Bernard sama-sama mendapat hukuman tiga bulan penjara.