Bola.com, Jakarta - Sepak bola profesional Indonesia diawali dengan era Liga Sepak Bola Utama, atau yang populer disebut Galatama. Kompetisi ini adalah pioner kompetisi semiprofesional dan profesional di Asia, selain Liga Hong Kong.
Galatama berlangsung selama 15 tahun pada rentang 1979 hingga 1994. Selama itu pula pamor Galatama mengalahkan gegap gempita kompetisi Perserikatan yang telah berlangsung sejak jaman Hindia Belanda.
Baca Juga
Advertisement
Sayangnya, euforia sepak bola profesional ini meredup seiring berbagai masalah, seperti tengara main mata antarklub dan kasus suap untuk mengatur skor akhir pertandingan.
Lepas dari sorotan negatif itu, Galatama telah menorehkan berbagai catatan positif. Kompetisi ini mampu melambungkan nama beberapa pemain dengan prestasi gemilang. Galatama juga menjadi ladang bagi para pemain meraih kesejahteraan lebih bagus ketimbang klub Perserikatan.
Banyak rekor yang ditorehkan di Galatama, termasuk prestasi yang diraih tiga pemain legenda, yakni Ruddy Williams Keltjes, Yudi Suryata, dan Djoko Malis, yang sukses meraih empat gelar juara Galatama secara beruntun ketika membela dua klub berbeda.
Pada musim 1980/1982 dan 1982/1983, ketiganya ikut mengantarkan Niac Mitra merajai Galatama. Setelah itu, mereka seolah kompak hijrah dari Niac Mitra ke Yanita Utama Bogor. Bersama klub milik juaragan perkebunan Pitoyo Haryanto ini, mereka juga melambungkan Yanita Utama menjadi juara Galatama pada 1983/1984 dan 1984.
Ketiga sosok ini menempati poros utama permainan di Niac Mitra dan Yanita Utama di Galatama. Tak pelak, mereka pun menjadi roh permainan di klub yang dibela. Berikut kelebihan dari ketiga pemain tersebut.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Djoko Malis, Striker Andal
Selama kariernya dalam dunia sepak bola, Djoko Malis termasuk dalam kategori striker andal dan haus gol. Selama empat musim, di Niac Mitra dan Yanita Utama, dia selalu menempati urutan kedua di bawah top scorer klub dan kompetisi Galatama.
"Sebenarnya saya ingin bertahan di Niac Mitra, tapi permintaan kenaikan kontrak saya tak disetujui Pak Wenas, pemilik klub. Saya pindah ke Yanita Utama karena mendapat tawaran kontrak dan gaji lebih baik dibanding Niac Mitra," ungkap Djoko Malis.
Kenaikan kontrak dianggap Djoko Malis sesuatu yang wajar, karena Galatama adalah kompetisi profesional. Saat di Niac Mitra striker yang mencetak satu gol kala klub milik Alexander Wenas ini mempermalukan Arsenal 2-0 pada 1983 digaji Rp200 ribu per bulan.
Nilai ini sangat jomplang dibanding gaji yang diterima penyerang asal Singapura, Fandi Ahmad yang kala itu menerima Rp 2juta pada musim 1983.
"Saat itu kebutuhan saya cukup besar. Saya sedang punya cicilan rumah di Surabaya. Jadi saya langsung terima tawaran Yanita Utama yang berani memberi kontrak saya Rp15 juta untuk dua musim. Itu belum termasuk gaji bulanan lho," katanya.
Apalagi, lanjut Djoko Malis, bos Yanita Utama mau menuruti permintaan Djoko Malis agar memberikan uang muka sebesar Rp2 juta.
"Dari uang itu, saya bisa melunasi cicilan rumah. Sehingga saya tak punya beban lagi dan bisa fokus main di Yanita Utama," ujarnya.
Advertisement
Yudi Suryata, Sang Multi-Talenta
Yudi Suryata mengaku berat hati hengkang dari Niac Mitra ke Yanita Utama. Pasalnya, dia satu di antara delapan pemain binaan PS Mitra Utama, anggota internal kompetisi Persebaya, yang menjadi embrio kelahiran Niac Mitra. Apalagi Yudi Suryata mendapat kepercayaan penuh dari Alexander Wenas untuk mengurus keperluan tim.
"Saat pindah ke Yanita Utama, beban psikologis saya lebih berat dibanding Djoko Malis dan Ruddy Keltjes. Saya pemain asli dari PS Mitra Utama yang berubah menjadi Niac Mitra. Jadi saya saksi sejarah kelahiran Niac Mitra hingga dua kali juara Galatama," ungkapnya.
Ada dua pertimbangan sosok asal Masaran, Sragen ini memutuskan pergi ke Bogor.
"Saya menerima pinangan Yanita Utama, karena saat itu baru saja operasi lutut. Alasan itu pula yang mungkin membuat Pak Wenas rela melepas saya. Saya dinilai tak bisa maksimal lagi di Niac Mitra," ucapnya.
Ternyata, meski pernah operasi lutut kiri, Yudi Suryata sempat bermain penuh pada musim perdana di Yanita Utama.
"Musim pertama di Yanita Utama, saya main penuh sepanjang kompetisi 1983. Tahun kedua cedera saya kambuh. Sehingga saya jarang main," ujarnya.
Pertimbangan kedua, mantan pelatih Persipura ini tak mau membuang kesempatan mendapat uang besar pada akhir kariernya.
"Bersama Yanita Utama, kami semua dikontrak Rp15 juta selama dua musim dengan gaji bulanan Rp500 ribu. Nilai ini jelas jauh lebih besar dibanding Niac Mitra. Dengan cedera itu, saya berpikir kapan lagi bisa dapat kontrak bagus. Makanya, saya langsung setuju pindah ke Yanita Utama," ujar Yudi Suryata.
Yudi Suryata sangat lincah dan lugas di lini belakang. Dia memiliki naluri bertahan yang bagus. Yudi bisa menempati beberapa posisi, mulai bek kanan dan kiri, gelandang bertahan, hingga libero.
Ruddy Keltjes, Negosiator Ulung
Ruddy William Keltjes dipilih sebagai juru bicara bagi Djoko Malis dan Yudi Suryata saat negosiasi dengan bos Yanita Utama, Haryanto Pitoyo.
"Ruddy Keltjes orangnya luwes dan pandai diplomasi. Makanya saya dan Djoko Malis memilih Ruddy untuk negosiasi. Akhirnya, kami dapat kontrak dan gaji sangat besar untuk ukuran waktu itu," jelasnya.
Menurut Ruddy Keltjes wajar bila mereka bertiga dibayar mahal di Yanita Utama. Mereka jadi pilar utama Niac Mitra saat meraih dua gelar juara Galatama.
"Kami dari klub juara. Jadi kami punya posisi tawar tinggi. Secara profesional, kami ingin prestasi tersebut dihargai tinggi pula di Yanita Utama," jelas Ruddy Keltjes.
Sedangkan Ruddy Keltjes sebagai gelandang serang sudah sehati dengan Djoko Malis yang menempati pos penyerang.
"Saat di Niac Mitra, kami bertiga ini jadi poros utama. Jadi chemistry kami sudah menyatu. Kami tinggal meneruskan kolaborasi ini di Yanita Utama. Saya juga paham gerakan dan bola-bola kesukaan Djoko Malis saat menyerang lawan," papar Ruddy Keltjes.
Advertisement