Bola.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia tak pernah kehabisan cerita. Ada saja kisah-kisah menarik di lapangan, maupun dari sisi-siai lainnya. Banyak hal terjadi di luar nalar.
Selain menghadapi jadwal kickoff kompetisi yang sulit ditebak, penundaan jadwal yang bisa terjadi sewaktu-waktu, hingga fenomena tim musafir, masih banyak sisi lain yang menarik digali.
Baca Juga
Advertisement
Ada fenomena beberapa klub yang ganti nama, lika-liku suporter dalam mendukung tim kesayangan di tempat-tempat jauh hingga tradisi turnamen antarkampung. Hal-hal seperti itu kadangkala sulit ditemui di negara-negara lain, alias hanya ada di Indonesia.
Femomena tarkam misalnya. Beberapa orang di Indonesia rela merogoh kocek dalam-dalam demi membawa timnya ikut turnamen tarkam dengan menggaet-menggaet pemain yang berstatus profesional, dan tentu saja berbanderol mahal.
Manuver mereka mungkin terasa aneh bagi orang-orang awam. Alasannya, apa manfaatnya mengeluarkan uang sebanyak mungkin padahal hadiah turnamen sangat kecil? Bagi mereka, keuntungan bukan lah segalanya. Itulah sisi unik dari sebuah turnamen antarkampung.
Berikut ini delapan hal-hal unik yang kemungkinan hanya bisa ditemui di sepak bola Indonesia.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Laga Dipindah karena Pilkades
Laga dipindah karena stadion sedang direnovasi bukan hal yang aneh. Tapi, ada yang unik ketika pertandingan Liga 1 2019 antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta terpaksa digelar di Stadion Kapten I Wayang Dipta, Gianyar, Bali.
Pertandingan tersebut harusnya digelar di Bandung karena Persib bertindak sebagai tuan rumah. Jika sesuai rencana, laga tersebut dihelat di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, pada 28 Oktober 2019.
Namun, pihak kepolisian tak memberikan izin pertandingan pada hari itu. Alasannya pada 27 dan 28 Oktober ada perhelatan Pilkades Serentak di Kabupaten Bandung. Alhasil, polisi fokus mengamankan agenda politik tersebut.
Daripada terus diundur, laga Persib kontra Persija akhirnya dipindah ke Bali. Laga tersebut dimenangi Persib Bandung dengan skor 2-0 pada lanjutan Shopee Liga 1 2019.
Apakah ada di belahan lain dunia alasan penundaan seperti itu? Hmm...sepertinya tidak.
Advertisement
Laga Ditunda kemudian Besok Nonton Gratis
Pernah menemukan di sepak bola Indonesia pertandingan yang seharusnya digelar sore atau malam tiba-tiba harus ditunda? Biasanya penundaan diambil karena kondisi cuaca, seperti hujan lebat yang membuat lapangan di stadion tergenang.
Kejadian seperti itu sering terjadi di sepak bola Indonesia karena banyak stadion Indonesia yang belum punya sistem drainase yang bagus. Alhasil, ketika hujan terus menerus lapangan akhirnya banjir.
Jika terjadi seperti itu, permainan menjadi tidak maksimal karena bola sulit bergulir. Wasit terkadang dengan terpaksa harus menghentikan pertandingan.
Dalam beberapa kejadian, panpel akan memutuskan pertandingan tunda atau lanjutan akan digelar keesokan harinya, tentu terbuka untuk umum dan gratis. Pertandingan biasanya digelar pukul 07.00 atau 08.00 pagi. Pernah mengalami momen seperti itu? Lumayan kan bisa nonton pertandingan gratis, walaupun kadang terpaksa harus bolos sekolah atau terlambat sampai di kantor.
Klub-klub Berganti-ganti Nama
Nama menjadi identitas penting bagi klub. Nama klub biasanya bertahan selama bertahun-tahun bahkan bisa mencapai satu abad lebih. Jarang klub-klub dunia yang hobi gonta-ganti nama.
Namun, gonta-ganti nama klub bukan hal aneh di sepak bola Indonesia. Alasannya juga bermacam-macam, misalnya pembelian klub, pindah kandang, akuisisi, atau merger antarklub.
Salah satu contoh yang terbaru adalah PS Tira Persikabo. Nama itu dipilih ketika manajemen PS Tira merger dengan Persikabo Bogor. Klub tersebut tampil di Liga 1 2019.
Bagaimana dengan Bali United? Tentu saja dulu namanya bukan itu. Klub itu dulunya bernama Persisam Samarinda. Pada 2014, Persisam Samarinda pindah kandang ke Bali. Mereka juga berganti nama jadi Bali United FC.
Nama Madura United juga masih sangat baru. Awalnya klub tersebut merupakan merger dari Mastrans dengan Bandung Raya, yang namanya menjadi Mastrans Bandung Raya.
Bandung Raya kemudian mengakuisisi Pelita Jaya sehingga bermetamorfosis menjadi Pelita Bandung Raya pada 2012. Kemudian Pelita Bandung Raya merger dengan Persipasi Bekasi, menjelma menjadi Persipasi Bandung Raya pada 2015. Klub tersebut kemudian diakuisisi menjadi Madura United.
Rumit bukan?
Advertisement
Suporter Jauh-jauh Away Naik Kapal Laut, Eh Laga Malah Batal
Suporter PSM Makassar mendapat pengalaman yang sulit dilupakan saat akan mendukung tim kesayangan mereka menghadapi Persebaya Surabaya di pekan ke-26 Shopee Liga 1 2019 di Stadion Gelora Bung Tomo, Sabtu (2/11/2019).
Suporter PSM Makassar mulai berdatangan dan tiba di Surabaya, Kamis (31/10/2019). Kebanyakan mereka datang menggunakan kapal laut yang berlabuh di Tanjung Perak Surabaya.
Namun, saat mereka sudah tiba di Surabaya, ada pengumuman laga dipindah ke Stadion Bantakan, Balikpapan, dengan tanggal yang sama karena Persebaya sudah mendapat izin keamanan menggelar laga di Jawa Timur.
Tentu saja para suporter PSM kecewa. Sudah jauh-jauh datang ke Surabaya naik kapal laut, eh pertandingan malah dipindah.
"Rombongan pertama sudah tiba tadi subuh di pelabuhan (Tanjung Perak) sekitar 40 orang. Rombongan kedua ada 15 orang datang naik pesawat dan nanti malam juga ada puluhan tiba naik kapal laut," jelas salah seorang suporter PSM, Awi.
"Kami kaget karena baru dengar info tersebut saat sampai sekitar pukul 05.00 WIB tadi karena kami baru dapat sinyal. Selama di atas kapal tidak ada sinyal," imbuhnya.
"Karena sudah terlanjur di sini, kami hanya bisa nonton bareng saja. Ini sudah ada ajakan dari beberapa Bonek, tapi tempatnya berbeda-beda. Kalau bisa dijadikan satu," ucapnya.
Ternyata harapan nonbar pun akhirnya batal. Penyebabnya, pertandingan tersebut akhirnya benar-benar ditunda.
Nonton Laga dari Kuburan, Lapangan Berubah Jadi Kolam Saat Hujan
Turnamen anarkampung adalah salah satu fenomena unik yang mungkin hanya ada di Indonesia. Salah satu turnamen tarkam menarik yang pernah digelar adalah Plumbon Cup 2015. Ajang tersebut berlangsung di lereng Gunung Lawu, tepatnya Stadion Mini Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar itu. Meski tarkam, atmosfernya seperti kompetisi kompetisi resmi.
Selain adu performa 16 tim yang delapan di antaranya merupakan tim Divisi Utama, ribuan suporter juga berjubel di berbagai sudut stadion. Sebut saja Ultras Curva Sud milik Madiun Putra FC, SPINK (Persipur Purwodadi), Ganster (PSIR Rembang), hingga suporter "tuan rumah" Pasoepati.
Puncak antusiasme masyarakat sejauh ini terjadi saat Persis Solo menghajar klub amatir, AC Bola Cepu, dengan skor 5-1, pada 5 November 2015.
Sedikitnya 5.800 lembar tiket terjual yang mayoritas dibeli suporter Pasoepati dengan per lembarnya dibanderol Rp 8000.
Ada beragam cerita menarik di balik turnamen yang berlangsung sejak 30 Oktober lalu. Kontestan Divisi Utama yang kalah dari klub amatir, lapangan jadi kolam saat hujan, hingga puluhan masyarakat yang menyaksikan laga dari area makam.
Warganya terpaksa menonton pertandingan dari kuburan yang terletak di utara lokasi pertandingan karena menghindari gesekan dengan suporter. Beruntung, letak makam berada di atas tebing sehingga pandangan ke lapangan masih terlihat.
Coba di mana ada fenomena penonton menyaksikan pertandingan dari arena makam? Sepertinya benar-benar hanya ada di Indonesia.
Advertisement
Transfer Cepek Rupiah
Peristiwa transfer unik juga pernah terjadi di Indonesia. Pemain Arseto Solo, Indriyanto Nugroho, direkrut Pelita Jaya dengan biaya transfer Rp100 pada Maret 1996.
Perpindahan pemain dengan uang senilai Rp100 itu merupakan yang termurah dalam sejarah sepak bola di Indonesia. Sepertinya tak ada transfer dengan nilai serendah itu di mana pun.
Atas harga transfer tersebut, Indriyanto mendapat julukan Mister Cepek.
Nilai transfer tersebut bukan sekadar angka. Nominal transfer Rp100 tersebut sebagai bentuk rasa frustrasi Arseto atas sikap Indriyanto. Sang pemain membantah pernah dibuna Arseto Solo.
Jadi, nilai nilai transfer itu merupakan celaan atau sindiran dari Arseto kepada Indriyanto.
Keluarkan Ratusan Juta untuk Ikut Tarkam, Hadiah Hanya Rp25 Juta
Turnamen antarkampung selalu penuh cerita unik. Pria bernama Wahyu Widodo mendadak terkenal di Kabupaten Banjarnegara, Jateng, setelah klub tarkam yang ia bentuk menjuarai Piala Bupati Banjarnegara, 1 November 2015. Klub itu bernama Brahman Keong Racun yang sukses mengalahkan Persak Kebumen 2-0 pada partai final.
Wahyu adalah pedagang sapi di Pasar Induk Banjarnegara, yang sudah memulai bisnis sejak 2008. Sebagai pencinta sepak bola, Wahyu tak mau tinggal diam ketika Asosiasi PSSI Kabupaten Banjarnegara menggelar turnamen. Wahyu berpikir, dengan membentuk klub dan ikut turnamen, ia bisa mempromosikan bisnis sapi.
Tak tanggung-tanggung, Wahyu membentuk klub dengan modal pemain lokal plus beberapa pemain ISL. Pada laga final, saat itu ada dua pemain Sriwijaya FC yang ia rekrut, yakni T.A. Musafri dan Fachrudin Wahyudi Aryanto. Dua pemain asing berhasil ia datangkan, yakni Herman Dzumafo dan Onambele Basile.
Selain itu, Brahman Keong Racun juga diperkuat gelandang Persib Bandung saat itu, Hariono dan mantan bek timnas, Nova Arianto. Ditambah lagi, ada eks striker Persikabo Bogor, Mustopa Aji dan penyerang lincah Persiba Bantul, Ugik Sugiyanto. Pemain yang kenyang pengalaman di Indonesia Super League dan Divisi Utama itu tampil di partai final. Hasilnya, Musafri dan Mustopa Aji mencetak dua gol kemenangan Brahman Keong Racun.
Sebelumnya, Brahman Keong Racun juga diperkuat mantan gelandang timnas U-19, Muhammad Hargianto dan dua pemain Surabaya United, Slamet Nurcahyo dan Rudi Widodo. Total, selama gelaran Piala Bupati Banjarnegara, Wahyu sukses mendatangkan 11 pemain berlabel ISL (kompetisi kasta tertinggi saat itu).
Enam di antaranya gabung klub ISL hingga saat ini, yakni Hariono, T.A. Musafri, Fachrudin, Hargianto, Slamet Nurcahyo, dan Rudi Widodo. Sementara, Nova Arianto, Herman Dzumafo, Onambele Basile, Erik Setiawan, dan Munadi berstatus eks pemain ISL karena saat ini tidak aktif di klub ISL.
Wahyu membeberkan, ia membayar pemain mulai 2 hingga 5 juta rupiah untuk sekali tanding. Bila ditotal, uang yang ia keluarkan mencapai seratus juta lebih. Padahal, hadiah juara turnamen hanya 25 juta.
Advertisement
Sedang Bermain di Lapangan, 2 Pemain Ditangkap Polisi
Pemain bola ditangkap polisi karena kasus kriminal bukan hal aneh. Tapi, apa jadinya jika ada pemain yang ditangkap polisi ketika bertanding? Yang jelas kasus seperti itu pernah terjadi di Indonesia.
Dua pesepak bola ditangkap polisi ketika sedang membela tim masing-masing di ajang Divisi Utama Liga Indonesia 2009, pada 12 Februari, di Stadion Sriwedari Solo.
Pemain yang dimasud adalah Nova Zaenal dari Persis Solo dan Bernard Mamadao dari Gresik United.
Kronologinya, Bernard diduga memukul Nova saat berebut bola pada menit ke-80. Nova kemudian mengejar Bernard, kemudian diikuti aksi saling mengejar antara pemain Persis dan GU, sehingga memicu keributan.
Keributan itu kebetulan disaksika langsung Kapolda Jawa Tengah saat itu, Irjen Alex B Riatmodjo. Dia kemudian beranjak dari tribune dan turun ke lapangan. Alex kemudian memerintahkan kedua pemain itu ditangkap dan dibawa keluar dari lapangan.
Kedua pemain sempat mendekam di penjara. Saat divonis, Nova dan Bernard sama-sama mendapat hukuman tiga bulan penjara.
Salah Bawa Sepatu saat Bertanding di LCA
Berstatus sebagai juara Indonesia Super League 2008-2009, Persipura Jayapura secara otomatis mewakili Indonesia di pentas Liga Champions Indonesia musim 2010. Performa Tim Mutiara Hitam jeblok di fase penyisihan.
Persipura bisa dibilang apes menatap persaingan LCA musim itu. Tim asuhan Jacksen F. Tiago tak bisa bermain di kandangnya sendiri, Stadion Mandala, Jayapura, karena tak lolos verifikasi AFC. Jadilah Boaz Solossa dkk. bertanding di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Persipura tak mendapat dukungan maksimal suporter fanatisnya saat menjalani laga-laga kandang LCA dengan lawan-lawan berat asal Korea Selatan dan China.
Lepas dari urusan suporter, dengan bermain di luar pulau, Persipura kehilangan keuntungan nonteknis, pemain-pemain lawan kelelahan saat menempur perjalanan jauh dengan sistem transit dari negaranya ke Jakarta kemudian disambung ke Jayapura.
"Buat kami, bermain di SUGBK jelas bukan hal yang ideal. Tapi kami harus menelan realita pahit tersebut. Kami akan tetap fight bermain sebaik-baiknya untuk mengharumkan nama Papua dan juga Indonesia di kawasan Asia," kata Ruddy Maswi, manajer Persipura.
Dan benar saja, Persipura memulai langkah gontai persaingan Grup F, dengan torehan kekalahan 1-4 melawan raksasa Jeonbuk Hyundai Motors di SUGBK. Anak asuh Jacksen F. Tiago terlihat lesu darah bertanding dengan dihadiri penonton yang hanya kisaran 1.000 orang saja.
Derita Persipura bertambah saat melakoni duel kedua di markas klub China, Changchun Yatai pada 9 Maret 2020. Tanpa ampun anak-anak Persipura dihajar 0-9.
Cerita menarik di balik kekalahan telak memalukan tersebut mencuat. Persipura yang minim jam terbang internasional bisa dibilang tak siap melakoni laga ini.
Hal itu terlihat dari kejadian sepele, mereka salah membawa perlengkapan perang sepatu. Mereka tak memprediksi Changchun Stadium tempat digelarnya pertandingan gundul dan bersalju.
Pada periode awal tahun Negeri Panda memasuki periode musim dingin. Persipura sejatinya menyadari itu. Manajemen menyiapkan baju dingin buat para pemain.
Orang dalam Persipura sempat membocorkan bahwa awak tim membawa bekal minuman beralkohol, untuk mengatasi rasa dingin di China. Walau hal tersebut belakangan dibantah Ruddy Maswi.
Sang manajer tak ingin salah persepsi dengan hal itu, mengingat citra masyarakat Papua dekat dengan minuman keras di masa lalu. "Enggak benar cerita itu. Nanti orang salah sangka," katanya.
Dan benar saja Persipura menghadapi neraka jahanam udara dingin di kota Changchun yang sangat menyengat. Temperatur hingga minus derajat celcius.
"Kami masuk ke stadion dengan udara teramat sangat dingin. Kaki gemetar kami sampai gemetar karena tak tahan. Fokus ke pertandingan buyar," cerita Ricardo Salampessy, bek Persipura yang turun bertanding saat itu.
Permasalahan tidak berhenti sampai di situ, para pemain Persipura juga salah bawa perlengkapan perang bertanding sepatu.
Sepatu yang mereka pakai sepatu bola biasa untuk lapangan dalam kondisi normal. Realita yang mereka hadapi, lapangan tempat bertanding berlangsung gundul dan dialasi salju.
Sepanjang pertandingan, para pemain Persipura kerapkali tergelincir menggiring bola. Striker sekaligus mesin utama, Boaz Solossa, dibuat stres dengan kondisi tersebut.
"Gila, saya enggak bisa berbuat apa-apa. Dapat sodoran umpan matang, saat lari belum sampai menyentuh bola saya sudah terjatuh duluan. Berapa kali mau menembak meleset, kaki tak mengenai bola sama sekali," ceritanya.
Jendri Pitoy hanya bisa pasrah melihat gawangnya dijebol sembilan kali oleh kubu lawan lewat gol-gol yang relatif mudah. "Lini belakang kami berantakan. Pemain belakang seringkali berjatuhan saat duel dengan para penyerang lawan di area kotak penalti. Situasinya benar-benar tak terkendali," kata penjaga gawang asal Manado itu.
Advertisement
Piala Hilang karena Pengusuran
Ironisnya, pada tanggal 26 Juli 2006, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menginstruksikan Satpol PP merobohkan Stadion Menteng yang jadi markas legendaris Persija Jakarta di masa perserikatan.
Tim Jingga sendiri sejatinya sejak tahun tahun 2000 sudah menjalani pertandingan resmi di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Stadion berkapasitas 15.000 penonton itu tadinya jadi markas klub eks kontestan kompetisi Galatama, Pelita Jaya, yang belakangan pindah ke Solo.
Stadion Menteng sendiri hanya dipakai buat latihan, mes, dan tempat menggelar kompetisi internal klub anggota Persija.
Insiden penggusuran Stadion Lebak Bulus menyisakan luka bagi petinggi klub internal. Saat aksi penggusuran prasasti kejayaan tercerai berai.
Piala-piala simbol kejayaan di era perserikatan sempat hilang tak ketahuan rimbanya sebelum kembali ditemukan pada 25 Maret 2014. Total 73 piala ditemukan tergolek di sebuah rumah tua di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Biner Tobing, mantan Ketua Umum Persija bercerita kenapa hal itu bisa terjadi.
"Waktu itu karena panik saya meminta anak-anak PS Mahasiswa menyelamatkan piala-piala Persija yang berserakan di pinggir jalan saat pengusuran terjadi. Miftah salah satu pengurus PS Mahasiswa berinisiatif menitipkan ke salah satu temannya mahasiswa Universitas Indonesia," cerita Biner Tobing.
Fauzan Zidni, nama mahasiswa tersebut meletakkan piala-piala Persija di rumah orang tuanya yang tidak ditempati. Rumah tua yang sudah lama ditinggal penghuninya ke Amerika Serikat menjadi tempat pengungsian benda-benda mati saksi kejayaan Persija.