Bola.com, Jakarta - Gusnul Yakin termasuk pelatih senior yang masih berkiprah di kompetisi Tanah Air.
Pelatih yang membawa Arema Malang meraih trofi juara Galatama musim 1992/1993 itu, kini menangani tim Liga 3 Jawa Timur, Persinga Ngawi yang lolos mengikuti putaran nasional bulan depan di kawasan Jabodetabek.
Baca Juga
Jelang Duel Kontra Jepang dan Arab Saudi: Publik Jangan Berekspektasi Terlalu Tinggi, tapi Hargai Perjuangan Timnas Indonesia
Gusnul Yakin Mengenang Almarhum Ruddy Keeltjes: Sobat Karib di Klub Internal Persebaya, Berpisah karena Beda Pilihan di Era Galatama
Thom Haye Sindir Timnas China yang Bermain dengan Drama, Pengamat: Ini Bukan Eropa, Begitulah Sepak Bola Asia
Advertisement
Selain Arema, Gusnul juga pernah menjadi pelatih di PKT, Assyabaab Surabaya, Persibo Bojonegoro, Persiba Balikpapan, Persik Kediri dan Persiter Ternate.
Dalam channel youtube, Omah Balbalan, Gusnul mengungkap kenangan pahit manisnya ketika menangani Arema. Bersama klub Malang itu, Gusnul tercatat lima kali keluar masuk tim
.Ia pertama kali menangani Arema pada kompetisi Galatama 1992/1993. Ia menggantikan M Basri yang hengkang ke Mitra Surabaya pada paruh musim. Selanjutnya, ia menjalani periode keduanya pada Liga Indonesia 1995/1996. Kemudian pada musim 1997/1998, 2003 dan terakhir di 2008/2009.
"Saya tidak pernah menawarkan diri melatih Arema. Saya juga tak pernah memikirkan bayaran yang saya terima. Itu karena saya cinta dan bangga dengan Arema," kenang Gusnul yang pernah dibayar hanya dengan satu kuintal beras di Arema pada musim 1997/1998.
Menurut Gusnul Yakin, kebersamaan dan suasana keluargaan Arema membuatnya tetap bertahan meski kondisi finansial tim pas-pasan bahkan sesekali minus.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Solid
Ia mengungkap pengalaman yang menunjukkan kesolidan tim. Pada musim 1992/1993, Arema melakoni laga tandang menghadapi klub elite, Pelita Jaya. Di Jakarta, tim menginap pada penginapan di kawasan Blok M.
Pada malam harinya, ia sempat kelimpungan mencari pemainnya yang tak berada di penginapan. Tapi, tak lama berselang, Aji Santoso dkk kembali ke mes dan mengaku baru pulang dari bioskop.
"Saya langsung tertawa terbahak-bahak setelah mereka bilang hanya menonton poster filmnya saja karena tak punya uang beli tiket," tutur Gusnul.
Tak hanya itu, pada saat perjalanan pulang ke Malang usai mengalahkan Pelita Jaya, mereka terpaksa makan seadanya untuk menganjal perut yang kosong. Saat itu, pembantu umum tim mengaku tak dititipkan uang oleh manajemen. "Saya pun memanggil Aji Santoso. Kami pun merogok kocek pribadi untuk membayar makanan tim."
Advertisement
Militansi Pemain Arema
Gusnul juga mengaku kagum dengan militansi anak didiknya di Arema yang tak pernah mempersoalkan bayaran atau bonus. Bagi mereka, bertanding dengan memakai jersey Arema adalah kebanggaan tersendiri.
"Mereka juga berprinsip pantang kalah karena malu dengan keluarga, teman atau tetangga," ungkap Gusnul yang pernah bertatus pemain tim nasional Indonesia ini.
Gusnul merujuk contoh yang ditunjukkan gelandang bertahan Kuncoro saat Arema menghadapi klub asal Vietnam, Vietnam Quang Nam di Piala Champions Asia 1993/1994.
Menurut Gusnul, sejatinya, ia sempat meminta Kuncoro tak main karena engkel kakinya bengkak parah. Tapi, Kuncoro malah memaksa main. "Eh, ia malah mencetak satu gol pada laga itu. Arema pun menang 3-1."