Bola.com, Jakarta - Indonesia memiliki banyak klub hebat dengan sejarah panjang yang pernah meramaikan kompetisi elite. Namun, hanya sedikit klub yang bisa bertahan sampai sekarang.
PSSI membuat kompetisi sepak bola semiprofesional di Indonesia pada 1979. Kompetisi tersebut diberi nama Liga Sepak Bola Utama disingkat menjadi Galatama.
Baca Juga
Hasil Lengkap Semifinal BWF World Tour Finals 2024 Hari Ini: 3 Wakil Indonesia Semua Kandas, Termasuk Jonatan Christie
Live Streaming Nonton Byon Combat Showbiz Vol. 4, Gratis Tontonan Seru untuk Pengguna Baru
Hasil Lengkap UEFA Nations League: Ditahan Imbang Bosnia, Timnas Pusat Gagal Ikuti Jejak Kemenangan Indonesia
Advertisement
Sebelumnya kompetisi sepak bola yang diselenggarakan PSSI adalah Kejuaraan Nasional Perserikatan bersifat amatir. Galatama menjadi pionier kompetisi semi profesional dan profesional di Asia.
Dalam penyelenggaraannya, Galatama tak dibagi menjadi beberapa divisi. Hanya pada musim 1980, 1983, dan 1990 terdiri atas 2 divisi.
Galatama ketika itu diikuti klub-klub yang berasal dari seluruh Indonesia. Nama-nama klub yang mengikuti Galatama cukup beragam dan kreatif.
Kompetisi ini akhirnya dibubarkan pada 1994. PSSI memutuskan menganti nama kompetisi menjadi Liga Indonesia.
Bola.com mencatat ada sejumlah klub hebat Indonesia yang punya sejarah panjang bermain di Galatama. Namun, banyak klub yang dibubarkan karena tak mampu bersaing dan sedikit klub yang mampu bertahan akhirnya melakukan penyesuaian dengan mengganti nama. Apa saja?
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Arseto Solo
Arseto merupakan klub asal Solo yang berdiri pada 1978. Klub ini didirikan oleh putra mantan Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto.
Klub ini awalnya bermarkas di Jakarta. Namun, pada 1983 Arseto memutuskan hijrah ke Solo saat Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional bersamaan dengan peresmian Stadion Sriwedari Solo.
Arseto tercatat meraih sejumlah gelar sepanjang eksistensi di sepak bola Indonesia. Contohnya adalah gelar Invitasi Perserikatan Galatama 1987, Liga Sepak Bola Utama 1990-1992, dan gelar Kejuaraan Antarklub ASEAN.
Prestasi itu tak terlepas dari pemain-pemain Timnas Indonesia yang pernah memperkuat Arseto Solo. Sebut saja Ricky Yacobi, Eduard Tjong, hingga Nasrul Koto.
Arseto kemudian dinyatakan bubar pada 1998 seiring kerusuhan yang terjadi di Indonesia saat itu. Pada 2013, sempat ada wacana untuk menghidupkan kembali Arseto. Namun, sampai saat ini rencana tersebut belum terealisasi.
Advertisement
Bandung Raya
Martrans Bandung Raya didirikan pada 1987. Secara performa, penampilan Martrans Bandung Raya di Liga Sepak Bola Utama (Galatama) biasa-biasa saja.
Pencapaian terbaiknya adalah saat finis di peringkat ketujuh pada 1988-1989. Namun, semuanya mendadak berubah saat Martrans Bandung Raya tampil di Liga Indonesia.
Pada musim perdana, Martrans Bandung Raya berhasil mencapai babak perempat final. Semusim kemudian tepatnya pada 1995-1996, Martrans Bandung Raya berhasil menjuarai Liga Indonesia.
Pada 1997, Martrans Bandung Raya resmi bubar karena krisis keunangan yang dilanda klub. Ari D. Sutedi selaku pemilik 65% saham klub Bandung Raya pada 2012 kemudian mengakuisisi seluruh saham Pelita Jaya dan mengganti nama klub tersebut menjadi Pelita Bandung Raya.
Pelita Bandung Raya bermain pada kompetisi Liga Super Indonesia musim 2012-2013, sementara Bandung Raya sendiri tetap bermain fokus di kompetisi Divisi Dua Liga Indonesia
Niac Mitra
NIAC Mitra merupakan klub asal Surabaya yang pernah menjadi penguasa Liga Sepak Bola Utama (Galatama). NIAC Mitra tercatat menjadi juara sebanyak tiga kali yakni pada 1980-1982, 1982-1983, dan 1987-1988,
Klub ini didirikan oleh pengusaha industri bioskop yakni Alexander Wenas. Ketika itu, NIAC Mitra sempat mendatangkan pemain asing asal Singapura yakni Fandi Achmad dan David Lee.
NIAC Mitra bahkan sempat mendapatkan kehormatan bertanding melawan Arsenal di Stadion 10 November pada 1983. Pada 1991, pemilik memutuskan untuk membubarkan NIAC Mitra karena mengalami masalah finansial.
Pada 1999, klub ini dibeli pemilik Barito Putra dari Banjarmasin yakni H. Sulaiman HB dan pindah markas ke ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya dan berganti nama menjadi Mitra Kalteng Putra (MKP).
Kemudian pada 2003 MKP berganti nama menjadi Mitra Kukar setelah dibeli Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara. Sampai saat ini, Mitra Kukar masih aktif di sepak bola Indonesia tepatnya berlaga di Liga 2.
Advertisement
Krama Yudha Tiga Berlian
Krama Yudha Tiga Berlian merupakan klub asal Palembang, Sumatra Selatan. Klub yang akrab disingkat KTB Palembang itu merupakan tim kaya yang dimiliki oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motor Palembang yakni distributor resmi kendaraan Mitsubishi di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, klub ini akhirnya pindah markas ke Bekasi, Jawa Barat. Di Liga Sepak Bola Utama (Galatama), KTB tercatat dua kali meraih gelar juara yakni pada 1985 dan 1986-1987.
Penyerang legendaris Indonesia, Bambang Nurdiansyah, pernah memperkuat KTB dan sukses menjadi top skorer sekaligus memberikan gelar juara pada 1985.
KTB sempat mewakili Indonesia tampil di di Piala Winners Asia I/1990-1991. Namun, sejumlah masalah ketika itu dihadapi KTB dan membuat finansial terganggu. Pada 1991, akhirnya KTB resmi membubarkan diri setelah pemilik klub yakni Sjarnoebi Said melunasi gaji para pemainnya.
Pardedetex
Selain PSMS Medan, Sumatra Utara pernah dibuat bangga dengan hadirnya klub sepak bola bernama Pardedetex. Klub ini didirikan oleh satu di antara orang terkaya di Indonesia saat itu, Tumpal Dorianus Pardede atau yang akrab disapa TD Pardede.
Pardedetex bisa dikatakan sebagai klub kaya di liga sepak bola profesional Galatama saat itu. Hal itu dibuktikan dengan kebijakan merekrut pemain asing yang dilakukan Pardedetex saat mendatangkan Jairo Matos dari Brasil.
Bintang-bintang sepak bola Indonesia era 1970-an saat itu mampu didatangkan Pardedetex. Sebut saya Sotjipto Soentoro, Abdul Kadir, Jacob Sihasaleh, Chaerul Chan, Herry Kiswanto, dan Zulham Effendi.
Pamor Pardedetex perlahan meredup seiring tidak stabilnya kompetisi sepak bola seperti ladang pengaturan skor. Laga yang dilakoni Pardedetex juga sering menjadi lahan dari bandar judi mengeruk keuntunga. TD Pardede akhirnya membubarkan Pardedetex pada 1984.
Advertisement