Bola.com, Malang - Nama Agus Purwanto tak setenar Kuncoro, Joko Susilo, Singgih Pitono atau Aji Santoso sebagai mantan pemain Arema. Apalagi, sejak pensiun sebagai pemain pada 2000, dia tidak berkecimpung lagi di dunia sepak bola profesional.
Meski begitu, kenangannya di Arema tak kalah banyaknya dengan nama-nama besar tersebut. Agus membela Arema kurang lebih selama 8 tahun, yakni periode 1989-1997.
Baca Juga
Advertisement
Belakangan, Agus lebih sering main bola bersama barisan mantan pemain Arema. Padahal, dia tinggal di Mojosari, Mojokerto. Butuh waktu kurang lebih dua menuju Malang. Saat main bersama lagi, dia teringat masa mudanya di Arema.
“Saya pertama kali dipanggil gabung Arema waktu baru lulus SMA. Usia saya masih sekitar 18 tahun. Bermula dari uji coba, saya main di Persekam Kabupaten Malang yang jadi lawan tanding. Oleh pelatih suruh jaga Mecky Tata. Saya tidak tahu kalau Mecky waktu itu pemain papan atas. Saya main dengan segala cara menghentikannya sampai Mecky marah-marah. Besoknya Arema minta saya gabung,” kenang pria 52 tahun ini.
Begitu jadi pemain Arema, Agus jadi sosok yang beda didalam dan luar lapangan. Di luar lapangan, dia orang yang humoris. Awal gabung Arema, Agus sudah dapat panggilan Mamiek karena wajahnya dianggap mirip dengan pelawak srimulat tersebut.
“Saya masih ingat waktu itu dapat panggilan Mamiek. Saya terima saja karena memang suka bercanda,” sambungnya.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Mencabut Kalung Jacksen Tiago
Beda ceritanya kalau dia sudah di lapangan. Agus adalah bek yang membuat striker lawan malas mendekat. Caranya menghentikan lawan dianggap tak wajar.
“Saya pernah berhadapan dengan Jacksen Tiago. Waktu itu dia masih main di Petrokimia Gresik. Arema main di Stadion Gajayana. Saya akui susah mengawalnya," kenangnya.
"Dia striker ngotot dan badannya kuat. Dalam sebuah momen perebutan bola, saya tarik kalung emas Jacksen sampai putus lalu saya buang. Waktu itu pakai kalung masih diperbolehkan. Kalungnya emas yang rantainya mungkin satu jari besarnya. Jadi Jacksen justru fokus cari kalung yang saya tarik tadi. Sedangkan bolanya saya dapat,” ceritanya.
Advertisement
Mencabut Kumis Wasit
Kenangan lainnya dia pernah mencabut kumis wasit. Dalam sebuah pertandingan away di Kalimantan, Agus merasa Arema sering dirugikan wasit. Saat para pemain Arema melakukan protes, dari belakang tangan nakalnya mencabut kumis wasit.
“Waktu main di Bontang. Wasit seperti membela tuan rumah yang ingin menang. Saya jengkel juga. Waktu teman-teman protes, dari belakang saya cabut kumisnya. Saya lupa wasitnya siapa waktu itu. Kelakuan saya tidak ketahuan, jadi bebas kartu. Tapi biasanya saya langganan kartu. Gantian sama Kuncoro dapat kartunya,” sambungnya.
Selain itu, masih banyak kenangan lainnya yang sampai sekarang masih sering jadi bahan perbincangan di mantan pemain Arema.
“Banyak yang masih ingat momen-momen itu. Cara main saya juga memang memenuhi tuntutan suporter juga. Kalau ada duel lalu menghindar, suporter malah marah. Kita bisa dicap penakut. Untungnya, dulu tidak banyak siaran langsung. Kalau sekarang main seperti jaman saya dulu, ya sudah banyak sanksi. Gak bisa dipakai lagi cara main seperti itu,” tegasnya.
Setelah pensiun tahun 2000, Agus banting setir jadi seorang guru. Dia dia mengajar di SD Negeri Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Di sana dia mengajar olahraga.
“Saya sempat melatih sebentar. Karena sudah banyak yang jadi pelatih, saya memilih kuliah dan jadi guru sampai sekarang,” katanya.