Bola.com, Malang - Nama Kuncoro tak bisa lepas dari Arema FC. Maklum, dia mengawali karier sebagai pemain dan pelatih di tim berjulukan Singo Edan itu.
Pria asal Kabupaten Malang itu saat ini juga masih setia sebagai asisten pelatih Arema. Sekarang, dia sudah berubah jadi sosok yang humoris. Tak jarang dia jadi sasaran bahan candaan pemain.
Baca Juga
Advertisement
Semasa bermain, dia jadi orang yang ditakuti di lapangan. Dia punya tekel keras dan kerap berkelahi sehinga akrab dengan kartu kuning dan merah.
Ketika pandemi virus corona, aktivitasnya lebih banyak di rumah dan mengamati latihan pemain Arema di Kabupaten Malang.
Sembari menunggu kompetisi bergulir kembali, Kuncoro mengenang masa lalunya sat aktif bermain. Mulai dari julukannya, hingga ciri khas masa lalu Arema diutarakannya. Berikut wawancaranya jurnalis Bola.com, Iwan Setiawan, dengan Kuncoro di Malang, Senin (29/6/2020).
Sejak kapan Anda berubah dari sosok yang ditakuti dilapangan menjadi seorang yang humoris?
Sebenarnya dari dulu saya suka bercanda. Saat masih jadi pemain Arema malah lebih parah bercandanya. Di Arema itu sudah seperti keluarga. Jadi bercandanya sering kelewat batas. Dulu pernah ada teman yang sholat masih saja dikerjai. Tapi kalau di lapangan memang beda. Harus berani.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Awal Jadi Tukang Jagal
Dulu dijuluki tukang jagal, bagaimana ceritanya?
Mungkin karena karakter main saya seperti itu. Saya masuk Arema usia 18 tahun. Kebetulan senior-senior di tim waktu itu mainnya juga keras. Karakter main saya juga karena masa kecil di lingkungan yang keras. Pernah tawuran dan segala macam. Sempat waktu saya baru muncul main di kompetisi, striker senior lawan Bambang Nurdiansyah sempat tanya ke senior di Arema saya ini siapa. Dijawab kalau saya ini preman yang main bola. Hehehe.
Saya masih ingat juga ada pemain yang sulit dihadapi. I Made Pasek Wijaya (Pelita Jaya). Olah bolanya bagus. Jadi saya pakai tangan (sikut) untuk menghentikannya. Setelah itu dia jadi pindah posisi main biar gak ketemu lagi.
Kalau di Arema juga sempat dipanggil Lele (ikan). Kenapa?
Pemain Arema jaman dulu memang panggilannya hewan semua. Hehehe. Kalau saya karena jempol kaki dulu sempat sakit. Pakai sepatu sering kekecilan. Jadi sekarang bentuknya kayak lele.
Advertisement
Lebih Berwibawa
Dulu jadi pelanggan kartu karena pelanggaran atau berkelahi. Ada pengalaman unik dengan wasit?
Saya lupa tapi wasitnya dulu siapa. Pernah waktu derby Arema lawan Persema di Gajayana. Ada insiden saya mau dapat kartu. Saya ancam balik, ternyata tidak jadi dikartu. Tapi sekarang sudah tidak boleh seperti itu. Aturan lebih ketat dan tidak mengutamakan kekerasan. Lebih mengandalkan skill di lapangan. Jadi tidak perlu ditiru.
Sebagai asisten pelatih, Anda terlihat selalu dekat dengan pemain. Apa memang tugasnya seperti itu?
Kembali lagi Arema ini kan seperti keluarga. Saya dekat dengan semua karena senang bercanda. Tapi itu diluar lapangan. Sempat juga diberi masukan pengurus agar lebih jaga wibawa karena sudah jadi tim pelatih. Bukan lagi pemain seperti dulu. Tapi saya tidak bisa. Kalau dilapangan saat pertandingan saya pasti serius. Tapi di luar itu memang seperti ini saya.
Untuk suasana tim, ada beda Arema sekarang dengan jaman anda bermain?
Sisi kekeluargaannya masih ada. Meskipun kadang setiap ada pelatih kepala baru ada yang beda. Tapi kalau sudah di luar lapangan, tetap bercanda seperti dulu saya rasa.