Bola.com, Makassar - Perjalanan panjang PSM Makassar di pentas kompetisi Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari kontribusi penting pemain keturunan Tionghoa, terutama pada era Perserikatan, di mana Juku Eja tercatat lima kali meraih trofi, yaitu pada musim 1956/1957, 1957/1959, 1964/1965, 1965/1966, dan 1991/1992.
Ada sejumlah nama yang menonjol pada era tersebut, yakni Tan Seng Tjan, Piet Tio, Frans Jo, John Simon, Harry Tjong, Keng Wie, Abdi Tunggal, Yosef Wijaya, dan Erwin Wijaya. Mereka tak hanya memperkuat PSM Makassar, tapi juga membela Timnas Indonesia, atau paling tidak terpanggil ikut seleksi.
Baca Juga
Advertisement
Pada Selasa (17/11/2020) malam, Bola.com menyambangi kediaman Erwin Wijaya di Makassar. Ho, sapaan akrabnya, merupakan pemain generasi terakhir keturunan Tionghoa yang membawa Juku Eja meraih trofi. Bersama pemain Tionghoa lainnya, Yosef Wijaya, Erwin jadi starter Juku Eja ketika menekuk PSMS Medan dengan skor 2-1 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, 27 Februari 1992.
"Sukses tersebut menjadi momen terbaik dalam karier sepak bola saya. Bayangkan, kami meraih trofi juara dengan status tim yang tidak diperhitungkan dan terseok-seok pada awal musim," kenang Ho yang juga pernah membela Timnas Indonesia junior di Pakistan dan Singapura itu.
Bagi Ho, pencapaian itu merupakan buah kerja kerasnya menggeluti sepak bola sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, Ho kerap mengikuti turnamen usia dini bersama rekan-rekan sebayanya yang kerap memanfaatkan tanah kosong di sekitar rumahnya untuk sekadar menendang bola.
"Dulu kami bertanding tanpa memakai sepatu atau telanjang kaki. Baru setelah masuk SMP, saya bergabung dengan Bangau Putera, klub anggota kompetisi internal PSM," terang Ho.
Bersama Bangau Putera, Ho mendapatkan ilmu dasar sepak bola mendiang Kamaluddin, mantan pemain PSM yang dikenal disiplin dan telaten membina anak didiknya. Bagi Ho, Kamaluddin adalah pelatih bertangan dingin dalam melahirkan pemain. Ia merujuk sejumlah pemain didikan Kamaluddin yang mencuat di pentas sepak bola nasional.
Dua di antaranya adalah putranya sendiri, Karman dan Kusnadi. Belakangan muncul nama Yusrifar Djafar, Isnan Ali, Faisal Maricar, Sunar Sulaiman, Rifai Arsyad, dan Hamka Hamzah.
Tiga tahun di bawah penanganan Kamaluddin, Ho mendapatkan kesempatan memperkuat tim sepak bola Sulawesi Selatan mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) pada 1979. Dalam ajang tersebut, peruntungan Ho di sepak bola mulai terbuka.
Setelah membawa tim Sulsel menembus semifinal, namanya masuk dalam daftar 50 pemain yang mengikuti seleksi Diklat Salatiga dan Diklat Ragunan.
"Dari Sulsel, ada lima nama yang dipanggil. Selain saya, ada Hanafing, Muhrim, Mustari Ato, dan Haruna Rasyid. Setelah mengikuti seleksi dan tes kesehatan, saya, Mustari, dan Haruna, dinyatakan lolos," terang Ho.
Belakangan, hanya Ho dan Haruna yang meninggalkan Makassar untuk merantau ke Jawa karena Mustari akhirnya menyatakan diri batal berangkat karena alasan keluarga. Ho tercatat sebagai pemain Diklat Salatiga, sementara Haruna menuju ke Diklat Ragunan.
"Orang tua sebenarnya berat melepas saya. Tapi, tekad saya sudah bulat untuk fokus dengan sepak bola. Saya meninggalkan Makassar untuk berlatih sekaligus melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di Salatiga," ujar legenda PSM Makassar itu.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Satu Dekade di Jawa
Ho resmi tercatat sebagai pemain binaan Diklat Salatiga mulai 1980. Setiap hari, Ho dan rekan seangkatannya seperti Tias Tono Taufik, Hermansyah, Erwin, Frans Sinatra, dan lain-lain berlatih di bawah penanganan trio pelatih, Maryoto, Edi Santoso dan Aang Witarsa. Selain berlatih, pemain Diklat Salatiga juga dibekali pendidikan dengan terdaftar sebagai siswa di SMAN 1 Salatiga.
Selepas Diklat Salatiga, Ho masuk dalam program tim Galasiswa yang dilatih Omo Suratmo dan Izak Udin. Tim ini merupakan gabungan pemain terbaik Diklat Salatiga dan Diklat Ragunan. Tim ini pernah mengikuti turnamen Asham Cup di Pakistan dan Lion Cup di Singapura.
"Saya tergabung dalam tim Galasiswa sebelum kembali ke Makassar pada 1989 untuk bergabung dengan PSM," ungkap Ho.
Pengalaman pertamanya bersama PSM Makassar adalah mengikuti turnamen Jawa Pos di Surabaya pada 1989. Namun, sepulang dari Surabaya, Ho memutuskan keluar dari tim jelang kompetisi Perserikatan 1989/1990. Seperti diketahui, langkah PSM diganjal Persib Bandung dalam laga semifinal yang diwarnai perkelahian massal antarpemain.
Ho akhirnya kembali berseragam PSM pada musim 1991/1992. Pada musim inilah, Ho meraih sukses bersama Juku Eja dengan meraih trofi juara Perserikatan.
Advertisement