Sukses


Jejak Timnas Indonesia di Olimpiade 1956: Tinta Emas Skuad Garuda yang Entah Kapan Terulang Lagi

Bola.com, Jakarta - Bila ada pertandingan Timnas Indonesia yang diceritakan kehebatannya dari generasi ke generasi, duel di Olimpiade Melbourne 1956 pada 29 November 1956 ini adalah satu di antaranya.

Olimpiade Melbourne 1956 menjadi catatan sejarah bagi Timnas Indonesia. Di bawah asuhan Toni Pogacnik, Indonesia tampil dalam multiajang bergengsi dunia itu.

Penampilan Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956 mendatangkan banyak pujian, terutama setelah melawan Uni Soviet pada perempat final. 

Uni Soviet adalah satu di antara tim terkuat pada masa itu. Pertandingan ini dilangsungkan di Melbourne, Australia, dalam babak perempat final Olimpiade musim panas ke-16.

Uni Soviet diprediksi bakal menang mudah atas Indonesia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Strategi pertahanan berlapis yang diterapkan Tony Pogacknik berhasil dijalankan dengan apik sehingga lawan kesulitan menembus kukuhnya lini belakang Indonesia untuk menceploskan gol.

Padahal, Indonesia kalah dari segi postur. Namun, keberanian meladeni lawan yang berpostur lebih besar jadi catatan yang dikenang hingga sekarang.

Usai pertandingan itu, di mana saja ketika bertemu para penggemar sepak bola di perkampungan Olimpiade, sepak bola Indonesia yang menjadi bahasan.

“Baru sekali saya melihat permainan bertahan yang sempurna sekali,” ujar Presiden FIFA, Sir Stanley Rous, seperti dikutip dari Tabloid BOLA edisi 27 Juli 1984.

Dalam pertandingan itu, Timnas Indonesia diperkuat Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, Ramlan, dan Rusli Ramang. Sedangkan kubu lawan dihuni pemain kaliber dunia yang ternama semisal Lev Yashin, Igor Netto, Eduard Streltsov, dan Valentin Ivanov.

Timnas Indonesia menahan Soviet 0-0. Saat itu belum ada aturan penentuan akhir pertandingan melalui adu tendangan penalti. Alhasil, harus ada pertandingan ulang. Skuat Garuda akhirnya ditaklukkan Uni Soviet dengan skor telak 0-4 dalam laga ulangan dua hari kemudian. 

Video

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Bergaya Eropa Timur

Perjalanan tim Garuda ke Olimpiade diawali dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan Yugoslavia pada era kepemimpinan Presiden Soekarno. Lewat relasi itu, Indonesia mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun ‘Toni’ Pogacnik pada 1954.

Pada era itu, Indonesia dan Yugoslavia sangat mesra dan menggalang kekuatan di dunia ketiga. Presiden Soekarno dan pemimpin Yugoslavia, Josip Broz Tito, sangat mendukung kedatangan Toni. Mereka yakin olahraga bisa menjadi wadah bagi kedua negara untuk bertukar pikiran dan bersahabat.

Jika Soekarno punya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Tito dengan Socialist Federal Republic of Yugoslavia (SFRY). Mereka juga pemimpin yang menjadi pelopor Gerakan Non Blok. Soekarno dan Tito pun punya pandangan dan basis masa yang sama, serta prinsip loyalitas dan kerja keras.

Prinsip itulah yang tercermin dalam filosofi sepak bola Toni Pogacnik. Begitu mendarat di Jakarta, Toni langsung memberikan perubahan. Ia berhasil membawa Indonesia tampil di Olimpiade Melbourne 1956.

Zaman dulu, Toni juga melakukan penelusuran pemain sampai ke pelosok-pelosok daerah. Pada akhirnya hanya menyisakan 18 pemain yang berangkat ke Olimpiade. Selain itu, Timnas Indonesia intensif melakukan rangkaian uji coba, terutama melawat tim-tim Eropa Timur. 

3 dari 4 halaman

Sisi Lain: Pemain Merokok Sudah Biasa

Ada foto pemain Timnas Indonesia, Ramang, tengah duduk di teras sebuah rumah. Dalam foto tersebut, Ramang sedang merokok. Foto itu dimuat dalam buku "Ramang Macan Bola", karya M. Dahlan Abubakar.

Mengisap tembakau, pada era itu, bukan hal yang tabu dan dilarang. Pelatih Toni Pogacnik, juga tidak melarang anak buahnya merokok.

Menurut Harian Umum, Toni tidak terlalu mengekang pemain seperti yang dilakukan pelatih asing sebelumnya, Chou Seng Quee. Bagi Toni, yang diperlukan tim waktu itu ialah semangat kekeluargaan dan kebersamaan.

Ketika berada di Manila tahun 1954, kata Djamiaat, Timnas Indonesia begitu ditakuti meski sempat ada kejadian memalukan yakni insiden mercon di Rizal Memorial Stadium.

Toni juga dikenal sangat menyayangi pemain. Bahkan, ia pernah mendamprat pelatih Hongkong, Lee Wai Tong lantaran Indoensia diladeni secara kasar dalam turnamen Merdeka Games 1958.

“Tuan tinggal pilih satu di antara dua. Apakah di Tokyo nanti tuan akan bermain bola atau bermain orang? Terserah tuan mau apa. Kami tinggal meladeni!” demikian ancaman Toni waktu itu. 

4 dari 4 halaman

Kenangan Maulwi Saelan

Persiapan Timnas Indonesia memang sangat panjang. Indonesia mendatangkan Toni Pogacnik pada 1954. Pogacnik aktif mencari pemain ke daerah-daerah.

Selain itu, ia sangat intensif melakukan rangkaian uji coba, terutama melawat tim-tim Eropa Timur. Namun, hasilnya tak cukup menggembirakan. Negara seperti Yugoslavia, Jerman Timur, dan Rep. Ceska menjadi incaran uji coba timnas.

Tidak hanya timnasnya tetapi juga klub-klub lokalnya. Hasil tersebut tak diindahkan. Untuk kali pertama Indonesia berlaga di Olimpiade setelah Taiwan mengundurkan diri di babak kualifikasi.

Arena Olimpiade menjadi mimpi terbesar Maulwi Saelan yang didambakannya sejak kecil. Satu hal yang sangat memotivasi dirinya ialah ketika menonton film dokumenter karya sutradara Jerman Leni Riefenstahl tentang Olimpiade Berlin 1936 berjudul Olympia.

Film itu bercerita tentang sepak terjang James Cleveland “Jesse” Owens, seorang atlet kulit hitam Amerika Serikat yang mampu menggondol medali emas cabang atletik.

Panggung Olimpiade akhirnya bisa dirasakan Maulwi pada 1956. Indonesia masuk Olimpiade Melbourne 1956. Maulwi berdiri kukuh sebagai penjaga gawang sekaligus kapten pada pertandingan melawan Uni Soviet yang berkesudahan dengan skor 0-0, dan 0-4 pada partai ulangan. Namun, keberhasilan Indonesia mentas di Olimpiade menjadi salah satu raihan paling top dalam sejarah timnas.

Sebelum Melbourne, Maulwi harus berjuang menentukan prioritas. Ketika ia sudah masuk CPM (Corps Polisi Militer), tahun 1951 ia kembali ke Jakarta dan diperintahkan membuka pos di Cimahi, Bandung.

Naluri sebagai pesepak bola tak luntur. Ia kembali menkuni bal-balan bersama Indonesia Muda Bandung. Sejak saat itulah  kariernya mulai menemui arah hingga menembus skuat Olimpiade.

Sumber: Tabloid BOLA, FIFA, buku "Ramang Macan Bola", Harian Umum

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer