Bola.com, Jakarta - Fabio Capello sosok teliti, keras, dan tanpa kompromi. Suasana hatinya sepertinya selalu berada di antara tanpa emosi dan sangat marah. Namun, ada satu momen yang memunculkan sisi lembutnya, sesuatu yang sebelumnya begitu tersembunyi.
Pada 18 Agustus 1995, Capello tidak mampu membendung air matanya. Saat itu, tim AC Milan yang dibesutnya bertanding melawan Juventus di ajang Trofeo Berlusconi. Bukan laga yang krusial atau penentuan gelar, tapi sangat spesial dan emosional.
Baca Juga
Termasuk Pemain Berlabel Kiper Timnas Indonesia, Ini Daftar Lengkap Penerima Kartu Merah di BRI Liga 1 2024 / 2025
5 Wonderkid yang Mungkin Jadi Rebutan Klub-Klub Eropa pada Bursa Transfer Januari 2025, Termasuk Marselino Ferdinan?
Mengulas Sosok Pemain yang Paling Layak Jadi Kapten Timnas Indonesia: Jay Idzes Ada Tandingan?
Advertisement
Momen yang menyentuh sisi kelembutan Capello adalah ketika para pemain keluar dari lorong stadion. Mereka dipersatukan oleh sosok Marco van Basten. Sang pemain hendak mengucapkan selamat tinggal.
Setelah delapan tahun bersama AC Milan, dia terpaksa pensiun di usia yang masih sangat muda 30 tahun karena deraan cedera. Dia keluar dari lorong bersama rekan-rekannya, berjabat tangan dengan wasit Pierluigi Collina dan melambaikan tangannya ke suporter di San Siro. Penonton bertepuk tangan dan berdiri. Banner digantungkan di salah satu sudut San Siro bertuliskan Grazie Marco per sempre Rossoneri. Terima kasih Marco, selamanya Milan.
Saat itulah air mata Capello tumpah. Dia seakan tidak rela melihat pemain yang begitu hebat harus menyudahi kariernya terlalu cepat.
Meskipuh harus menyudahi kariernya cukup dini, hampir semua orang mungkin sepakat Marco van Basten adalah salah satu pemain terhebat sepanjang masa. Dia memenangi Ballon d'Or tiga kali, menyabet dua gelar Liga Champions, mendominasi Serie A bersama AC Milan, dan merengkuh gelar Piala Eropa bersama Timnas Belanda pada 1988.
Lahir dan tumbuh di Utrecht, Van Basten mengawali takdir sepak bolanya bersama tim lokal UVV Utrecht, sebelum pindah ke USV Elinkwijk. Pada 1981, ketika baru berusia 17 tahun, dia menarik perhatian tim raksasa Belanda, Ajax. Klub asal Amsterdam itu berminat membuat Van Basten menjadi pemainnya. Ambisi Ajax langsung terwujud.
Namun, siapa sangka pada masa remajanya, ia pernah punya fantasi di cabang olahraga yang berbeda.
"Impian pertama saya sebagai remaja adalah menjadi pesenam. Saya rasa latar belakang senam sangat membantu kelincahan saya ketika saya menekuni sepak bola dengan serius," kata Van Basten kepada Daily Telegraph pada 2002, seperti dilansir Football Whisper.
Tentunya ada unsur-unsur pesenam dalam dirinya, paling jelas terlihat dalam keanggunan, keseimbangan, dan ketenangannya. Seringkali, hasrat akrobatiknya yang tersembunyi terwujud secara terbuka dalam bentuk tendangan salto yang indah.
Dia mampu memuaskan impian masa kecilnya yang lain saat bermain untuk Ajax, di bawah bimbingan salah satu pahlawannya, Johan Cruyff. Dia bekerja sama dengan Cruyff sejak 1985 hingga 1987. Di bawah pengaruh sang ikon sepak bola Belanda, dia tampil luar biasa mencetak 80 gol dalam 72 laga di semua kompetisi. Ajax bergelimang gelar.
Sosok Marco van Basten kian melekat di hati publik Belanda berkat "sihirnya" pada Piala Eropa 1988, di skuad asuhan Rinus Michels, sang arsitek total football. Belanda saat itu mengandalkan trio Ruud Gullit, Van Basten, dan Frank Rijkaard.
Gol indahnya pada partai final Piala Eropa 1988 kontra Uni Soviet akan terkunci rapat dalam kenangan publik Belanda. Bahkan, Rinus Michels sampai geleng-geleng kepala di pinggir lapangan, antara takjub dan tak percaya melihat gol tersebut.
Gol tersebut diawali dari umpan silang Arnold Muhren dari sisi kiri, yang disambut Van Basten dengan tendangan voli akrobatik dari sudut yang sempit. Bola merobek gawang Uni Soviet, yang dikawal Rinat Dasaev. Belanda berpesta menjadi raja Eropa berkat kemenangan 2-0. Satu gol lainnya disumbangkan Gullit.
Saat mencetak gol menakjubkan itu, Van Basten telah berstatus pemain AC Milan. Dia sudah rutin bekerja keras menciptakan keajaiban, mencetak gol dengan frekuensi tepat untuk menembus pertahanan ketat sepak bola Italia.
Dia dan dua kompatriotnya, Ruud Gullit and Frank Rijkaard, menjadi bagian revolusi sepak bola di bawah Arrigo Sacchi. Selama delapan tahun di San Siro, Van Basten meraih tiga penghargaan the Ballon d’Or, terpilih jadi Pemain Terbaik FIFA sekali, jadi top scorer Serie A pada 1990 dan 1992, serta membantu klub merengkuh empat Scudetto dan dua trofi Liga Champions, dan gelar-gelar lainnya.
Van Basten seperti ditakdirkan berjalan beriringan dengan gol, trofi, dan kesuksesan, meskipun berakhir dini. Satu lagi sisi menarik dari Van Basten, yaitu julukannya. Swan from Utrecht, alias Si Angsa dari Utrecht.
Van Basten mendapat julukan itu bukan asal-asalan. Mengapa angsa? Dia dijuluki si angsa karena permainan Van Basten di lapangan efektif, tapi anggun dan cantik. Keanggunannya seperti sosok angsa. Begitulah julukan tersebut hadir dan melegenda. Aksinya di lapangan benar-benar indah dan memesona.
Yuk nonton video Half-Time Show yang membahas soal tren pesepak bola Indonesia merantau ke luar negeri
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kota Utrecht dan Indonesia
Julukan Marco van Basten juga merujuk pada kota kelahirannya, Utrecht. Sekitar 26 tahun setelah Marco van Basten gantung sepatu, kota Utrecht menjadi pusat perhatian pencinta sepak bola Indonesia. Salah satu pesepak bola harapan Timnas Indonesia, Bagus Kahfi, meneken kontrak dengan klub Eredivisie, FC Utrecht.
Bagus Kahfi, yang kepindahannya sempat diiringi drama dan kontroversi, menjadi pemain pertama Indonesia dalam beberapa dekade terakhir yang berkiprah di Belanda. Pemain kelahiran Secang, Magelang itu, resmi meneken kontrak berdurasi satu setengah tahun di FC Utrecht pada 5 Februari 2021, dengan opsi kesepakatan dua musim lagi.
Sebelumnya, Bagus Kahfi, yang sebelumnya membela Barito Putera, diproyeksikan untuk bermain di Jong Utrecht, tim satelit FC Utrecht yang berkiprah di Eerste Divisie atau kasta kedua dalam piramida sepak bola Negeri Kincir Angin. Faktanya, Bagus Kahfi harus berjuang dulu dari FC Utrecht U-18. Dia mendapatkan label pemain dispensasi karena usianya telah menginjak 19 tahun.
Takdir baru akan dijalani Bagus di Utrecht, satu di antara empat randstad atau kota besar di Belanda bersama Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam. Kota ini berpopulasi lebih dari 350 ribu orang. Kenangan penulis langsung melayang ke memori pada April 2019. Saat itu, saya dan seorang teman punya kesempatan menginjakkan kaki di kota tempat Bagus Kahfi akan mulai memperjuangkan masa depannya di sepak bola. Praktis, saya hanya 18 jam berada di kota tersebut.
Setiba di stasiun Utrecht, kami dijemput seorang teman, Hesti Maharini, yang menikah dengan orang Belanda, Niels Reichrath, dan tinggal di Utrecht sejak Juni 2017.
Sebenarnya saya berencana mampir ke Stadion Stadion Galgenwaard, markas FC Utrecht, karena ada teman di kantor menitip dibelikan syal klub tersebut. Sayang, hari sudah terlalu sore dan kompleks stadion sudah tutup, sehingga batal mampir ke sana. Siapa sangka, kurang dari dua tahun berselang, klub tersebut memiliki pemain asal Indonesia.
Sore itu akhirnya kami hanya berjalan-jalan di pusat kota Utrecht, melihat Dom Tower, Mariaplaats, dan menyusuri jalan sepanjang kanal di Oudegracht. Kami kemudian juga bersepeda mengunjungi kincir angin di pinggiran kota, tepatnya di Oud Zuilen, menikmati matahari terbenam yang indah. Malam harinya kami hanya berbincang di rumah Hesti, di area Overvecht, yang berjarak 7,9 km dari markas FC Utrecht.
Beberapa hari lalu saya menghubungi Hesti, berbagi kabar, dan membicarakan Bagus Kahfi. Hesti dan suaminya bukan pencinta sepak bola, tidak banyak tahu tentang apa yang terjadi di lapangan hijau, termasuk gabungnya Bagus Kahfi ke FC Utrecht. Kami akhirnya bicara tentang kehidupan di Utrecht.
"Amsterdam itu ibaratnya Jakarta, kalau Utrecht itu seperti Yogyakarta. Tidak terlalu ramai, banyak bangunan-bangunan cantik. Saya lebih suka di Utrecht daripada di Amsterdam," kata Hesti, yang berasal dari Gambiran, Yogyakarta.
Tak perlu merasa takut berinteraksi di Utrecht. Menurut Hesti, secara umum warga Utrecht hangat dan ramah, sudah terbiasa dengan orang asing. Pemandangan warga lokal saling menyapa, baik sesama lokal atau turis, ketika berpapasan di taman atau tempat lainnya sudah jadi sesuatu yang jamak.
Bagi pendatang baru asal Indonesia, tidak perlu takut merasa terasing. Layaknya kota-kota Belanda lainnya, Utrecht juga menjadi "rumah" bagi banyak WNI. Tak perlu waswas juga bakal merana karena merindukan makanan Indonesia.
"Mencari makanan Indonesia di sini mudah sekali, tidak seperti di beberapa negara Eropa lainnya. Bumbu-bumbu khas Indonesia juga lengkap, mau kemiri dan apa pun juga ada. Toko Asia besar sekali. Komunitas Indonesia juga guyup, apalagi kalau melibatkan makanan," kata Hesti sembari tertawa.
Pendatang di Belanda sebenarnya tidak perlu mencemaskan kendala bahasa jika bisa berbicara Inggris. Bagus Kahfi toh sudah pernah mengikuti program Garuda Select di Inggris, sehingga kendala bahasa bisa langsung ditepis. Namun, di mana pun, orang asing akan lebih dihargai dan lebih mudah diterima jika mau belajar budaya dan bahasa setempat, setidaknya untuk percakapan sehari-hari.
Menurut Hesti, tak ada salahnya sekali-kali mengeksplore dan get lost, untuk lebih mengenal Utrecht, dan berusaha berteman dengan orang lokal.
"Satu lagi, terkadang ada stereotip terhadap orang Indonesia di sini, yaitu soal malas dan suka telat. Harus bisa on time, karena telat itu dianggap tidak menghormati. Jangan takut juga mengeluarkan pendapat. Kalau ada sesuatu sebaiknya diungkapkan, didiskusikan, clear, kalau salah minta maaf dan setelah itu move on. Begitulah caranya di sini," tutur Hesti.
Cuaca juga wajib menjadi perhatian. Orang Indonesia yang datang dari negeri tropis harus bersiap menghadapi tantangan cuaca yang lebih ekstrem di negeri empat musim. Di musim dingin, cuaca bisa mencapai di bawah 0 derajat Celcius, yang tentu jadi ujian berat bagi orang Indonesia. Terkadang ada juga badai salju. Hesti bahkan belum bisa sepenuhnya terbiasa dengan cuaca di Belanda meskipun sudah empat tahun menetap di Utrecht.
"Berlatih dan bermain di cuaca yang dingin seperti saat ini tentu bukan hal yang mudah bagi orang Indonesia yang baru datang ke sini," ujar Hesti.
Advertisement
Mencari Inspirasi dari Si Angsa
Jauh sebelum menginjakkan kaki di Utrecht, Bagus Kahfi sudah sepenuhnya menyadari tantangan menjulang di hadapannya. FC Utrecht bukan tim sembarangan. Klub ini melahirkan banyak pesepak bola mumpuni Belanda, seperti Dirk Kuyt, Dries Mertens, dan Sebastien Haller.
FC Utrecht saat resmi memperkenalnya Bagus Kahfi sebagai pemain barunya, menyelipkan pujian hangat untuk penyerang yang mencetak 16 gol dalam 15 pertandingan bersama Timnas Indonesia U-16 dan menjadi kampiun Piala AFF U-16 2018 tersebut.
"Bagus adalah pemain yang kreatif dan terampil secara teknik, serta memiliki dribel yang bagus," kata Direktur Teknik FC Utrecht, Jordy Zuidam.
Di mata FC Utrecht, Bagus Kahfi punya potensi. Kini, bola sepenuhnya berada di tangan Bagus Kahfi. Kariernya di FC Utrecht akan bertahan lama atau cuma numpang lewat ditentukan sepenuhnya oleh saudara kembar Bagus Kaffa itu.
Ibarat akan lomba maraton, Bagus Kahfi harus berlatih super keras, mau belajar, menyiapkan taktik yang cerdik, mengenali kelebihan dan kekurangan, mendengarkan instruksi pelatih, dan pantang mudah menyerah. Di Indonesia, di Belanda, atau di mana pun prinsipnya sama sama, tidak ada kesuksesan yang instan.
Menggantungkan impian setinggi langit itu sah-sah saja, tapi menata langkah yang realistis itu lebih penting. Perjuangan pertama Bagus di FC Utrecht saat ini tentu bagaimana beradaptasi dengan cepat, mengasah skillnya, menunjukkan bakatnya, sehingga dianggap layak untuk menjalani debut bersama FC Utrecht.
"Akhirnya setelah menunggu dan melewati situasi sulit, sekarang saya di sini, saya senang, terima kasih buat semua orang yang telah mendukung saya hingga ini terwujud," ucap Bagus Kahfi saat diperkenalkan FC Utrecht.
"FC Utrecht adalah satu di antara klub terbaik di Belanda, saya sudah sering dengar mengenai tim ini. Saya mau kasih yang terbaik, ingin segera mencetak gol, banyak orang yang bertanya berapa gol yang bisa saya ciptakan, jadi saya mau tunjukkan kepada mereka," kata Si Kribo, begitu Bagus menjuluki dirinya sendiri pada bio di Instagramnya.
Adanya klausul perpanjangan pada kontrak tersebut menjadi komitmen FC Utrecht yang menganggap Bagus Kahfi sebagai prospek masa depan. Untuk itu, Bagus Kahfi diberi kesempatan lebih dulu untuk unjuk kemampuan bersama tim U-18.
"Tidak ada yang mudah untuk itu, akan tetapi saya yakin bisa. Semoga dalam dua hingga tiga tahun bisa debut di Eredivisie," ucap Bagus Kahfi.
Mumpung berada di Utrecht, tak ada salahnya Bagus Kahfi menimba inspirasi dari Marco Van Basten, Si Angsa dari Utrecht. Memang Van Basten tidak pernah berkiprah di FC Utrecht, tapi kota itu tempat kelahirannya. Posisi mereka juga sama, sebagai penyerang.
Van Basten sosok pesepak bola yang berbakat, ambisius, tidak takut dengan tantangan, profesional, dan berani menggapai impiannya dengan sepenuh hati
Saat berusia 17 tahun dia sudah berani menyambar tantangan besar di Ajax, kemudian lanjut melanglang buana ke Italia dan akhirnya mencapai kemasyuran. Sang Angsa dari Utrecht berhasil mengepakkan sayapnya jauh menembus berbagai halangan.
Bagus Kahfi gabung FC Utrecht di usia 19 tahun, lebih tua dua tahun dari Marco van Basten ketika menerima pinangan dari Ajax. Tak ada yang tahu takdir seperti apa yang akan menunggu Bagus Kahfi ke depan. Toh, setidaknya dia bisa meneladani profesionalisme, kerja keras, ambisi, dan juga keberanian Van Basten menggapai impiannya. Sisanya serahkan kepada cara kerja misterius sang penentu nasib.
Siapa tahu, Si Kribo dari Magelang suatu saat nanti bisa menjadi julukan yang dikenang oleh suporter setia FC Utrecht dan juga pencinta sepak bola Indonesia. Semoga ia bisa menjalani karier luar biasa di sana, setelah dua seniornya Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly gagal di masa transisi junior ke senior di klub tersebut.
Selamat berjuang, Bagus Kahfi!