Bola.com, Jakarta - Kematian merupakan sesuau yang tak bisa dielakkan oleh siapapun, termasuk pesepak bola. Hanya, karena olahraga satu ini lekat dengan kontak fisik, tak sedikit ada pemain yang meninggal dunia saat pertandingan.
Beberapa pesepak bola dunia meninggal saat membela timnya di atas lapangan. Marc-Vivien Foe misalnya, terkena serangan jantung dan menghembuskan napas terakhirnya ketika tampil berseragam Timnas Kamerun.
Baca Juga
10 Pemain Berpenghasilan Tertinggi di Dunia, Cristiano Ronaldo Kalahkan Lionel Messi dan 3 Superstar Liga Inggris
5 Pesepak Bola yang Paling Kotor Permainannya: Gigitan Luis Suarez Paling Fenomenal
4 Kejutan Menghebohkan Sepanjang Pagi Tadi: Bolivia dan Venezuela Berjaya, Timnas Indonesia dan Inggris Nyesek Bareng
Advertisement
Jauh sebelumnya, ada Andres Escobar, bek Kolombia yang meninggal akibat ditembak oleh Humberto Castro Munoz, seorang bodyguard dan pengemudi pribadi buat kakak beradik Pedro David dan Juan Santiago Gallon Henao, duo kriminal yang terlibat jaringan kartel narkoba di Kolombia.
Kematian tragis Escobar disebabkan karena gol bunuh diri yang dilakukannya di Piala Dunia 1994 saat menghadapi Amerika Serikat. Humberto Castro Munoz diketahui mengaku menjadi tersangka atas suruhan dua bosnya.
Sepak bola tidak selalu melulu bicara suka cita kesusesan sebuah tim menjadi juara atau pencapaian gelar pribadi para pelakunya.Sepak bola bak sebuah drama kehidupan. Kadang terasa menyedihkan, di mana orang-orang yang hidup di dalamnya mengalami pasang surut kehidupan.
Bola.com mengajak pembaca mengenang kisah duka kematian sejumlah aktor sepak bola Tanah Air dari berbagai era. Semoga kejadian tragis yang dialami beberapa di antara mereka bisa menjadi pembelajaran hidup.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Choirul Huda
Minggu (15/10/2017) petang, kiper Persela Lamongan, Choirul Huda meninggal dunia secara mendadak saat bertanding. Kiper berusia 38 tahun itu dinyatakan meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soegiri, Lamongan pada pukul 17.15 WIB. Pertolongan itu diberikan setelah kapten Persela tersebut mengalami benturan dalam laga melawan Semen Padang.
Choirul Huda harus dibawa ke RSUD Dr Soegiri setelah tidak sadarkan diri karena berbenturan dengan rekan setimnya, Ramon Rodrigues, pada laga Persela melawan Semen Padang dalam lanjutan kompetisi Liga 1 2017 di Stadion Surajaya, Lamongan, Minggu sore.
Benturan di antara keduanya terjadi saat Ramon dan Choirul Huda mencoba mengamankan bola yang diarahkan pemain Semen Padang ke kotak penalti pada babak pertama. Choirul Huda yang mencoba menangkap bola terkena kaki dari Ramon.
Choirul Huda dan Persela tak terpisahkan. Sang pemain jadi kiper utama di klub tersebut sejak 2002. Meski saat ini usianya sudah 38 tahun, kiper asli Lamongan itu seringkali menjadi pilihan utama, siapa pun pelatihnya.
Huda nyaris tanpa pesaing di bawah mistar Persela. Ia jadi pilihan utama karena kemampuannya yang mumpuni dan juga produk asli Tim Laskar Jaka Tingkir. Choirul Huda tercatat sebagai pemain paling loyal di Persela. Ia tak pernah berlabuh ke klub lain sejak memulai karier profesionalnya di Persela pada 1999. Jangankan hijrah, tertarik untuk membela klub lain pun tidak terpikirkan olehnya.
Advertisement
Eri Irianto
Kematian tiba-tiba Eri mengejutkan banyak pihak. Pasalnya pemain kelahiran Sidoarjo, 12 Januari 1974, itu sedang berada di puncak karier. Ia jadi pelanggan Timnas Indonesia periode 1995-1997. Ia adalah sedikit pemain di posisi gelandang lokal yang bisa eksis di perhelatan sepak bola Tanah Air.
Kala itu, mayoritas klub lebih senang memberdayakan playmaker asing asal Amerika Latin dan Afrika. Eri mencuat bareng Fachri Husaini dan Ansyari Lubis, yang disebut-sebut pengatur serangan terbaik yang dimiliki Indonesia di era pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an.
Untuk menghormati jasa-jasa Eri buat Tim Bajul Ijo, mes Persebaya di kawasan Karanganyam kemudian dinamai Wisma Eri Irianto. Nomor punggung 19 yang dikenakan pemain berambut gondrong pun dipensiunkan sampai saat ini.
Eri sejatinya mengawali karier di Petrokimia Putra pada musim 1994-1995. Sempat bergabung dengan klub Malaysia Kuala Lumpur FA, Eri kemudian pindah ke Persebaya dengan torehan prestasi runner-up Liga Indonesia 1998-1999.
Irwansyah
Figur Irwansyah bisa dibilang legenda sepak bola Aceh. Pada eranya, striker putra daerah asli Banda Aceh jadi sedikit di antara pemain lokal yang bisa mendobrak dominasi produktivitas penyerang asing di pentas Liga Indonesia.
Irwansyah punya peran penting mendongkrak Persiraja Banda Aceh di persaingan level elite. Situasi bertambah parah akibat konflik yang melanda Aceh dan Status Darurat Militer yang tidak memungkinkan menggelar pertandingan membuat Persiraja harus memindahkan home base ke Medan. Nama Irwansyah yang sempat membela Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 1998 Prancis tersebut ikut tenggelam bersama klubnya.
Duka cita mendalam dirasakan publik sepak bola Aceh saat bencana alam tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Sejumlah pemain pilar Persiraja dikabarkan tewas jadi korban tsunami. Tak terkecuali sosok Irwansyah, yang fenomenal dengan gol dalam partai debut bersama Tim Merah-Putih melawan Arab Saudi. Ia diberitakan hilang saat berada di kediamannya yang tersapu air bah tsunami.
Advertisement
Jumadi Abdi
Insiden kematian Jumadi Abdi menggemparkan dunia sepak bola Indonesia. Sang pemain dilarikan ke rumah sakit setelah perutnya terkena terjangan pemain Persela Lamongan, Deny Tarkas, pada 7 Maret 2009 pada ajang Indonesia Super League 2009-2010 yang dihelat di Stadion Mulawarman, Bontang.
Gelandang berambut gondrong yang saat itu membela PKT Bontang dan dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani operasi. Luka yang ditinggalkan pul sepatu Tarkas amat parah. Setelah mengalami kondisi kritis selama sepekan, pada 15 Maret 2009 sang pemain menghembuskan napas terakhir.
Ironisnya, saat kejadian wasit ternyata hanya memberi kartu kuning ke Tarkas untuk insiden mengerikan tersebut. Padahal, Jumadi langsung tidak sadarkan diri seusai kejadian.
Hasil observasi tim dokter menemukan bagian usus halus pemain kelahiran Balikpapan, 14 Maret 1983 tersebut robek. Dampak nyatanya, kotoran hasil pencernaan makanan yang tersimpan di usus halus bocor keluar dan meracuni seluruh organ dalam.
Sekou Camara
Sekou Camara, pemain asal Mali itu meninggal dunia saat sedang mengikuti latihan bersama Pelita Bandung Raya (PBR). Peristiwa tragis ini terjadi saat PBR melakukan persiapan menghadapi laga lanjutan ISL, 27 Juli 2013.
Di tengah-tengah latihan, Camara tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Dia kemudian dilarikan ke RS Halmahera. Namun, nyawanya tidak tertolong dan meninggal dunia pukul 23.48 WIB.
Camara meninggal akibat mengalami serangan jantung. Sebelum kejadian tidak ada tanda-tanda kalau sang pemain menderita sakit. Ia dalam sesi latihan bahkan sempat bercanda dengan rekan-rekan setimnya.
Setelah sempat disemayamkan di RS Santo Barromeus, Bandung, Camara kemudian diterbangkan ke Mali. Biaya pengiriman jenazah ditanggung pihak PBR.
Advertisement
Akli Fairus
Akli Fairuz, penyerang Persiraja Banda Aceh ini pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit usai terkena tendangan kaki kiper PSAP Sigli, Agus Rohman, pada bagian perut saat duel kompetisi Divisi Utama 10 Mei 2014.
Saat itu, Akli sempat mencetak gol sebelum terlibat benturan dengan kiper lawan. Insiden berlangsung begitu cepat. Berawal dari tangkapan yang tidak sempurna dari Agus, bola rebound berusaha diserobot Akli.
Agus juga ikut mengejar bola lepas tersebut. Namun, Akli lebih dulu menyambar bola, sedangkan Agus justru mengangkat kakinya dan mendarat tepat di perut penyerang bernasib malang tersebut.
Gol Akli dianulir wasit. Sang penyerang kemudian dibopong ke luar lapangan. Setelah itu, Akli tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Ia dibiarkan meringis kesakitan di bangku cadangan.
Baru pada malamnya ia diboyong ke rumah sakit Zainal Abidin Banda Aceh. Akli diduga mengalami luka dalam dan kantong kemihnya bocor. Sebelum meninggal dunia pada 16 Mei 2014 pukul 11.00 WIB, Akli sempat kritis tak sadarkan diri selama berhari-hari.
Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman berat skorsing setahun ke Agus Rochman terkait kasus yang mengakibatkan meninggalnya Akli Fairuz.
“Saya menyesali atas apa yang telah terjadi. Saya tidak pernah membayangkan kalau Akli harus meninggal terkena tendangan saya. Saya minta maaf kepada almarhum Akli, keluarganya, dan semua orang,” ujar kiper berusia 34 tahun itu.
Agus pun menegaskan, tendangan itu bukan kekerasan, dan sulit dihindari. Ia juga menyebutkan Akli masih sempat menyaksikan pertandingan dari tepi lapangan sebelum dilarikan ke rumah sakit.
“Dalam hidup saya, saya tidak pernah berniat melukai, atau membunuh pemain lawan. Saya tak bisa terima jika semua kesalahan ditimpakan kepada saya. Kondisi Akli makin menurun setelah menjalani operasi,” ucap Agus.
Bruno Zandonadi
Gelandang asal Brasil, Bruno Zandonadi, tutup usia secara mengenaskan di Indonesia karena penyakit infeksi otak. Sang pemain menderita sakit dalam kondisi serba kekurangan.
Bruno sempat koma selama empat hari, sebelum akhirnya meninggal di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Usada Insani, Tangerang, Banten pada Sabtu (13/10/2012) pada pukul 09.00 WIB. Penyebab kematiannya diumumkan pihak rumah sakit akibat radang selaput otak.
Keluhan penyakitnya sudah sering dilontarkan ke rekan-rekannya sesama pemain asal Amerika Latin, Bruno meninggalkan seorang istri asal Indonesia, Annisa Sanjaya, dan seorang putri bernama Isabel Nezwa Zandonadi.
Untuk perawatan suaminya, Arnisa hanya mengandalkan sumbangan kerabat dan sahabat. Karena konflik dualisme kompetisi, Bruno kesulitan mendapatkan klub. Ia berulangkali ikut seleksi di sejumlah klub, hanya batal karena gaji yang ditawarkan dinilai tidak sebanding.
Karena kesulitan dana jenazah sang pemain tak jadi dikebumikan di kampung halamannya, Brasil. Pemain asing kelahiran 1 Mei 1981 dikuburkan di Selapajang, Cisoka, Tangerang.
Bruno memulai kiprahnya di Indonesia dengan bergabung bersama Petrokimia pada 2004. Setelah itu, ia pun melanglang buana di klub-klub besar, seperti Persita Tangerang, Persikota Tangerang, Persiba Balikpapan, dan terakhir PSIS Semarang.
Advertisement
Diego Mendieta
Diego Mendieta, pemain Persis Solo asal Paraguay, meninggal di RS Dr Moewardi, Selasa (4/12/2012) dalam kondisi tragis, sakit berkepanjangan. Bukan kali pertama Diego masuk rumah sakit. Selama hampir tiga bulan jelang ajal ia juga pernah diopname di RS Islam Surakarta Yarsis dan RS PKU Muhammadiyah. Tapi, dia terpaksa pulang karena tak bisa membayar biaya perawatan.
Persis Solo, tak kunjung memberikan hak berupa berupa gaji, yang sudah tertunggak hingga 4 bulan. Ditambah uang muka kontrak yang juga belum dibayarkan, jumlah total hak Diego mencapai Rp 131 juta. Prahara kompetisi Tanah Air membuat Tim Laskar Samber Nyawa kering pendanaan. Mereka menunggak gaji ke para pemainnya.
Beruntung, masih ada beberapa teman yang mau memberikan bantuan. Untuk membantu biaya pengobatan Diego, Pasoepati, kelompok suporter Persis, sempat melakukan aksi penggalangan dana. Aksi galang dana tersebut dilakukan bersamaan dengan acara nonton bareng timnas Indonesia yang tampil di Piala AFF 2012.
Namun kondisi Diego makin memburuk. Setelah sempat kritis, pemain bernama lengkap Diego Antonio Mendieta Romero itu akhirnya merenggang nyawa. Ia meninggalkan satu istri dan tiga orang anak: Enzo, Cielo Belin, dan Gaston.
Sebelum meninggal ia sempat menulis secarik surat yang mengharukan. Demikian petikannya: "Tuhanku, terima kasih untuk segalanya. Ampuni dosaku, Tuhan aku membutuhkan-Mu. Dalam balutan jas indah ini, yang diberikan oleh keluargaku aku memohon berkahilah teman-temanku dan keluarga saya."
Nasib yang hampir sama dialami pemain Persipro Probolinggo, Salomon Begondo. Saat gajinya tak dibayar, Salomon mengamen dan mengemis untuk menyambung hidup. Pada Jumat (29/11/2013), Salomon meninggal karena sakit. Ia tak bisa dirawat di rumah sakit karena tak memiliki biaya.