Bola.com, Jakarta - Baru-baru ini, jagat sepak bola Indonesia tengah ramai dengan pemberitaan pengusaha dan selebriti yang berkecimpung di bisnis bal-balan lokal yang memiliki kompetisi Liga 1 dan Liga 2.
Menariknya, beberapa pengusaha itu justru mengakuisisi klub-klub Liga 2. Sebut saja Raffi Ahmad yang berjulukan Sultan Andara dan Rudy Salim di RANS Cilegon FC, lalu Kaesang Pangarep di Persis Solo, dan yang terbaru Norizam Tukiman, pengusaha asal Malaysia yang membeli PSPS Riau.
Baca Juga
Reaksi Media Vietnam terhadap Lancarnya Proses Naturalisasi Kevin Diks: Pemain Berkualitas Nih, Bek tapi Cukup Tajam
Pakai Pemain Muda di Piala AFF 2024, PSSI Masih Tunggu Daftar Nama Pemain dari Shin Tae-yong
Lewat Rapat Paripurna 9 Menit, DPR Setujui Naturalisasi Kevin Diks untuk Timnas Indonesia: Tinggal Keppres, Sumpah, Perpindahan Federasi
Advertisement
YouTuber Atta Halilintar juga sedang dalam tahap negosiasi dengan Sriwijaya FC.
Keterlibatan orang-orang terkenal di Liga 2 mampu mengangkat pamor kompetisi level kedua Indonesia ini. Para bos-bos yang terkenal itu membuat klub mendapat eksposure lebih besar di media massa maupun medsos.
Tapi, jangan lupa. Indonesia juga sudah punya banyak sultan yang berkecimpung di klub Liga 1. Berbeda dengan selebriti, pengusaha muda, dan YouTuber, sultan-sultan di Liga 1 tak banyak terekspos.
Mereka bermain di belakang layar, terutama untuk memastikan klub tetap mendapat uang untuk biaya operasional.
Tak hanya bermodal fulus melimpah, sultan Liga 1 juga sudah mengalami pahit manis membangun klub profesional. Bahkan, tak jarang mereka menelan kerugian.
Siapa saja big bos-big bos di balik layar klub Liga 1?
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Glenn Sugita
Glenn Sugita menyulap Persib Bandung menjadi satu di antara klub paling mapan dan mandiri di jagad persepakbolaan Indonesia. Persib kini menjelma menjadi sebuah klub yang benar-benar mandiri dan profesional setelah lepas dari APBD.
Kerja keras Glenn Sugita kala itu membuat Maung Bandung bisa bertahan bahkan cenderung berkembang pada awal-awal larangan bantuan dari dana pemerintah.
Bersama sejumlah pengusaha kakap seperti Pieter Tanuri, Kiki Barki, Erick Thohir dan Patrick Waluyo, Glenn membentuk konsorsium untuk menopang pendanaan operasional tim.
Setelah konsorsium terbentuk, Persib pun dibanjiri sponsor besar seperti Yomart, PT Daya Adira Mustika (Honda), Sozzis So Nice, Evalube, Bank BTPN, Alfamart, dan Corsa.
Glenn lebih banyak berperan di belakang layar. Kendali manajemen PT PBB dijalankan oleh Direktur Operasional, Teddy Tjahyono. Saat kompetisi berjalan, selain pelatih, rekan media juga lebih sering mengutip komentar Umum Muchtar, eks manajer Persib yang kini menjadi komisaris di PT PBB.
Glenn merupakan Co-founder Northstar Group, perusahaan pengelola dana (private equity firm) yang cukup besar di level Asia Tenggara. Mengutip Gatra pada 22 April 2020, aset kelolaan Northstar mencapai 2 miliar USD.
Advertisement
Pieter Tanuri
Pieter Tanuri bergerak di sepak bola Indonesia dengan akuisisi Putra Samarinda menjadi Bali United pada 15 Februari 2015. Ia menjabat sebagai komisaris PTÂ Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA).
Gebrakan Pieter di Bali United menjadikan klub itu jadi satu contoh pengelolaan sepak bola profesional di Indonesia. Ia pun membawa Bali United melantai di bursa saham.
Mengutip Liputan6.com, Pieter sebagai pemegang saham mayoritas PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA), kembali memborong saham BOLA. Aksi beli saham BOLA itu dilakukan pada 11,15 dan 16 Februari 2021.
Setelah pembelian saham BOLA, kepemilikan saham Pieter Tanuri bertambah menjadi 31,88 persen atau setara 1,91 miliar saham.
Mengutip Tirto dalam artikel Pieter Tanuri: dari Pabrik Ban Hingga Klub Sepakbola, gurita bisnis sang big bos Serdadu Tridatu tak hanya ban dengan brand Corsa dan Achilles.
Ia juga menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Buana Capital Sekuritas dan PT Philadel Terra Lestari yang memiliki 20 persen saham PT Bank Ina Perdana. Pieter Tanuri juga berbisnis pengelolaan hutan (karet) di PT Multistrada Agro International dan PT Meranti Lestari.
Nirwan Bakrie
Nirwan Bakrie yang dikenal sebagai konglomerat papan atas Indonesia ini memang tak terlibat langsung dalam jajaran manajemen Persija Jakarta. Nirwan sebagai pemilik saham penuh menunjuk sejumlah orang kepercayaannya untuk mengelola Persija secara profesional.
Bersama manajemen yang didukung dana besar Nirwan, Persija meraih trofi juara Liga 1 2018 serta runner-up Piala Indonesia 2018/2019. Rekam jejak NDB, sapaan akrabnya, di pentas sepak bola Tanah Air terbilang panjang.
Ia memulainya dengan mendirikan Pelita Jaya yang berkiprah di Liga Sepak Bola Utama (Galatama), kompetisi semiprofesional pertama di Indonesia. Bersama Pelita, NDB menunjukkan cara mengelola sebuah tim sepak bola dengan baik. Ketika itu, Pelita memiliki kem latihan yang memiliki fasilitas lengkap di Sawangan Depok dan Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Belakangan, NDB menjadi figur penting di sepak bola nasional dengan berbagai program pembinaan yang didanainya seperti PSSI Primavera dan Baretti, tim anak-anak muda yang berlatih dan berkompetisi di Italia. Kemudian menyusul program sama yakni SAD Uruguay.
NDB juga pernah menjadi pengurus PSSI dengan menjadi Wakil Ketua Umum. Sebelum di Persija, NDB juga pernah mendanai Arema Cronus. Saat ini, selain Persija, NDB juga pemilik saham di klub A-league, Brisbane Roar.
Advertisement
Sultan Borneo: Hasnur Group dan Nabil Husein
Dua sultan dari pulau Borneo (Kalimantan) juga jangan sampai terlupakan.
Klub legendaris asal Banjarmasin, Barito Putera, sudah menjadi profesional sejak berdiri dan berkiprah di kompetisi Galatama. Pendirinya ialah pengusaha lokal, almarhum Abdussamad Sulaiman Haji Basirun asal Bakumpai, Kalimantan Selatan.
Abdussamad Sulaiman HB mendirikan Hasnur Group pada tahun 1966, yang bergerak di bidang bisnis kehutanan, pertambangan, media, dan jasa.
Abdussamad Sulaiman HB yang akrab dengan sapaan Haji Leman, mewariskan Barito Putera kepada anaknya, Hasnuryadi, yang kini menjabat sebagai Presiden Barito Putera.
Selain Barito, Hasnur Group juga ada di belakang layar Badak Lampung FC.
Sementara itu, pengusaha dan petinggi ormas asal Kaltim, Said Amin, merestui putranya, Nabil Husein, untuk memegang Borneo FC Samarinda.
Borneo FC bertekad menjadi klub yang lebih profesional dengan memiliki fasilitas lengkap milik sendiri. Pengelola klub yang menjadi masyarakat Samarinda itu pun sering bertukar pikiran dengan pengelola klub Malaysia, Johor Darul Ta'zim (JDT).
Kedekatan Borneo FC dengan JDT setidaknya terlihat dari komunikasi pemilik Pesut Etam, julukan Borneo FC, Nabil Husein Said Amin, dengan pemilik JDT, Tunku Ismail Idris.
"Kami sepakat jika JDT mengilhami Borneo FC untuk membangun sebuah tim yang sukses. Tidak ada perjalanan yang lancar, tapi kami harus yakin bisa melakukan yang terbaik," ujar Nabil Husein.
"Kita semua akan bekerja keras mencapai titik itu. Tidak ada yang tidak mungkin," ujar pemilik Borneo FC itu.
Bossowa Group, Sultan Makassar Penopang PSM
Bosowa Grup, perusahaan multinasional yang berbasis di Makassar mengawali kiprah di sepak bola Indonesia jelang Liga Indonesia 2003. Erwin Aksa dan Sadikin Aksa yang juga putra Aksa Mahmud, pendiri Bosowa Grup, mengambil alih kepengelolaan PSM dari Reza Ali, sesama pengusaha di Makassar.
Saat itu, PSM Makassar sebagai klub eks Perserikatan masih dimiliki Pemkot Makassar yang menyerahkan kepengelolaan klub kepada pengusaha. Selain mereka, PSM juga pernah dikelola oleh Ande Latief dan Nurdin Halid.
Meski baru pertama kali terjun di sepak bola, Erwin dan Sadikin mampu meneruskan tradisi PSM sebagai klub yang disegani. Berbekal pendidikan manajemen di Amerika Serikat, keduanya mengelola PSM secara profesional.
Pada musim 2005, Liga Indonesia kembali ke sistem lama yakni pembagian wilayah dengan putaran 8 Besar sampai final di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta. Langkah PSM Makassar terhenti di 8 Besar. Pada akhir kompetisi, Bosowa Grup mengembalikan kepengeloaan kepada Pemkot Makassar sebagai pemilik PSM.
Bosowa Grup kembali ke PSM pada 2013. Kali ini statusnya berbeda. Mereka memiliki mayoritas saham kepemilikan yang dikuasai Medco Grup, operator Liga Prima Indonesia. Seperti diketahui PSM hengkang dari Liga Super Indonesia pada musim 2010-2011.
Bersama Persema Malang dan Persibo Bojonegoro, mereka membelot ke LPI dengan alasan kepengelolaannya lebih profesional karena tak memakai dana APBD.
Setelah menjadi pemilik saham mayoritas, Bosowa Grup mengembalikan PSM ke habitat aslinya lewat jalur play-off LPI. Liga Super Indonesia 2014 jadi masa transisi buat PSM. Pada musim ini, langkah PSM terseok-seok dan nyaris terdegrasi.
Advertisement