Bola.com, Malang - Arema FC bukan klub biasa bagi warga Malang. Arema adalah identitas. Bahkan, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai agama kedua.
Sudut-sudut Kota Malang menjadi bukti eratnya pengaruh Arema bagi masyarakat setempat. Simbol singa, tulisan Arema FC, hingga Salam Satu Jiwa mengakar kuat di masyarakat dan tersebar di sudut-sudut kota.
Baca Juga
Advertisement
Saat berada di luar kota, orang Malang akan bangga menepuk dada menyebut dirinya sebagai Arema. Arek Malang. Membicarakan Arema bisa menjadi jembatan ampuh mengambil hati orang Malang.
Usia Tim Singo Edan sebenarnya relatif muda untuk ukuran klub di Indonesia. Klub tersebut baru berdiri pada 11 Agustus 1987, jauh setelah klub-klub tradisional seperti Persija Jakarta, Persis Solo, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, hingga PSIM Yogyakarta.
Namun, Arema dengan cepat merasuk ke sendi-sendi kehidupan Kera-kera Malang. Meskipun ada beberapa klub lokal di wilayah Malang Raya, klub belambang Singa tetap nomor satu, sumber kebanggaan dan kegembiraan.
Tebalnya pengaruh Arema FC di Malang membuat tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 benar-benar mengguncang. Malang, kabupaten dan kota, tenggelam dalam duka.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Bagaimana Masa Depan Arema di Malang?
Pada 1 Oktober 2022 Arema melakoni laga yang dianggap paling bergengsi bagi Aremania, duel melawan sang rival bebuyutan, Persebaya Surabaya. Singo Edan kalah, skornya 2-3. Rekor tidak pernah kalah dari Persebaya di kandang yang sudah bertahan selama 23 tahun, runtuh sudah. Harga diri pun terkoyak.
Namun, kekalahan itu ternyata tidak seberapa pedih dibanding peristiwa mengguncang yang mengiringinya. Tak lama setelah peluit panjang berbunyi, kerusuhan pecah.
Diawali suporter Arema yang turun ke lapangan, polisi bertindak bruntal. Gas air mata ditembakkan membabi buta ke lapangan, tribune, dan pintu-pintu. Lebih dari 700 orang menjadi korban, 132 di antaranya meninggal dunia.
Hari itu menandai sejarah paling kelam bagi sepak bola di Malang, bahkan Indonesia dan dunia. Sepak bola yang semestinya menawarkan tawa, berubah menjadi petaka.
Pengusutan kasus tragedi Kanjuruhan masih terus berjalan. Pemerintah turun tangan, enam tersangka sudah ditetapkan, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan juga sudah memberikan rekomendasi dan kesimpulan.
Namun, jauh sebelum itu Arema sudah mendapatkan hukuman. PSSI melarang Singo Edan menggelar pertandingan kandang hingga akhir musim kompetisi 2022/2023. Malang terpaksa menepikan sepak bola untuk sementara. Memang masih ada tim-tim lain di Malang, namun Arema punya arti berbeda. Malang bak kehilangan sepak bola.
Bagaimana masa depan Malang tanpa sepak bola, tepatnya Arema FC, meskipun mungkin untuk sementara?
Advertisement
Trauma dan Gundah
Agus Widodo, 51 tahun, awalnya bukan penggemar sepak bola. Warga asli Kabupaten Malang ini lebih menyukai bola voli, tidak terlalu larut mengikuti persaingan sepak bola Tanah Air.
Namun, pekerjaan membawanya dekat dengan Arema. Agus berprofesi sebagai petugas kebersihan dan keamanan Stadion Kanjuruhan, sejak tujuh tahun silam. Posisi itu membuka jalan dirinya mengenal pemain-pemain Arema.
Dia kini cukup akrab dengan kapten Arema, Johan Alfarizi, dan beberapa pemain lain seperti Jayus Hariono. Mereka kerap bertemu saat pertandingan Arema, atau ketika para pemain tersebut berlatih gym di area Stadion Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan membuatnya trauma dan gundah. Tempat yang sehari-hari dirawatnya luluh lantak, sudut-sudutnya meninggalkan kenangan kelam. Bahkan, hingga sepekan setelah kejadian, ia belum berani masuk ke stadion kebanggaan warga Malang itu.
Dia juga tahu Stadion Kanjuruhan akan senyap cukup lama. Arema dihukum tidak boleh menggelar pertandingan kandang hingga akhir musim. Kenyataan itu membuatnya gundah. Dia berharap sepak bola dan Arema bisa segera kembali ke Malang.
"Saya asli orang Malang, hidup mati ya Arema. Jiwa saya Arema. Harapannya, masalah ini cepat selesai, semua yang kena sanksi segera menjalaninya," kata Agus, dalam percakapan dengan Bola.com, di Stadion Kanjuruhan, pekan lalu.
"Semoga cepat pulih lagi sepak bola di Malang. Kasihan bibit-bibit sepak bola di Malang. Di sini banyak SSB, bahkan ribuan, mau disalurkan ke mana kalau bukan ke Arema?"
"Banyak juga orang yang menggantungkan hidup di Stadion Kanjuruhan. Kalau sepak bola tidak kembali lagi ke Kanjuruhan bisa mati sandang pangan mereka, kasihan," imbuhnya.
Arema Akan Selalu Menjadi Identitas Malang
Kapten Arema FC, Alfarizi, hanya bisa pasrah dengan hukuman yang didapat timnya. Arema harus bermain di kota dengan jarak lebih dari 250 km dari Kota Malang.
Meskipun begitu, dia meyakini Arema akan selamanya menjadi identitas Malang. Cobaan besar tersebut tidak akan menghilangkan arti penting Arema bagi masyarakat Malang.
"Mau bagaimana lagi, mungkin ini (tidak boleh main kandang) konsekuensinya. Dijalani saja dulu," kata Alfarizi saat berbincang dengan Bola.com, di kediamannya, di Kepanjen, Kabupaten Malang, Minggu (10/10/2022).
"Saya yakin di Malang nama Arema tidak akan pernah hilang, jangan sampai hilang. Arema akan terus menjadi identitas Malang, karena sudah melekat di hati. Bahkan, menjadi identitas kedua setelah agama."
"Bagi orang Malang, bukan cuma anak kecil, yang seumuran saya, orang tua, kakek-nenek semua tahu Arema. Arema dan Malang hubungannya sangat erat," kata pria yang juga membuka bisnis barber shop di Malang tersebut.
Bagi Alfarizi, Arema bukan sekadar identitas. Namun, juga sebuah rumah. Hidupnya tidak pernah jauh dari Arema. Sejak mengenal sepak bola saat masih bocah, Arema adalah tujuan dan masa depan baginya. Dia rajin mendukung Arema bertanding, bahkan sejak masih berkandang di Gajayana.
Pemain berusia 32 tahun tersebut kemudian masuk ke Akademi Arema, hingga bisa debut di tim utama. Debutnya untuk Singo Edan terjadi pada 2009. Dia terus setia mengibarkan panji-panji Singo Edan, hingga kini didaulat menjadi kapten tim.
Sebagai manusia biasa, Alfarizi mengakui tetap terselip kegundahan saat memikirkan masa depan Arema, klub yang sangat dicintainya. Tragedi Kanjuruhan mengubah semuanya.
"Pasti sebagai manusia punya rasa khawatir. Tapi, semuanya saya kembalikan ke Yang Maha Kuasa, yang akan mengatur yang terbaik untuk kita," katanya pasrah.
Advertisement
Kebanggaan yang Terpinggirkan
Pelatih Persebaya Surabaya yang juga legenda Arema, Aji Santoso, mengamini warga Malang akan kehilangan saat Singo Edan terusir ke kota lain karena hukuman imbas dari tragedi Kanjuruhan. Aji menggambarkan ada sedikit kebanggaan yang terpinggirkan ketika tidak ada sepak bola di Malang.
Bagaimana pun, sepak bola sudah mendarah daging bagi orang Malang. Arema khususnya. Di mata Aji, yang juga warga Malang, Arema bagai agama kedua bagi arek Malang.
"Kejadian di Kanjuruhan tentu menjadi momentum untuk introspeksi. Bukan hanya di Arema, tapi kota-kota lainnya. Tindakan apa pun yang negatif bisa merugikan tim. Gara-gara kejadian itu Arema tidak boleh main di kandang hingga kompetisi berakhir, ini merugikan bagi Aremania sendiri," tutur Aji.
"Susah saatnya semua suporter di Indonesia menyadari kalau melakukan hal negatif akan kembali pada diri sendiri. Sekarang kebetulan sedang melanda Arema, tapi bisa saja terjadi di klub lain. Kecewa itu wajar, protes boleh saja, tapi jangan sampai merugikan tim."
"Dengan kejadian ini semoga semua bisa mengesampingkan ego masing-masing, merendahkan hati, supaya perdamaian suporter terwujud. Bukan hanya Malang-Surabaya, tapi seluruh Indonesia yang memiliki rivalitas," imbuh Aji Santoso.
- Tim peliput: Yus Mei Sawitri, Iwan Setiawan, Oki Prabhowo, Bagaskara Lazuardi