Bola.com, Surabaya - Persebaya Surabaya masuk dalam jajaran tim besar Indonesia yang sarat akan sejarah panjang sejak era Perserikatan.
Bicara pemain, sudah banyak penggawa Bajul Ijo dari masa ke masa yang bersinar terang. Kiprah menawan yang diiringi dengan kesuksesan membawa gelar juara bagi tim pujaan Bonekmania.
Baca Juga
Hasil Liga Inggris: Dipaksa Imbang Everton, Chelsea Gagal Kudeta Liverpool dari Puncak
Hasil Liga Italia: Bang Jay Gacor 90 Menit, Venezia Sikat Cagliari dan Keluar dari Posisi Juru Kunci
Aneh tapi Nyata! PSM Main dengan 12 Pemain saat Menang atas Barito Putera di BRI Liga 1: Wasit Pipin Indra Pratama Jadi Bulan-bulanan
Advertisement
Pada era 1980-an, ada satu sosok pemain Persebaya yang menarik perhatian besar, yakni Andreas Johanes Kastanja atau yang akrab disapa Yongki Kastanya. Pria asal Ambon, Maluku, yang bisa dikatakan menjadi satu di antara legenda Persebaya.
Ia merupakan salah satu kepingan skuad hebat Persebaya ketika menjuarai kompetisi Perserikatan di tahun 1987-1988. Saat itu Persebaya juara setelah mengalahkan Persija Jakarta 3-2 pada partai puncak.
Namun tak banyak yang tahu tentang perjalanan Yongki Kastanya, yang berasal dari Ambon. Ia bisa menembus tim inti dan menjadi penting di Persebaya Surabaya. Bakatnya bermain bola memang terlahir secara alami, hingga menjadi seorang gelandang paling disegani dari Persebaya kala itu.
"Awal mulai saya belajar main bola sejak SD dan SMP dengan berlatih sendiri. Kebetulan di depan rumah ada stadion Mandala Remaja. Lalu saya gabung dengan tim milik orang tua Rochi Putiray kelas 1 SMP tahun 1978," kata Yongki Kastanya dalam kanal YouTube Omah Bal-balan, bulan lalu.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Adaptasi Budaya
Bakatnya mulai terasah ketika bermain di klub PSA Ambon. Klub internal Persebaya Surabaya, Assyabaab yang menemukan potensi besarnya. Assyabaab berkunjung ke Ambon dan Yongki masuk dalam seleksi saat itu.
"Awal latihan hanya lari-lari, tendang-tendang bola, belum dilatih seperti posisi pemain, tidak seperti sekarang. Lalu masuk PSA Ambon kelas 3 SMP, lawan Assyabaab yang lagi tur ke Ambon. Sekaligus pintu masuk saya ke Surabaya. Mungkin melihat saya potensial, untuk itu harus ke Jawa (Surabaya)," ujarnya.
Yongki dengan latar belakang berasal dari Maluku dan keluarga nasrani, harus beradaptasi dengan lingkungan barunya di Assyabaab. Sebuah tim yang bentukan orang-orang Arab di Surabaya dan mayoritas muslim. Meski tak mudah, ia menjalani penyesuaian dengan baik hingga berhasil menjadi pemain penting sebelum akhirnya 'naik kelas' ke Persebaya.
"Saya sempat bertanya dalam hati apakah pas ada di tim ini? Ternyata banyak orang arab-arab dari Ambon yang secara dialek sama dengan tempat tinggal saya. Jadi tidak merasa jauh atau asing, meski secara iman kita berbeda. Saya harus bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri sebagai pendatang," ungkapnya.
"Pernah ditunjuk sebagai kapten Assyabab saat kompetisi internal Surabaya. Setiap bulan Ramadan saya juga harus menyesuaikan, dan ikut puasa," beberapa Yongki.Â
Advertisement
Kenangan Tak Terlupakan
Bertahun-tahun menjalani karier di Surabaya bersama Persebaya, ia berhasil menemukan kesuksesan. Kariernya naik dari bawah untuk menjadi pemain andalan Persebaya. Hanya dalam tiga tahun ia mampu membawa Persebaya menjadi juara ketiga Perserikatan dan untuk pertama kalinya Yongki tampil di Stadion Senayan.
Periode tahun 1985-1986, ia terpaksa absen bermain untuk Persebaya. Lantaran mayoritas pemain diambil dari Suryanaga. Terpaksa ia menunggu musim berikutnya untuk kembali ke Persebaya.
Hingga sebuah kenangan yang sulit dilupakannya terjadi pada musim 1987. Ia berhasil membawa timnya ke final Perserikatan melawan musuh bebuyutan PSIS Semarang yang dibintangi Ribut Waidi.
Kondisi Yongki Kastanya saat itu sedang sakit sehingga ia absen di partai final, yang berujung pada kekalahan atas PSIS. Menariknya ia dipaksa bermain di semifinal untuk menyingkirkan PSM Makassar dalam keadaan sakit cukup parah.
"Saya kelelahan, panas tinggi sebelum lawan PSM di semifinal. Saya dipaksa main walau sedang sakit, kami lolos ke final, tapi saya ke rumah sakit. Meski kalah di final dari PSIS, saya menebusnya tahun berikutnya dengan gelar juara," kenang Yongki Kastanya.