Bola.com, Gresik - Jawa Timur dikenal sebagai gudangnya klub besar dengan prestasi sebagai buktinya. Banyak tim berstatus juara Liga Indonesia berasal dari Jawa Timur, satu di antaranya adalah Gresik, wilayah utara Surabaya.
Jangan anggap enteng Gresik yang pernah punya klub legendaris sejak era kompetisi Galatama maupun Ligina, yaitu Petrokimia Putra Gresik. Klub milik BUMN yang berdiri pada tahun 1988 namun bubar di tahun 2005.
Advertisement
Terdapat satu figur pemainnya yang sangat dikenal bagi publik Gresik dan sepak bola Jawa Timur, yakni Khusairi. Palang pintu tangguh tim Kebo Giras (julukan Petrokimia Putra) yang sudah menjadi andalan sejak tahun 1991 hingga 2003.
Pada eranya, Khusairi menjadi pemain yang sulit tergantikan di posisinya bahkan menjadi kapten tim dalam skuadnya selama sepuluh tahun. Hingga ia disebut sebagai kapten abadi Petrokimia Putra.
Ada cerita unik tentang dirinya yang pernah menyandang predikat kacung alias pesuruh saat berseragam Petrokimia. Terutama di masa-masa awal kariernya bersama klub dengan ciri khas warna kuning tersebut.
"Saya masuk Petrokimia Putra Gresik saat umur 20 tahun. Setahun kemudian jadi kapten, meski sebelumnya dipanggil kacung karena paling muda. Di luar lapangan saya sering disuruh beli nasi bungkus atau rokok ya saya jalani. Tapi kalau di lapangan sama, tidak ada senior-junior," terang Khusairi dalam perbincangan di kanal YouTube Omah Bal-balan.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kapten Sejati
Sosok Khusairi juga menjadi kapten sejati di Petrokimia Putra Gresik. Ia mampu menjalankan peran ganda, selain menjadi bek tangguh untuk menghalau serangan lawan.
Yakni dengan menjadi leader untuk rekan-rekannya setim dengan ban kapten di lengannya. Ia mampu menjadi jembatan antara pemain baik di lapangan maupun menghadap persoalan dengan manajemen.
Padahal di timnya pernah ada nama-nama yang sebenarnya lebih mentereng, seperti Widodo C Putro, Carlos de Melo, atau Jakson F. Thiago. Nyatanya Khusairi mampu menjalankan peran itu dengan baik.
"Bagi saya ketika ada masalah besar ya kita kecilkan, kalau ada masalah kecil ya kita hilangkan. Menampung dan menyampaikan aspirasi rekan-rekan ke manajemen dengan bahasa yang agar tidak tersinggung. Belajarnya ya dari senior-senior dulu, seperti dari Ferryl Ramon Hattu, Fachri Husaini, Jaya Hartono, atau Hamdani Lubis," ujarnya.
"Musim 1995-1996 pernah ada niat Petrokimia mau bubar. Pemain melakukan mogok tidak akan mau bertanding melawan Barito Putera, karena urusan uang yang belum diberikan oleh manajemen. Saya mencoba menjembataninya dan sampaikan ke pelatih sebagai senior saya di tim. Alhamdulillah manajemen ada solusi dan bisa bermain," lanjut dia.
Advertisement
Kenang Dua Final Kontroversial
Sebagai pemain maupun kapten tim Petrokimia sejak lama, Khusairi ikut merasakan pengalaman dua partai final yang dilalui timnya, yakni di final Ligina edisi pertama musim 1994-1995 dan final Liga Bank Mandiri 2002.
Dua laga yang kabarnya berjalan dengan bayang-bayang kontroversial. Final Ligina I, Petrokimia harus mengaku kekalahan dari Persib Bandung. Khusairi mengaku sebenarnya dua pertandingan itu sedianya sudah diatur.
"Ligina 1 kami kalah di final, disebut juara tanpa mahkota. Sejak awal juaranya sudah diminta,nmakanya tim kami biasa-biasa saja. Mahkotanya diambil sana, dan kita tetap juara tanpa mahkota," beber Khusairi.
Begitu juga dengan final tahun 2002, hanya saja Petrokimia Putra keluar sebagai pemenang dengan mengalahkan Persita Tangerang lewat gol emas di babak perpanjangan waktu. Khusairi mengaku saat itu sebenarnya Persita di-setting sebagai pemenang, tapi meleset.
"Sebagai pemain, simpel saja karena sepak bola itu kan profesi mencari uang, larinya ke anak dan istri, kami tidak butuh juara, kalau diminta monggo tapi kami butuh uang," tandas Khusairi.