Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia pernah memiliki kiper hebat pada era 1980-an. Ia adalah Purwono yang pertama kali beredar di level nasional bersama Persebaya Surabaya, mencuat bersama Niac Mitra dan melegenda bersama tim Garuda.
Bersama Persebaya, Purwono meraih trofi juara Piala Jusuf 1997 di Makassar.Berkat aksinya sebagai kiper Persebaya di Makassar, nama Purwono masuk dalam skuat PSSI Banteng yang bermaterikan pemain muda.
Baca Juga
Advertisement
Tim ini dipersiapkan untuk mengikuti sejumlah turnamen internasional pada 1978 seperti Merdeka Games Malaysia dan Piala Presiden di Korea Selatan.
Sepulang dari timnas, Purwono bergabung di Niac Mitra dalam rangka menghadapi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) edisi perdana pada 1979.
Ia bersama Wayan Diana dan Hamid Asnan dijual ke Niac Mitra oleh M. Barmen, pemilik Assyabaab, klub kompetisi internal Persebaya yang selama ini menaungi mereka.
"Saya langsung setuju ketika diminta Barmen ke Niac Mitra. Apalagi di Persebaya masih ada senior saya seperti Suharsoyo dan Iskak Ismail," kenang Purwono dalam channel Youtube Pinggir Lapangan.
Assyabaab adalah bagian penting pada awal perjalanan karier Purwono sebagai kiper. Ia masuk klub internal Persebaya itu pada 1974 setelah sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktunya berlatih di Persem Mojokerto, tim kampung halamannya.
"Waktu itu usia saya sudah 22 tahun. Saya datang langsung menemui M. Barmen untuk menyatakan keinginannya mengikuti seleksi masuk Assyabaab," ungkap Purwono.
Talenta yang dimiliki Purwono langsung membuat Barmen kepincut. Ia pun menjadi bagian Assyabaab yang berkiprah di kompetisi internal Persebaya. Pada momen itu, Purwono memilih tetap menetap di Mojokerto. Alhasil, kala berlatih dan bertanding, ia harus bolak-balik Mojokerto-Surabaya dengan bus angkutan umum.
"Ongkos busnya Rp25 sekali jalan. Bagi saya tak masalah. Karena selain mendapat kesempatan bermain di Assayabab, saya juga mendapat uang saku Rp100 per hari," terang Purwono.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pahit Manis Bersama Niac Mitra
Di Niac Mitra, nama Purwono langsung mencuat dengan menjadi bagian penting tim kebangaan publik sepak bola Stadion Gelora 10 November Tambak Sari ini.
Pada paruh pertama Galatama, Niac Mitra bersama Purwono memimpin klasemen sementara musim 1979-1980. Sukses ini membuat PSSI memutuskan memilih Niac Mitra mewakili Indonesia berkiprah di Aga Khan Cup 1979 di Bangladesh, sebuah turnamen bergengsi di kawasan Asia saat itu.
Seperti diketahui di ajang ini, Niac Mitra meraih trofi juara setelah mengalahkan klub China, Liaoning via adu penalti pada laga final. Pada waktu normal sampai babak perpanjangan waktu kedua tim bermain imbang 1-1.
Dalam drama adu penalti, Purwono jadi bintang dengan dua kali menahan tendangan penalti pemain lawan, Niac Mitra pun menang dengan skor 4-2.
Sepulang dari Bangladesh, Niac Mitra yang dilanda euforia kemenangan tampil antiklimaks di kompetisi Galatama. Trofi juara kali edisi perdana diraih Warna Agung.
Kegagalan ini membuat A. Wenas, pemilik Niac Mitra mendatangkan pelatih kharismatik asal Belanda Wiel Coerver yang pernah membawa Feyenoord piala UEFA 1972. Dibawah penanganan Coerver, Niac Mitra tampil menggila di Galatama musim 1980-1982. Dalam satu musim, Niac Mitra memasukkan 102 gol dan hanya kemasukan 21 gol dalam 34 partai.
Advertisement
Ditepikan Niac Mitra
Setelah tampil gemilang musim 1979-1980, Purwono mengalami masa pahit pada musim berikutnya. Kehadiran David Lee, kiper asal Singapura membuat Purwono ditepikan oleh M. Basri yang kembali menangani Niac Mitra.
Apalagi, Purwono tak setuju gajinya dipotong. Permintaannya untuk keluar dari Niac Mitra tak disetujui oleh sang pemilik, A. Wenas. Alhasil, Purwono tak berkontribusi berarti dalam perjalanan klubnya meraih trofi juara musim 1982-1983.
Beruntung pada momen itu, posisi Purwono sebagai kiper utama tak tergantikan.
"Dulu kan pemusatan latihan timnas bisa berbulan-bulan. Jadi, penampilan saya tetap terjaga meski tak terpakai di Niac Mitra," kata Purwono yang mulai mencuat bersama timnas di ajang Merdeka Games 1979 serta di Piala Presiden 1980, Korea Selatan.
Setelah itu, Purwono jadi pilar di bawah gawang timnas di sejumlah turnamen dan laga resmi seperti King’s Cup Thailand, Jakarta Anniversary Cup, Merlion Cup Singapura, Pra Olimpiade, Pra Piala Dunia dan SEA Games.Pada 1984, Purwono memutuskan gantung sepatu meski tengah berada pada puncak penampilannya bersama timnas.
Ia langsung menghilang dari percaturan sepak bola Indonesia meski saat itu klub elit Galatama, Mercu Buana dan Warna Agung merayunya untuk bergabung. Begitu pun dengan Niac Mitra, satu-satunya klub Galatama yang pernah dibelannya.
"Saya memutuskan fokus mengembangkan usaha garmen dan membina keluarga," pungkas Purwono.