Bola.com, Makassar - Perjalanan PSM Makassar di pentas sepak bola tanah air tak lepas dari dukungan militan suporternya yang dikenal fanatik. Terutama saat Juku Eja menjamu lawan di Stadion Andi Mattalatta Mattoangin. Bentuk dukungan suporter PSM variatif sesuai kondisi, baik di era Perserikatan sampai Liga Indonesia.
Pada era Perserikatan, cara suporter PSM Makassar mendukung tim kesayangannya terbilang unik. Ada dua fase bentuk dukungan mereka di era Perserikatan, yakni pada 1950 sampai 1980an serta awal 1990an.
Baca Juga
Hasil Liga Inggris: Dipaksa Imbang Everton, Chelsea Gagal Kudeta Liverpool dari Puncak
Hasil Liga Italia: Bang Jay Gacor 90 Menit, Venezia Sikat Cagliari dan Keluar dari Posisi Juru Kunci
Aneh tapi Nyata! PSM Main dengan 12 Pemain saat Menang atas Barito Putera di BRI Liga 1: Wasit Pipin Indra Pratama Jadi Bulan-bulanan
Advertisement
"Saat itu, suporter menuntut kami tampil bagus di Stadion Andi Mattalatta Mattoangin. Kalau tidak, bukan tim lawan yang diteror, justru kami yang mendapat teriakan dan ejekan yang tidak menyenangkan sepanjang pertandingan," ujar Surul Lengu, eks striker PSM dan Timnas Indonesia era 1980-an kepada Bola.com pada satu kesempatan pertemuan.
Tak hanya di stadion, bila PSM akhirnya seri apalagi kalah, teror suporter berlanjut sampai dua hari setelah pertandingan. "Saat itu, kami sampai malas keluar rumah karena pasti mendapat cibiran dari suporter yang kecewa," kenang Surul.
Berbeda dengan fase kedua. Ketika PSM Makassar melakoni perjalanan Divisi Utama Perserikatan 1991-1992. Pada putaran pertama, Juku Eja yang ditangani Syamsuddin Umar terpuruk di peringkat lima dari enam tim Wilayah Timur. Ambisi meraih trofi juara Perserikatan yang tidak pernah lagi diraih sejak 1966 seperti hanya mimpi.
Tak ingin melihat tim kesayangannya terpuruk, suporter PSM bersatu dan mengubah bentuk dukungan. Kehadiran pengusaha kondang Makassar, Ande Latief, yang turut membantu pengelola PSM jadi penanda kebangkitan.
Berkat Ande Latief, kecintaan terhadap PSM kembali bergelora. Ribuan suporter PSM selalu hadir menemani pemain pada latihan reguler di Karebosi. Malah, saat pemain berlatih, suporter menyiapkan kotak bantuan yang digilir ke setiap suporter. Hasilnya langsung diberikan ke pemain untuk kebutuhan harian.
"Kami ingin pemain nyaman dan lebih fokus kepada pertandingan," ungkap Iskandar Muzakkir, pentolan suporter PSM.
Sebaliknya, tim tamu yang datang ke Makassar pun dibuat tak nyaman. Dari bandara, penginapan sampai di stadion. Setiap malam, ada saja sekelompok suporter yang sengaja hilir mudik dengan sepeda motor yang menggunakan knalpot dengan suara keras di depan penginapan.
Bekerjasama dengan media lokal, suporter membuat tabloid stensilan yang isinya berita 'teror' buat tamu dan penyemangat buat pemain PSM. Tabloid ini sudah ada di lobi atau diselipkan ke kamar pemain tim tamu.
Ada cerita menarik di balik teror suporter PSM itu. Setelah mendapat komplain dari tim tamu, Ande Latief atas nama pengelola minta maaf. Pernyataan Ande Latief ini tidak diterima suporter.
Alhasil kaca jendela rumah Ande Latief pun hancur kena lemparan batu suporter. Konon, tindakan ini hanya skenario jitu Ande Latief untuk mendinginkan suasana hati tim tamu.
Seperti diketahui, PSM Makassar akhirnya lolos ke enam besar yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno. Tak hanya itu, Juku Eja pun menuntaskan dahaga gelarnya dengan meraih trofi juara setelah mengalahkan PSMS Medan 2-1 di laga final.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Era Liga Indonesia
Di era Liga Indonesia, aksi teror ke tim tamu tetap ada meski agak sedikit soft. Dimulai dengan kehadiran Nurdin Halid yang mengambil alih kepengeloaan PSM Makassar pada Liga Indonesia 1995-1996. Pengusaha gila bola yang ambisius ini membuat euforia dan suporter kembali setelah PSM terpuruk pada musim sebelumnya.
Kedatangan trio Brasil, Marcio Novo, Jacksen Tiago dan Luciano Leandro membuat Stadion Andi Mattalatta Mattoangin yang berkapasitas 15.000 penonton selalu penuh. Malah, pada babak kedua, jumlah bisa dua kali lipat dan meluber ke pinggir lapangan karena di babak kedua, panpel sengaja membuka pintu stadion tribune terbuka. Situasi dan kondisi ini jelas membua tim tamu tak nyaman dan kehilangan nyali.
PSM akhirnya berjaya di Wilayah Timur. Namun, ambisi Nurdin Halid membawa PSM meraih gelar perdana di Liga Indonesia kandas. Pada partai puncak, Juku Eja ditekuk Mastrans Bandung Raya 0-2 di Stadion Gelora Bung Karno. Masih dengan cara sama, PSM dan suporternya akhirnya berpesta pada musim 1999-2000. Dengan materi pemain mentereng, PSM meraih trofi juara dengan mengalahkan PKT Bontang.
Setelah juara, bentuk dukungan suporter berubah total. Ditandai dengan kehadiran suporter kreatif, The Maczman, yang berdiri pada 2001, dukungan untuk memotivasi pemain diubah menjadi yel-yel, spanduk atau baliho penyemangat.
Komunikasi dengan kelompok suporter klub lain pun mulai terjalin. Belakangan, suporter PSM dikenal sebagai tuan rumah yang baik buat rekan-rekannya dari suporter tim tamu.
"Kami berusaha menjamu semampu kami dengan menyediakan tempat untuk mereka menginap," ungkap Sadat Sukma, Sekjen Red Ganks.
Alhasil, bila PSM melakoni laga tandang, suporter selalu mendapat perlakuan yang baik.
Namun, stigma positif suporter PSM sempat ternoda kala Juku Eja menjamu Persija Jakarta pada leg kedua final Piala Indonesia 2008-2009. Setelah uji lapangan, bus pemain Persija dilempari oleh oknum suporter sehingga kaca jendela bus pecah. Laga itu pun akhirnya ditunda.
Terkait hal ini, Sadat menegaskan tindakan itu dilakukan oleh oknum liar yang tidak tercatat sebagai anggota berbagai kelompok resmi PSM.
"Tindakan mereka menodai usaha kami yang sudah berusaha menjamu dengan baik suporter Persija yang datang ke Makassar saat itu," pungkas Sadat.
Advertisement