Bola.com, Solo - Ada yang unik dari kota Solo. Rumah bagi klub lokal setempat, Persis Solo itu juga menjadi surga bagi para tim musafir di sepak bola Indonesia.
Kota Solo cukup sulit dipisahkan dalam sejarah perkembangan sepak bola Indonesia atau saat lahirnya PSSI. Di tempat ini juga memiliki sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Baca Juga
Advertisement
Lahirnya Persis Solo sejak tahun 1923 merupakan bukti sepak bola begitu hidup di jantung Pulau Jawa, bahkan sebelum beberapa klub dari daerah lain terbentuk. Hanya saja Persis yang sempat punya nama besar perlahan tenggelam oleh munculnya tim dari wilayah lain yang lebih kuat.
Prestasi juara perserikatan sebanyak tujuh kali seakan hanya menjadi sebuah cerita di masa lalu. Sampai saat ini Persis juga masih berkutat di kasta kedua selama bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali Persis berada di kasta tertinggi adalah saat promosi ke Divisi Utama tahun 2007.
Persis Solo yang lama tidur sebagai tim asli Solo, membuat Kota Bengawan seperti menjadi surga bagi sejumlah klub musafir. Ditambah adanya infrastruktur di Solo ditambah banyaknya penggila bola yang menginginkan sebuah tim hebat, menjadi magnet bagi tim luar bermukim di Solo.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jakarta Connection
Setidaknya pada medio awal 1980-an, memasuki awal dekade 2000, hingga di tahun saat ini 2021 tercatat ada empat tim yang memastikan kandangnya di Solo, selain Persis sebagai klub asli. Menariknya klub-klub yang pindah ke Solo awalnya adalah dari Jakarta.
Fenomena itu diawali oleh Arseto saat kompetisi Galatama, memutuskan pindah dari Jakarta ke Solo, bertepatan dengan Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang diresmikan oleh Presiden Soeharto di Stadion Sriwedari pada 9 September 1983.
Tim berjulukan Biru Langit pernah memiliki sederet pemain hebat pada masanya, seperti Ricky Yacoby, Nasrul Kotto, hingga Rochy Putiray.Â
Gelar juara Galatama tahun 1992 menjadi kebanggaan Arseto dan masyakarat Solo pada waktu itu. Stadion Sriwedari yang menjadi homebase selalu penuh sesak untuk menyaksikan tim yang pernah memiliki julukan miniatur Timnas Indonesia.
Arseto begitu dielu-elukan publik Solo sebagai tim kebanggaan dengan prestasi gemilang. Secara tidak langsung lupa dengan nama Persis Solo yang memang tak dapat beranjak dari kasta bawah.
Namun seiring lengsernya Presiden Soeharto, membuat Arseto dibubarkan pada 1998. Kompetisi yang ditetapkan force majeure saat itu sekaligus menjadi jejak terakhir Arseto di sepak bola Indonesia.
Hanya kurang dari dua tahun setelah Arseto bubar, Pelita Bakrie hijrah dari markasnya di Stadion Lebak Bulus Jakarta, untuk berkandang di Solo pada 2000, untuk bertranformasi menjadi Pelita Solo dan hanya berumur dua musim.
Saat itu, Pelita disesaki pemain bintang seperti Listianto Raharjo, Eko Purjianto, Aples Gideon Tecuari, I Made Pasek Wijaya, Haryanto "Tommy Prasetyo, hingga Seto Nurdiyantoro.
Kehadiran Pelita Solo melecut euforia pencinta sepak bola di Solo, penonton selalu tumpah ruah menyaksikan aksi mereka di Stadion Manahan. Pelita sukses mengobati kerinduan para suporter di Solo terhadap kemeriahan sepak bola di kasta tertinggi. Â
Pada 9 Februari 2020, terbentuklah kelompok suporter yang diberi nama Pasoepati. Saat itu, Pasoepati kepanjangan dari Pasukan Soeporter Pelita Sejati.Â
Giliran Persijatim Jakarta Timur yang ikut bermusafir di Kota Solo di tahun 2003. Kala itu, Stadion Manahan yang 'nganggur' karena Persis masih berkutat di Divisi 1, dimanfaatkan oleh Persijatim.
Keputusan Persijatim boyongan ke Solo juga cukup tepat. Karena di daerah asalnya Jakarta, kalah mentereng dibandingkan Macan Kemayoran Persija Jakarta. Meskipun dalam satu kasta, Persijatim seperti anak tiri ketimbang Persija yang lebih diperhatikan.
Masyarakat Solo ternyata sangat antusias dan dengan mudah menerima kehadiran Persijatim. Itu diperkuat dengan kerinduan warga Kota Batik akan tontonan tim besar sepeninggal Arseto.
Kemudian lahirlah nama Persijatim Solo FC untuk mengarungi kompetisi Divisi Utama (kasta tertinggi Liga Indonesia) saat itu. Kelompok suporter Pasoepati yang ditinggal Pelita, juga total dalam mendukung kiprah Persijatim Solo FC.
Pada tahun pertama bermarkas di Solo, skuat Persijatim Solo FC cukup kuat dan menjadi kuda hitam. Bahkan tim yang punya nama lain Solo FC tersebut dijuluki The Dream Team.
Saat itu, Persijatim Solo FC dihuni deretan pemain berpengalaman, seperti kiper Wawan Dharmawan, bek Ismed Sofyan, Leo Soputan, Harry Salisbury, Tony Sucipto, dan Maman Abdurahman.
Lini tengah Persijatim Solo FC diperkuat Eka Ramdani, Haryanto Prasetyo, serta Akyar Ilyas. Untuk lini serang, ada Mardiansyah, Rudi Widodo, dan Indriyanto Nugroho. Sementara pemain asingnya ada Ayock Luis Berty dan gelandang flamboyan asal Chile, Alejandro Enrique Pardo.
Pada musim kedua, skuat Persijatim Solo FC mengalami perubahan cukup besar. Selain menggaet kiper Ferry Rotinsulu, masuk juga striker berdarah Nigeria yang sekarang menjadi pemain besar di Indonesia, yakni Greg Nwokolo. Persijatim Solo FC merupakan tim pertama Greg Nwokolo berkarier di Indonesia.
Sayangnya, perjalanan Persijatim Solo FC di Kota Bengawan hanya bertahan dua tahun. Setelah berakhirnya musim 2004, Persijatim Solo FC ikut angkat kaki dan pindah ke Palembang, Sumatra Selatan.
Advertisement
Dukungan Besar
Lagi-lagi Solo ditinggalkan, Persijatim Solo FC pindah ke Palembang Sumatera Selatan dan berubah nama menjadi Sriwijaya FC. Kemudian Solo dan publik sepak bolanya menjadikan Persis sebagai klub yang menjadi identitas diri dan layak mendapatkan dukungan penuh.
Persis mengalami jatuh bangun dan mendapat dukungan ekstra dari para suporternya terutama Pasoepati. Loyalitas mereka tidak perlu diragukan lagi sabagi pendukung setia Persis hingga sekarang, hingga kembali dihadapkan pada situasi yang pernah dialami.
Memasuki akhir tahun 2020, untuk kesekian kalinya Solo menjadi tujuan klub Jakarta sebagai rumah barunya. Adalah Bhayangkara Solo FC yang memastikan bertransformasi menjadi Bhayangkara Solo FC pada November 2020 lalu.
Bhayangkara Solo FC menjadikan Stadion Manahan sebagai rumah barunya mulai tahun ini yang diawali oleh turnamen pramusim Piala Menpora 2021 dan berlanjut di kompetisi resmi berikutnya.
Lantas bagaimana dengan bentuk dukungan yang akan didapat Bhayangkara Solo FC oleh masyarakat di kota Bengawan? Kelompok suporter Pasoepati sejauh ini memang masih belum menentukan arah kebijakan menyikapi hadirnya Bhayangkara Solo FC di tengah-tengah masyarakat Solo.
Meski demikian, dukungan untuk Bhayangkara Solo FC bakal tetap besar, karena penikmat sepak bola di Solo tidak hanya kelompok suporter Pasoepati. Kelompok suporter tersebut juga bakal tetap setia untuk mendukung Persis Solo.
Di sisi lain, dukungan untuk Bhayangkara Solo FC juga datang dari orang nomor satu di Solo, Wali Kota Gibran Rakabuming Raka. Beberapa waktu lalu ia ikut berpesan kepada Pasoepati, untuk ikut memberikan dukungan kepada Bhayangkara Solo FC.