Bola.com, Makassar - Kompetisi sepak bola tanah air pernah diwarnai oleh aksi gelandang bertahan Maura Hally. Pria kelahiran Malang, 30 Juni 1960 tak hanya menjadi pemain utamanya di setiap tim yang dibelanya, ia juga mengoleksi trofi juara.
Pencapaian terbaiknya di level kompetisi adalah membawa Yanita Utama juara Liga Sepak Bola Utama (Galatama) pada musim 1983/1984 dan Krama Yudha Tiga Berlian pada 1984/1985.
Baca Juga
Media Negeri Jiran Panaskan Rumor Pelatih Karismatik Malaysia Jadi Arsitek Gres Persis di BRI Liga 1
Umuh Muchtar Senang Persib Punya Pelatih yang Suka Marah-Marah: Dia Begitu karena Sayang
PSS Sleman Masih Berjibaku di Papan Bawah Klasemen BRI Liga 1, Mazola Junior: Obatnya Wajib Menang Lawan Dewa United
Advertisement
Selepas berkiprah di kompetisi semiprofesional, Maura Hally kemudian menjadi bagian Persebaya Surabaya di kompetisi Perserikatan dengan raihan runner-up musim 1986/1987 serta trofi juara pada musim berikutnya. Ia pun pantas dinobatkan sebagai pemain dengan koleksi lengkap karena pernah juga meraih medali emas PON 1981 bersama Lampung dan membawa Suryanaga juara antarklub PSSI pada 1987.
Dalam channel youtube Omah Balbalan, Maura Hally menjelaskan berbagai sukses yang digapainya itu adalah buah dari kerja keras dan fokus pada impiannya sebagai pesepak bola. "Sejak pertama kali memutuskan berkarier di sepak bola, saya menanamkan tekad untuk selalu menjadi pemain utama dalam tim," kenang Maura Hally.
Menurut Maura Hally, kiat sederhana di balik suksesnya itu adalah disiplin menjaga kondisi. Itulah mengapa, diluar latihan reguler timnya, ia menjaga dan meningkatkan staminanya dengan latihan mandiri.
"Saya juga mengamati dan belajar dari pengalaman para senior yang sukses," ujar Maura Hally.
Ia sudah melakukannya ketika bergabung di PSAD Surabaya saat usianya 12 tahun. Ketika itu, PSAD diperkuat Hadi Ismanto yang kemudian menjelma jadi legenda sepak bola Indonesia. Setiap pagi sebelum ke sekolah, ia menyempatkan diri menyaksikan Hadi Ismanto berlatih mandiri.
Peruntungan Maura Hally di sepak bola mulai terlihat ketika menjadi bagian dari Persebaya Junior pada 1979. Bersama tim muda Bajul Ijo, Maura Hally berhasil menembus babak 8 Besar sebelum takluk ditangan PSMS Medan yang kemudian meraih trofi juara.
Usai membela Persebaya Junior, Maura Hally kembali mengasah kemampuannya di PSAD. Pada satu momen, PSAD berujicoba dengan Jaka Utama Lampung yang sedang melakukan persiapan jelang kompetisi Galatama. Pada ujicoba yang berlangsung di Stadion Brawijaya Surabaya itu, aksi Maura Hally mampu memikat pelatih Jaka Utama, Jacob Sihasale, legenda Persebaya dan tim nasional Indonesia.
"Usai pertandingan, saya ditawari Jacob Sihasale untuk bergabung di Jaka Utama," tutur Maura Hally.
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sukses Bersama Yanita Utama dan KTB
Keputusan meninggalkan Surabaya dengan bergabung di Jaka Utama jadi momentum penting perjalanan karier Maura Hally di sepak bola. Dua musim bermain di Jaka Utama, Maura Hally kemudian masuk dalam tim sepak bola Provinsi Lampung yang meraih medali emas di PON 1981.
Setelah itu, Maura Hally berkostum Yanita Utama yang mengakuisisi Jaka Utama. "Sebenarnya saya mendapat tawaran dari Indonesia Muda yang saat itu termasuk klub papan atas Galatama. Tapi Jacob Sihasale meminta saya bertahan di Jaka Utama yang kemudian berganti nama menjadi Yanita Utama," ungkap Maura Hally.
Bersama Yanita Utama, Maura Hally meraih gelar pertama di level kompetisi dengan meraih trofi juara Galatama musim 1983/1984. Musim berikutnya, Maura Hally berganti kostum dengan membela Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) klub milik pengusaha gila bola, Sjarnoebi Said. Bersama sejumlah pemain papan atas Indonesia seperti Herry Kiswanto, Ruddy Keltjes, Bambang Nurdiansyah dan Joko Malis, Maura Hally megoleksi gelar keduanya.
Â
Advertisement
Juara dan Pensiun di Persebaya
Usai meraih sukses bersama KTB, Maura Hally memutuskan kembali ke Surabaya. Ia bergabung di Suryanaga, klub amatir yang berkiprah di kompetisi internal Persebaya. Maura Hally pun menjadi bagian Bajul Ijo pada 1985/1986. Musim perdananya bersama Persebaya tidak berjalan mulus. Dimana Persebaya terlempar ke babak enam kecil akibat 'tragedi Semarang'.
Menurut Maura Hally, Persebaya gagal ke enam besar akibat main mata yang dilakukan PSIS Semarang untuk menyingkirkan seterunya itu.
"PSIS yang sudah pasti lolos ke Babak Enam Besar terkesan sengaja mengalah dari PSM Makassar lewat gol bunuh diri. Beruntung kami terhindar dari degradasi di Babak Enam Kecil," ungkap Maura Hally.
Musim berikutnya, Maura Hally bersama Persebaya berhasil menembus partai puncak sebelum dikalahkan PSIS dengan skor 0-1 di Stadion Gelora Bung Karno, 11 Maret 1987.
Maura Hally akhirnya meraih trofi juara pada musim 1987/1988 setelah mengalahkan Persija Jakarta dengan skor 3-2 via babak perpanjangan waktu di Stadion Gelora Bung Karno, 27 Maret 1988.
Sepanjang musim, Maura Hally hanya satu kali absen membela Persebaya yakni ketika Bajul Ijo kalah 0-12 dari Persipura Jayapura di partai yang kemudian dikenang sebagai 'sepak bola gajah'. Persebaya saat itu dinilai sengaja mengalah untuk menyingkirkan seteru mereka, PSIS. "Saya absen karena cedera lutut parah," kata Maura Hally.
Cedera lutut itu pula yang nyaris menggagalkan Maura Hally berkiprah di Babak 6 Besar di Stadion Gelora Bung Karno. Dimana Maura Hally disarankan menjalani operasi lutut sebulan sebelum Persebaya berangkat ke Jakarta. Ia pun memutuskan menolak saran itu dengan berjuang keras memulihkan cederanya itu.
"Saya paksakan diri berlatih keras serta menjalani terapi ketat demi membela Persebaya di Jakarta. Akhirnya saya dinyatakan pulih dan tampil penuh di Senayan," pungkas Maura Hally.