Sukses


Kisah Pengorbanan Mendiang Ronny Pattinasarani, Lupakan Karier Gemilang Demi Bantu Anak Lepas dari Narkoba

Bola.com, Makassar - Nama Ronny Pattinasarani tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang sepak bola Indonesia. Pada usia 17 tahun, Ronny sudah masuk skuat PSM.

Namanya mulai dikenal publik sepak bola nasional ketika melakoni debut bersama PSM melawan Persipura di Stadion Mattoangin. Gaya permainan Ronny yang elegan mewarnai PSM yang mengandalkan permainan cepat dan keras.

Sosok Ronny Pattinasarani langsung menonjol berkat umpan pendek dan jauhnya yang akurat. Ronny piawai dalam merebut bola dari kaki lawan. Ia melakukannya dengan cara halus dan tidak mencederai lawan.

Pada 1970, Ronny dipanggil memperkuat Timnas Indonesia Junior menghadapi kejuaraan Asia di Manila. Setelah itu, dia jadi langganan Timnas Indonesia di berbagai even junior.

Kiprah terbaik Ronny bersama PSM terjadi pada Piala Soeharto 1974. Setelah membawa PSM berjaya di Piala Soeharto 1974, Ronny meninggalkan Makassar dan bergabung dengan klub Galatama, Warna Agung. Bersama klub papan atas Galatama itu, Ronny bermain pada periode 1978-1982.

Periode itu merupakan masa emas karier Ronny. Ia meraih penghargaan Pemain Terbaik Galatama dua musim beruntun, 1979 dan 1980. Bersama Timnas Indonesia, Ronny meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.

Ronny pun mendapat plakat sebagai Olahragawan Terbaik Nasional 1981. Puncaknya, nama Ronny masuk dalam daftar pemain All Star Asia tahun 1982.

Selain Warna Agung, Ronny juga satu musim membela Tunas Inti. Setelah itu, Ronny Pattinasarani memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 3 halaman

Sangat Membekas di Hati Sang Putra

Ada beberapa klub yang pernah ditanganinya yakni Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Petrokimia Putra Gresik, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara dan Persija Jakarta.

Prestasi terbaik yang pernah ditorehkan Ronny adalah ketika menangani Petrokimia Putra, ia membawa Petrokimia meraih Juara Surya Cup, Petro Cup, dan runner-up Tugu Muda Cup. Kariernya sebagai pelatih juga tak lama.

Ronny lebih memilih fokus ke keluarga setelah dua anaknya, Henry Jacques Pattinasarani dan Robenno Pattrick Pattinasarani jadi pecandu narkoba. Bersama Stella, istri yang sangat dicintainya, Ronny dengan sabar membimbing kedua puteranya itu kembali ke jalan yang benar.

Setelah badai keluarga reda, Ronny kembali ke sepak bola. Sebelum meninggal pada 19 September 2008 karena kanker hati yang akut, Ronny sempat menjadi Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI (2006), Wakil Ketua Komdis (2006) dan Tim Monitoring Timnas (2007).

Keputusan Ronny meninggalkan sepak bola disaat berada di periode emasnya sebagai pelatih itulah yang sangat membekas pada diri sang anak, Henry Jacques Pattinasarani yang akrab disapa Yerry.

"Pengorbanan papa sangat besar buat keluarga. Papa rela meninggalkan sepak bola yang membuat namanya populer demi membantu anaknya lepas dari ketergantungan narkoba," ungkap Yerry dalam channel Youtube Ari Lasso TV.

 

3 dari 3 halaman

Keluarga Harmonis

Menurut Yerry, sejatinya ia bersama sang kakak Robenno Pattrick Pattinasarani (Benny) berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis. Ketika duduk di bangku SD sampai SMP, Yerry termasuk bintang kelas. Ia juga sempat menggeluti olahraga tenis dengan prestasi terbaik masuk peringkat empat besar petenis nasional ketegori U-16.

Semuanya berubah ketika ia terjebak dalam lingkungan ketergantungan narkoba yang berawal minuman jajanan sekolah yang dicampur pil nipam. Yerry tidak tahu Nipam merupakan jenis narkoba. Ia mencobanya karena pil itu diberikan secara gratis.

Dari Nipam, Yerry kemudian mengenal ekstasi, sabu-sabu, dan heroin hingga kecanduan. Tak hanya Yerry, Benny pun sudah mengalami hal yang sama. Di periode kelam itu, Yerry mengungkap pengalaman pahit dan memalukan yang justru menjadi titik balik kehidupannya.

Ketika itu, Yerri dituduh mencuri tas berisi uang milik teman sekolahnya. Meski bukan Yerry yang melakukannya, stigma sebagai pecandu narkoba membuatnya diyakini sebagai pelaku.

"Saya dipukuli ramai-ramai oleh teman sekolah. Papa dipanggil pihak sekolah," kenang Yerry.

Ketika pulang, Yerry bersama Ronny diteriaki seisi sekolah dengan panggilan maling. Saat itu, Yerry mengaku Ronny akan memarahinya habis-habisan.

"Bayangkan papa yang dulu dipuja seisi Stadion Bung Karno sebagai idola malah ikut diteriaki maling karena perbuatan saya. Tapi, papa justru bilang ke saya, kamu bukan maling, kamu anak papa."

Pihak sekolah akhirnya memutuskan mengeluarkan Yerry dari sekolah. Tapi, berkat perhatian sang ayah, Yerry justru merasa mendapat energi yang membantunya melepaskan diri dari ketergantungan narkoba.

"Saya pun bertekad ingin sembuh. Saat itu saya berpikir, masa lalu tidak mungkin diubah. Tapi, kita bisa mengubah masa depan," kata Yerry.

Berkat kemauan dan tekad yang kuat serta dukungan Ronny dan sang ibu, Stella Maria, Yerry pelan tapi pasti melepaskan diri dari ketergantungan narkoba. Kini, hari-hari Yerry dihabiskan untuk memberikan pelayanan rohani sebagai pendeta dan membantu para penderita narkoba untuk sembuh serta bisa hidup mandiri dengan mendirikan sejumlah unit usaha.

"Stigma sebagai mantan pecandu kerap jadi kendala besar. Kuncinya ada pada diri sendiri untuk berjuang mendapatkan kehidupan yang lebih baik meski memulainya dari titik minus," pungkas Yerry.

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer