Bola.com, Makassar - Sosok Uston Nawawi pantas masuk dalam jajaran legenda Persebaya Surabaya. Ia dua kali meraih trofi juara Liga Indonesia bersama Persebaya Surabaya, yakni pada musim 1996/1997 dan 2004.
Secara personal, sampai saat ini Uston Nawawi masih menjadi pemain tersubur yang pernah membela Bajul Ijo yang mengoleksi 63 gol. Pencapaian tersebut terbilang luar biasa untuk seorang pemain yang berposisi sebagai gelandang.
Baca Juga
Advertisement
Dalam channel Youtube Omah Balbalan, Uston Nawawi menceritakan perjalanan kariernya dalam sepak bola. Ia menghabiskan masa kecil sampai remaja di Dusun Klagen.
Layaknya anak kecil, selain bermain sepak bola ala anak kampung bersama teman-teman kecilnya, Uston Nawawi kerap mencari belut di sawah, bermain layangan, dan kemudian mandi di sungai. "Dulu air sungai masih bening dan segar," kenang Uston Nawawi.
Uston Nawawi beruntung lahir di Dusun Klagen yang kemudian dikenal sebagai lumbung pemain. Sejumlah nama familiar berasal dari sana, seperti Sutaji, Nurul Huda, Hariono, Lucky Wahyu, dan Rendi Irwan. Melihat nama-nama tersebut, mayoritas berposisi sebagai gelandang, kecuali Nurul Huda yang dikenal sebagai bek sayap.
Menurut Uston, posisi gelandang memang menjadi posisi favorit di Klagen saat itu.
"Mas Wahyu (ayah Lucky) yang menjadi pembina menyarankan kami agar menjadi gelandang. Alasannya, posisi itu membuat pemain menjadi cerdas dan kariernya cepat naik. Itulah mengapa bila ada turnamen tarkam atau uji coba, semua ingin menjadi gelandang atau paling tidak penyerang. Posisi yang paling dijauhi adalah kiper," kisah Uston.
Setelah bergelut dalam sejumlah turnamen tarkam, peruntungan Uston Nawawi di sepak bola mulai terkuak ketika masuk skuat POPNAS Jawa Timur pada 1995. Dari ajang tersebut, ia bersama Charis Yulianto terpantau dan masuk PSSI Baretti yang berguru di Italia.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Gabung Persebaya
Satu tahun menimba ilmu bersama PSSI Baretti di Italia, Uston Nawawi kembali ke Tanah Air. Ia sempat mengikuti seleksi di tim PON Jatim pada 1996. Tapi, ia tak lolos karena saat itu materi tim Jatim memang dihuni nama-nama pemain yang sudah beredar di Liga Indonesia, seperti Eri Irianto, Reinold Pieters, Agus Winarno, Hendro Kartiko, Bejo Sugiantoro, Chairil Anwar dan Anang Ma'ruf.
"Saat itu yang dibutuhkan tinggal satu pemain. Jatah itu jadi milik Nurul Huda. Saya tak terlalu kecewa karena direkrut Persebaya meski statusnya masih sebagai pemain magang," kata Uston.
Pada awal putaran pertama Liga Indonesia 1996/1997, Uston lebih sering duduk di bangku cadangan atau tak masuk line-up. Baru pada jelang putaran pertama berakhir, ia mendapat jatah bermain 15-20 menit.
Stategi pelatih Rusdi Bahalwan yang kerap mengoptimalkan gelandang yang muncul dari belakang untuk mencetak gol cocok dengan karakter Uston. Ia pun bermain reguler di babak kedua. Seperti diketahui, Persebaya akhirnya meraih trofi juara musim itu.
Advertisement
Berkostum Timnas Indonesia dan Tak Bisa Tidur 2 hari
Sukses bersama Persebaya mengantar Uston Nawawi masuk Timnas Indonesia yang akan bersaing di SEA Games 1997. Uston beruntung bisa masuk dalam skuat 18 pemain yang bermain di ajang multievent itu. Saat itu, belum ada aturan pemain U-22. Lini tengah Timnas Indonesia saat itu dihuni nama-nama mentereng seperti Bima Sakti, Ansyari Lubis, dan Fakhri Husaini.
SEA Games 1997 jadi kenangan manis sekaligus pahit buat Uston Nawawi. Ia masuk skuat Timnas Indonesia saat usianya masih 19 tahun. Namun, dalam laga final menghadapi Thailand, ia mendapatkan pengalaman pahit yang masih berbekas sampai saat ini.
Uston yang menjadi penembak keempat Timnas Indonesia gagal menjalankan tugasnya. Bola yang ditendangnya melayang di atas mistar. Timnas Indonesia pun kalah dengan skor 2-4.
Menurut Uston, sejatinya ia yakin bisa menjebol gawang Thailand ketika tiba-tiba ditunjuk sebagai eksekutor. "Sebenarnya saya bukan penembak pilihan utama. Tapi, para senior yang biasa jadi eksekutor menolak. Saya pun ditunjuk," terang Uston.
Saat itu, Stadion Gelora Bung Karno dipadati oleh 110 ribu penonton yang mayoritasnya adalah pendukung Timnas Indonesia. Ketika menuju titik putih, Uston merasa kedua kakinya sangat ringan dipakai melangkah.
"Saat memegang bola, saya tetap yakin bisa mencetak gol. Tapi, entah kenapa bola saya melayang di atas mistar. Kegagalan itu membuat saya sampai sulit tidur selama dua hari," pungkas Uston.