Bola.com, Makassar - Ada tiga pelatih asing yang membawa kesan mendalam ketika berkiprah pada sepak bola tanah air. Mereka adalah Antun Pogacnik (Yugoslavia), Anatoli Polosin (Rusia) dan Wiel Coerver (Belanda).
Ketiganya dikenang bukan sekadar menghadirkan prestasi. Tapi juga membangun karakter sekaligus mengembangkan kemampuan pemain dan tim. Pogacnik yang menangani tim nasional Indonesia pada era 1954-1963 membawa skuatnya meraih medali perunggu pada Asian Games 1958.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan Polosin yang menangani timnas periode 1987-1991 adalah sosok penting di balik keberhasilan Indonesia meraih medali emas Sea Games 1991. Layaknya pelatih asal Eropa Timur, Pogacnik dan Polosin mengedepankan pendekatan pada kekuatan fisik yang didapatkan dari lathan spartan dan keras.
Cara berbeda yang dilakukan Wiel Coerver ketika berkiprah di Indonesia pada 1975-1976 dan 1979. Pelatih yang membawa Feyenoord meraih trofi juara Piala UEFA musim 1973-1974 lebih mengedepankan permainan sepak bola yang terstruktur.
Mulai dari dasar penguasaan bola sampai dengan penerapan taktik penyerangan secara berkelompok. Lewat metode ini, Coerver mendapat julukan “The Albert Einstein of Football”.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
The Albert Einstein of Football
Kelebihan inilah yang membuat PSSI era Bardosono sebagai ketua umum mendatangkannya untuk mempersiapkan timnas dengan target lolos ke Olimpiade Montreal 1976.
Seperti diketahui, Indonesia gagal memenuhi target itu setelah kalah adu penalti dari Korea Utara di partai final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, 26 Februari 1976.
Tiga tahun kemudian, Wiel Coerver kembali menangani timnas yang akan tampil pada Sea Games 1979 di Jakarta. Seperti pada kali pertama menangani timnas Indonesia, Coerver kembali merasakan kekecewaan yang dalam.
Di laga final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Dede Sulaiman dan kawan-kawan kalah 1-2 dari Malaysia.
Periode pertama Coerver di Indonesia banyak ia habiskan dengan menangani puluhan pemain muda terbaik tanah air di Diklat Salatiga.
Dalam menangani tim, ia ditemani Wim Hendriks serta pelatih lokal yakni Ilyas Haddade (Makassar), Aan Witarsa, Kaelani (Bandung), Sartono Anwar(Semarang), Solekan (Surabaya), Ary Kussoy (Manado) serta Erenst Albert Mangindaan selaku penasehat.
Advertisement
Kenangan Diklat Salatiga
Eks pemain PSM Makassar, Syamsuddin Umar dan Najib Latandang memiliki kenangan tersendiri saat mengecap pengalaman dilatih oleh Corver.
Menurut Najib, Coerver menerapkan disiplin yang ketat. Sesi latihan pun dilakukan tiga kali dalam sehari. Titik berat latihannya adalah teknik dasar seperti kontrol, mengumpan, dribling, merebut bola dan shooting.
"Dalam latihan, coach Coerver selalu meneriakkan kata fokus dan konsentrasi," kenang Najib.
Pada malam hari, Coerver selalu mengecek kamar pemain untuk memastikan asuhannya beristirahat tepat waktu. Meski dikenal disiplin, Coerver sangat memperhatikan pemainnnya seperti menu makanan.
Seperti setiap Rabu sampai Sabtu semua pemain wajib makan daging. "Setiap pemain pun wajib melaporkan kebutuhan yang kurang. Seperti sepatu rusak dan lain-lain agar bisa diselesaikan dengan cepat oleh pengurus. Kalau tidak melapor, pemain yang kena sanksi," kata Najib.
Selain Najib dan Syamsuddin, ada sepuluh pemain lain dari Makassar yakni Hafied Ali, Yusuf Malle, Fredy Gobel, Yohanes Deong, Donny Pattinasarani, Hamzah Arfah, Mansyur Masaniga, Jamal Yusuf, Suwarno dan Pieter Tarra.
Belakangan satu anak Makassar lainnya, Abdi Tunggal yang baru memperkuat timnas Indonesia di Piala Raja ikut bergabung.
"Total ada 94 pemain angkatan pertama yang datang ke Salatiga. Sejalan dengan waktu jumlahnya menyusut karena dipulangkan," timpal Syamsuddin.
Push Up Dulu Baru Malam Mingguan
Agar pemain tak jenuh, Coerver pun mengizinkan pemainnya berakhir pekan atau menikmati malam minggu dengan agenda masing-masing.
Tapi, sebelumnya, pemain yang meminta izin harus terlebih push-up dan lompat sampai puluhan kali. "Kalau tidak seusai standarnya, jangan harap izin diberikan," cerita Syamsuddin.
Syamsuddin punya cerita unik terkait hal ini. Ketika memberi izin, Coerver bertanya ke Syamsuddin apa yang akan dilakukannya.
"Saya jawab ke rumah teman yang tak jauh dari asrama. Saat lagi asyik ngobrol dengan teman wanita saya, coach Coerver tiba-tiba datang. Saya kaget juga," tutur Syamsuddin.
Syamsuddin mengira Coerver marah. "Dia malah bilang ke teman wanita saya itu bahwa ia beruntung bisa kenal dengan saya. Setelah itu, coach Coerver pamit dan negeloyor pergi."
Tak hanya itu, Coerver kerap menggelar pertandingan tinju antar pemain kala libur latihan. Dibagi tiga kelompok berdasarkan jumlah barak. Seluruh pemain wajib ikut serta.
Biasanya, pemain asal Makassar yang paling sering berhadapan di laga final. "Hamzah dan Deong yang selalu bertahan sampai akhir. Alhasil, pemain asal Makassar selalu disegani di kalangan pemain," kenang Syamsuddin.
Advertisement