Sukses


Kisah Legenda Arema dan Persebaya Jadi Korban Gas Air Mata di Semifinal Ligina 1997: Mata Perih, Sesak Napas, Lalu Pingsan

Bola.com, Jakarta - Penggunaan gas air mata untuk mengendalikan kerusuhan massa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, 1 Oktober lalu, bukan yang pertama terjadi di sepak bola Indonesia.

Sebelumnya, 25 tahun lalu, tepatnya saat babak semifinal Ligina 1996/1997 juga pernah terjadi insiden gas air mata. Kala itu, Juli 1997, Bandung Raya sedang bertanding melawan Mitra Surabaya di Stadion Utama Senayan, Jakarta, sekarang venue tersebut berganti nama SUGBK.

Ketika laga berlangsung 60 menit dengan keunggulan Bandung Raya 1-0, tiba-tiba petugas kepolisian menembakkan gas air mata ke arah tribun Utara, karena ditengarai penonton mulai ricuh. 

Akibat tiupan angin, gas air mata yang diluncurkan mengarah ke tengah lapangan. Gas yang terbawa angin itu pun memapar ke para pemain yang sedang bertanding.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Parah

Pemain Bandung Raya dan Mitra Surabaya pun berhamburan lari ke pinggir lapangan untuk menyelamatkan diri dan mendapatkan perawatan. Satu di antara korban yang mengalami paparan cukup parah adalah I Putu Gede Swisantoso.

Kepada Bola.com, sosok yang kini melatih PSMS Medan di Liga 2 2022/2023 itu menceritakan kisah pilu tersebut.

"Saat itu posisi kami, Mitra Surabaya, sedang menyerang Bandung Raya. Tiba-tiba semua pemain belakang Bandung Raya berlarian sambil menutupi wajah dengan jersey. Ketika itu saya belum sadar, ada apa ini?" kata Putu Gede.

3 dari 4 halaman

Pingsan

Berikutnya, Putu Gede baru sadar ketika matanya terasa perih. Dia pun langsung berlari ke pinggir lapangan. Sebelum sampai di pinggir, Putu Gede sempat tumbang di tengah lapangan.

"Saya terjatuh, karena dada sesak dan sulit bernapas. Tapi saya berusaha bangun dan berlari dengan sisa kekuatan tenaga dan napas. Saya berlari dengan insting, karena mata saya sangat perih dan sulit melihat," tuturnya.

Ketika sampai di pinggir lapangan, Putu Gede roboh lagi dan langsung dirawat. Karena paparan gas air mata cukup parah, eks gelandang Arema dan Persebaya ini pun pingsan di tempat.

"Saya dibawa ke Rumah Sakit Medika. Menjelang Isya', saya baru siuman. Saya sempat bingung, saya ada di mana ini. Ternyata saya pingsan sekitar dua jam di rumah sakit," ujarnya.

4 dari 4 halaman

Di Lapangan Masih Bisa Lari

Pria berdarah Bali ini membandingkan paparan gas air mata yang dialaminya dengan Tragedi Kanjuruhan.

"Kami tak terpapar langsung. Embusan angin yang membawa gas air mata saja bisa membuat saya kolaps. Bagaimana penonton di tribune Stadion Kanjuruhan yang ditembak langsung gas air mata? Dampaknya pasti sangat parah," ucapnya.

Putu Gede juga membandingkan posisi para pemain dan penonton di Kanjuruhan.

"Posisi kami di tengah lapangan dan masih bisa lari. Lalu bagaimana ribuan penonton di tribune Kanjuruhan? Secara naluri, semua penonton pasti berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Gas air mata membuat mereka panik. Saya saja pingsan, saya kira saat kejadian di Kanjuruhan pasti juga ada penonton yang pingsan di tempat," jelasnya.

Putu Gede benar-benar tak menyangka aparat kepolisian masih menggunakan gas air mata di pertandingan sepakbola. "Seharusnya kepolisian tahu dan punya data peristiwa 25 tahun lalu. Tapi kenapa kejadian itu diulang di Kanjuruhan?" katanya.

Video Populer

Foto Populer