Bola.com, Jakarta - Aroma tubuh Ratna Mustika diselimuti bau kurang sedap. Setibanya di hotel tempatnya menginap di Vietnam, ia tidak hanya disemprot air berisikan disinfektan, melainkan bercampur kaporit.
Ratna Mustika, agen kondang di sepak bola Indonesia, baru saja menyudahi perjalanan melelahkan ke Vietnam untuk mendampingi tiga pemainnya yang akan menandatangani kontrak dengan klub di sana.
Advertisement
Wanita yang karib dipanggil Dokter Tika itu terbang ke Vietnam pada 30 Januari 2021 via Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten. Tiga hari sebelumnya, ia harus menjalani tes swab. Pemeriksaan ini menjadi syarat wajib untuk memasuki Negeri Paman Ho tersebut.
"Waktu saya check in di Soetta, saya harus bawa hard copy hasil tes swab. Soft copy tidak diterima," kata Tika membuka pembicaraan dengan Bola.com, Selasa (2/2/2021).
Untuk dapat pergi ke Vietnam, Tika harus bersusah payah. Tidak ada agen travel di Indonesia yang menjual tiket penerbangan ke sana. Begitu pula biro perjalanan di Vietnam. Negeri Paman Ho memang dikenal ketat menerima warga asing.
"Biasanya masuk Vietnam bebas visa, ini sekarang tidak boleh. Saya harus apply visa di negara asalnya, bukan di Kedutaan Besar Vietnam di Indonesia," jelas Tika.
Karena ketatnya peraturan untuk masuk ke Vietnam, Tika harus berkorban lebih banyak, terutama biaya akomodasi. Dia sampai harus merogoh kocek hingga 6.025 dolar atau setara dengan Rp84,5 juta di luar tiket pesawat untuk memenuhi segala persyaratan.
Tika bahkan mesti membayar 1.000 dolar untuk mendapatkan calling visa ke Vietnam. Dinukil dari Kompas.com, calling visa adalah layanan visa yang dikhususkan untuk warga dari negara-negara yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu.
"Ongkos visanya pun mahal, sekitar 1.000 dolar. Orang yang mengurusi saya di Vietnam harus deposit lagi 5.000 dolar untuk hotel, karantina, dan akomodasi saya selama 15 hari di sana. Saya terbang ke Vietnam menggunakan pesawat khusus rescue. Yang boleh naik hanya 25 persen dari kapasitas pesawat. Yang bisa beli tiket pun hanya orang-orang khusus," ucap Ratna Mustika.
"Saat sudah punya calling visa dan tiket, sampai di Vietnam harus kembali mengurusi landing visa. Bayar lagi 25 dolar. Saya harus mempersiapkan semuanya, calling visa, booking hotel, dan berbagai macam komitmen. Saya juga membeli asuransi perjalanan yang meng-cover saya 60.000 dolar selama 30 hari," imbuh wanita yang juga berprofesi sebagai dokter tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Transit di Singapura, Terpaksa Bermalam di Bandara
Ratna Mustika tidak begitu saja tiba di Vietnam. Dari Soetta, ia lebih dulu transit di Bandara Changi, Singapura untuk meneruskan penerbangan ke Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh City pada keesokan harinya.
Apes bagi Tika. Dia sengaja tidak memesan kamar hotel di Singapura dari Jakarta karena tidak tahu akan mendarat di terminal berapa. Niat membelinya saat sampai di Singapura, kamar hotel di Changi malah sudah ludes terjual.
Dia terpaksa bermalam di Changi. Namun, Tika malah mendapatkan pengalaman baru di sini. "Saat saya tiba di Changi dan mau memesan kamar hotel, antre panjang di situ. Ternyata habis. Harganya pun mahal. Untuk enam jam mencapai 170 dolar Singapura. Saya akhirnya duduk saja di ruang tunggu," terang Tika.
"Kalau di Soetta, tidak ada tuh pengumuman untuk jaga jarak dan pakai masker. Di Changi, pengumumannya setiap 30 menit sekali. Penumpang harus memakai masker dan menjaga jarak 2 meter. Petugas juga pakai masker dan Alat Pelindung Diri. Diperingatkan terus-menerus meski dari malam sampai pagi. Saya hanya duduk di kursi saja sampai keesokan hari pukul 10 pagi waktu setempat dan terbang ke Ho Chi Minh City," kenang Tika.
Advertisement
Bertele-tele, tapi Efektif
Prosedur protokol kesehatan di Bandara Tan Son Nhat sungguh berbelit-belit, namun efektif. Baru juga mendarat, Tika harus mengisi formulir kesehatan online berbahasa Vietnam. Tika agak pusing memahaminya, namun mau tidak mau harus mematuhinya.
Urusan tetek-bengek visa selesai, Tika langsung mendapatkan Alat Pelindung Diri (APD) dan wajib dipakai saat itu juga. Begitu ketatnya protokol kesehatan di Vietnam untuk orang yang baru datang dari luar negeri. Jika di Indonesia, mungkin ada saja orang yang tidak sabar dan mencari cara untuk melanggar sistem tersebut.
"Sampai di bandara, saya bayar lagi 25 dolar untuk landing visa. Saat bayar, uangnya harus pas. Jika tidak, tidak akan dikembalikan. Di pintu keluar bandara, sudah ada petugas memakai APD yang lebih ketat ketimbang di Changi. Bajunya lengkap, dari kaki sampai ke kepala," imbuh Tika.
"Lalu, saya diberikan APD plastik dan langsung saya pakai. Dari bandara, saya menuju penginapan. Saya dijemput oleh bus dari pihak yang mengurusi saya di Vietnam. Di dalam bus yang besar, isinya cuma saya dan supir," jelasnya.
Ada cerita unik ketika Tika menyerahkan paspornya di imigrasi Tan Son Nhat. Kebetulan, Tika baru mengganti paspornya dengan model yang baru. Ketika dikembalikan, ia kaget. Paspornya tidak lagi seperti baru. Usut punya usut, saat diperiksa, paspornya juga disemprot disinfektan bercampur kaporit.
Tika paling terkejut ketika baru tiba di hotel tempatnya menginap. Baru juga mau melangkahkan kaki menuju lobi, ia kembali disemprot disinfektan berpadu dengan kaporit!
"Di Vietnam ini bagus sekali. Kita terkadang memandang Vietnam sebelah mata. Sampai di depan hotel, sudah ada pegawai hotel yang menyemprot saya dengan disinfektan plus kaporit. Saat berdiri di meja resepsionis, saya harus tanda tangan berbagai dokumen. Petugas mengarahkan saya pakai penggaris panjang. Jaraknya jauh dari saya. Habis menunjukkan dokumen yang harus saya tanda tangan, penggaris itu disemprot juga," imbuh Tika.
"Saat saya masuk lift, lift-nya banjir. Ternyata habis disemprot juga. Tombol di lift juga ditutup pakai selotip sampai tidak terlihat. Sampai di kamar, makanan ditaruh di depan kamar. Sehari setelah tiba, saya harus tes swab lagi," ujar Ratna Mustika.
Kedisiplinan di Vietnam Bukan Kaleng-kaleng
Tika memuji protokol kesehatan di Vietnam. Tidak hanya pemerintahnya saja yang serius, namun masyarakatnya juga patuh. Jangan kaget jika kasus positif COVID-19 di Negeri Paman Ho sangat rendah.
Menurut laporan dari News Google, Vietnam hanya mencatatkan 1.850 kasus COVID-19 sejak pandemi ini mengglobal pada awal 2020.
"Minggu, 31 Desember 2021 saya menonton televisi di Vietnam. Ada rapat yang dihadiri begitu banyak orang. Tak ada jaga jarak, tak ada pakai masker juga. Saya lihat di depan hotel, orang berkegiatan tanpa masker. Protokol kesehatan mereka tidak seketat kita, karena negara mereka aman. Sepuluh hari sebelum saya datang ke sini, selama 55 hari Vietnam bebas kasus COVID-19," imbuh Tika.
Dari pengalaman Tika, apa yang membedakan Vietnam dengan Indonesia?
"Di Indonesia, maaf saja, dalam tanda kutip orang-orang seperti guyon. Jadi orang tidak takut. Di Vietnam, pelanggar protokol kesehatan akan digebuk dalam tanda kutip. Sanksinya tegas. Orang asing mau datang ke Vietnam dipersulit. Tidak ada pengecualian meski menteri atau jenderal bintang tinggi sekalipun. Mereka harus tetap karantina. Di sini tidak memandang pangkat dan golongan. Saya pikir, di Asia Tenggara, Vietnam yang paling baik menanggulangi wabah virus corona," kata Tika.
Advertisement