Bola.com, Jakarta PSIS Semarang pernah memiliki skuad hebat atau bisa disebut The Dream Team saat mengarungi Liga Indonesia 2005. Tim Mahesa Jenar menempati peringkat ketiga pada musim itu.
Selain memiliki sederet pemain hebat termasuk duet Tango, Emanuel De Porras dan Gustavo Hernan Ortiz, publik PSIS tak akan melupakan sosok pemain Indonesia penuh talenta, Harry Salisbury.
Baca Juga
Mengulas Sosok Pemain yang Paling Layak Jadi Kapten Timnas Indonesia: Jay Idzes Ada Tandingan?
Lini Depan Timnas Indonesia Angin-anginan: Maksimalkan Eliano Reijnders dan Marselino Ferdinan atau Butuh Goal-getter Alami?
Justin Hubner Jadi Biang Kerok Timnas Indonesia Vs Arab Saudi: The Real Preman, Langganan Kartu!
Advertisement
Pria kelahiran Jakarta, 15 April 1977, itu menjadi sosok idola bagi Panser Biru selama musim 2005 sampai 2008. Posisinya sebagai bek kiri di PSIS sangat sulit tergantikan.
Ia didatangkan dari Persijatim Solo FC pada 2004, seiring mantan klubnya pindah ke Palembang. Harry Salisbury juga dikenal memiliki kemampuan tendangan bebas mematikan.
Sebagian besar golnya lahir dari eksekusi tendangan bebas kaki kiri. Dengan mengenakan nomor punggung khas miliknya yakni 17, Harry Salisbury dielu-elukan publik PSIS, terutama kepiawaian melakukan tendangan bebas.
Kali ini Bola.com, menyajikan ulasan menarik tentang pesona Harry Salisbury yang pernah menjadi magnet di tim PSIS. Ia banyak bercerita mengenai tiga musim yang mengesankan bersama PSIS serta bukti cintanya untuk klub kebanggaan wong Semarang.
Kabar gembira bagi Sahabat Bola.com yang berstatus penggila sepak bola dan gim FIFA 20. Saksikan keseruan acara BOLA Esports Challenge bersama Andritany Ardhiyasa dan Rezaldi Hehanusa, 25 - 26 Juni 2020. Caranya mudah, cukup KLIK TAUTAN INI ya.
View this post on Instagram
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Matang di Persijatim Solo
Nama Harry Salisbury mulai dikenal publik Solo, tatkala tim yang dibelanya hijrah dari Jakarta ke Kota Bengawan yakni Persijatim. Dirinya ikut menjadi bagian The Young Guns Persijatim Solo FC musim 2002 sampai 2004.
Ia bersama rekan-rekannya seperti Maman Abdurahman, Eka Ramdani, Tony Sucipto, sampai Ismed Sofyan, menjadi idola publik sepak bola Solo, setelah ditinggal klub Pelita. Kiprah Persijatim ketika itu cukup moncer terutama di tahun pertama.
Pada tahun kedua, Persijatim Solo FC hanya mampu bertahan di Kota Bengawan selama setengah musim. Mereka hijrah ke Palembang sampai akhir musim dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC.
Sosok Harry Salisbury sudah menjadi andalan di Solo. Permainannya di sisi kiri baik pertahanan maupun membantu penyerangan, menjadi kekuatan tersendiri.
"Saya baru pertama merantau keluar daerah, karena ada tekad jadi pemain bola yang hebat. Hingga kesampaian mulai dari akar di Persijatim Solo dan matang di PSIS Semarang," bebernya dalam perbincangan, Senin (22/6/2020).
"Sebenarnya sempat disuruh bertahan di Persijatim, karena setengah musim sudah main di Palembang. Kebetulan saya kaptennya di sisa musim itu, jadi semua ikut ke Palembang," ungkap Harry Salisbury.
Advertisement
Kecintaan untuk PSIS
Setelah berkarier dua musim bersama Persijatim, ia dipinang klub legenda Jateng lainnya yakni PSIS Semarang pada 2005.
Di bawah naungan pelatih senior Bambang Nurdiansyah, Harry langsung menjadi andalan di barisan bek kiri. Peran Harry Salisbury begitu vital di sisi kiri.
Tidak hanya menjadi titik kekuatan sayap, dirinya kerap melakukan manuver membantu penyerangan, kemudian turun lagi ke belakang. Hal itulah membuatnya begitu sulit tergantikan.
Hijrahnya Harry Salisbury ke PSIS tak lepas dari pengaruh sesama rekannya di Persijatim, yaitu Modestus Setiawan, yang memilih kembali ke kampung halamannya di Semarang. Modestus sekaligus mengajak Harry Salisbury dan Maman Abdurahman.
"Modestus yang mengajak saya ke Semarang, kebetulan mas Yoyok sudah tahu saya mainnya. Gayung bersambut, Mas Yoyok Sukawi (petinggi PSIS) menawarkan kontrak, langsung saya ambil, disusul Maman Abdurahman," katanya.
"Kemudian setelah dua musim saya di PSIS, tawaran dari tim lain datang, banyak sekali yang menawarkan saya pindah. Tapi saya merasa nyaman saja di Semarang," tutur Harry Salisbury.
Momen Istimewa
Harry Salisbury tercatat bermain selama tiga musim bersama PSIS. Bergabung pada musim 2005, lantas ia keluar dari PSIS pada musim 2008. Ia bergabung dengan Persib Bandung, Persija Jakarta, hingga terakhir di Persitara Jakarta Utara.
Harry Salisbury dikenal memiliki keistimewaan dalam tendangan kaki kiri, terlebih ketika mendapat kesempatan sebagai eksekutor tendangan bebas. Sejumlah gol dari free kick ia hasilkan, dengan kaki kiri yang menjadi kelebihannya.
"Dari dulu memang suka menggunakan kaki kiri, sudah jadi kebiasaan saja. Setiap ada peluang tendangan bebas penonton selalu menyoraki saya untuk yang menendang bebas," ujarnya.
Selama tiga musim di Semarang, banyak kenangan manis yang ia dapatkan. Beberapa momen istimewa yang begitu sulit dilupakannya, termasuk gol yang pernah ia cetak dan penuh dengan kesan tersendiri.
"Tiga musim di PSIS, paling saya kenang adalah musim pertama main di Jatidiri melawan PSPS Pekanbaru. Kami menang 3-1, dan saya cetak dua gol lewat tendangan bebas langsung, satu gol lain kalau tidak salah dicetak Ridwan," kenangnya.
"Penonton seketika seperti jatuh cinta dengan saya. Kemudian gol tendangan bebas ke gawang PSMS Medan yang mengantarkan juara ketiga di Senayan juga tidak kalah berkesan," paparnya.
Advertisement
Sulit Lupakan PSIS
Setelah pensiun di musim 2012, Harry Salisbury mengaku begitu sulit melupakan PSIS Semarang. Meski hanya tiga musim berkiprah di kota Lunpia, ia tetap selalu teringat dengan masa-masa bermain di Stadion Jatidiri.
Sebagai bukti lain kecintaannya kepada PSIS, ia masih aktif mengikuti sepak terjang tim pujaan Panser Biru dan Snex itu. Berbagi informasi tentang PSIS, hingga menjalin komunikasi dengan pengurus klub masih ia lakukan sampai saat ini.
"Saya selalu memposting hal tentang PSIS, jadi saya tidak bisa melupakan tim ini. Suporter yang luar biasa, dengan manajemen klub yang seperti teman sendiri. Banyak kenangan selama di PSIS," lanjut Harry Salisbury.
Ia juga mengaku tak akan melupakan suporter PSIS yang begitu fanatik dan totalitas dalam memberikan dukungan. Baik Panser Biru dan Snex mendapatkan acungan jempol dan hati dari Harry Salisbury.
"Suporter PSIS loyal sekali, rata-rata suporter daerah begitu total mendukung tim. Stadion selalu penuh, jadi sangat salut sama mereka dan membuat saya berkesan dengan suporter Semarang. Tidak hanya di kandang, di tandang juga militan mendukung," katanya lagi.
"Sampai sekarang saya masih mengikuti PSIS, komunikasi masih jalan, ada grup WhatsApp mantan-mantan pemain PSIS. Kiprah PSIS lagi bagus sebenarnya sebelum ditunda karena COVID-19. Mudah-mudahan tetap konsisten saat kompetisi dilanjutkan nanti," jelasnya menutup obrolan.