Bola.com, Makassar - Sosok M. Basri menjadi figur penting di balik keberhasilan Persebaya Surabaya meraih trofi juara Perserikatan pada 1978. Ini gelar yang sangat dinantikan publik sepak bola Kota Pahlawan setelah terakhir kali meraihnya pada 1952. Bagi Basri sendiri, trofi juara itu jadi sukses pertama dalam kariernya sebagai pelatih yang dimulainya pada 1975.
Baca Juga
Drama Timnas Indonesia dalam Sejarah Piala AFF: Juara Tanpa Mahkota, Sang Spesialis Runner-up
5 Wonderkid yang Mungkin Jadi Rebutan Klub-Klub Eropa pada Bursa Transfer Januari 2025, Termasuk Marselino Ferdinan?
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia
Advertisement
Namun, nama M. Basri justru mencuat sebagai pelatih papan atas Indonesia ketika menangani Niac Mitra, klub Surabaya pertama yang berkiprah di Liga Sepak bola Utama (Galatama), kompetisi semi-profesional pertama Tanah Air. Bersama Niac Mitra, Basri tiga kali meraih trofi juara Galatama yakni pada pada 1981, 1982 dan 1986.
Tak hanya itu, bersama Basri, Niac Mitra juga meraih gelar bergengsi di level internasional dengan berjaya di Aga Khan Cup Bangladesh 1979.
Dalam channel youtube Pinggir Lapangan, Basri tanpa sungkan menjadikan statusnya sebagai pelatih Niac Mitra jadi momen terbaiknya di sepak bola.
"Saya beruntung berada di klub yang pemiliknya bukan hanya royal dan berambisi juara, tapi juga sangat perhatian dengan tim. Beliau adalah Agustinus Wenas," kenang Basri.
Kerjasama Basri dengan Wenas sejatinya sudah dimulai ketika ia menangani Mitra Surabaya yang masih berkiprah di kompetisi internal Surabaya. Ketika PSSI melahirkan Galatama pada 1979, Wenas pun diminta berpartisipasi bersama sejumlah pengusaha kaya Indonesia lainnya.
Wenas pun kemudian menunjuk Basri yang baru saja membawa Persebaya juara Perserikatan 1978. "Saat diminta Wenas, saya tanya apa targetnya di Galatama. Beliau bilang mau juara dan siap menyediakan dana tanpa batas."
Mendapat jawaban dari sang bos, Basri pun membentuk tim. Ia pun merekrut eks pemainnya di Persebaya seperti Wayan Diana, Ruddy Keltjes, dan Joko Malis serta pemain binaan Mitra sendiri, yakni Yudi Suryata dan Suyanto.
"Saya juga mendatangkan pemain asal Makassar seperti Dullah Rahim," kata M. Basri.
Hasilnya, kiprah Niac Mitra di edisi perdana Galatama langsung menonjol dengan menjadi juara paruh musim. Sukses yang membuat PSSI menunjuk Niac Mitra mewakili Indonesia pada turnamen bergengsi di Asia saat itu, yakni Aga Khan Gold Cup di Bangladesh. Niac Mitra meraih trofi juara pada ajang itu dan Dullah Rahim terpilih sebagai pemain terbaik.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kedekatan Emosional dengan Wenas
Sayang sepulang dari Bangladesh, penampilan Niac Mitra mengalami antiklimaks setelah larut dengan euforia juara Aga Khan Gold Cup. Pada akhir musim, Niac Mitra gagal mempertahankan statusnya sebagai juara paruh musim. Trofi juara Galatama edisi perdana disabet Warna Agung, klub yang juga bertabur bintang milik pengusaha cat, Benny Mulyono.
Kegagalan itu membuat Wenas makin termotivasi untuk melihat klub miliknya juara. Hasilnya dalam dua edisi beruntun, Niac Mitra meraih trofi juara. Menurut M. Basri, totalitas yang ditunjukkan Wenas bersama Niac Mitra sangat tinggi.
"Beliau malah meminta izin ke saya untuk ikut melatih. Wenas pun secara bergilir mengajak pemain ke rumah pribadinya untuk berdiskusi terkait penampilan individu dan tim," terang Basri.
Basri pun mengungkap berbagai perhatian Wenas terhadap dirinya dan keluarga. Selain memberi rumah dan mobil, Wenas juga membantu seluruh biaya sekolah anak-anak Basri. Perhatian dari Wenas ini membuat Basri tak pernah berpaling ke klub lain sampai Niac Mitra bubar pada 1990.
"Saya akui Wenas-lah yang membuat kehidupan saya bersama keluarga di Surabaya terbilang cukup mapan," kata Basri.
Advertisement