Bola.com, Malang - Sejujurnya, tak ada yang mau mengingat kejadian pada malam kelam di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). Pun demikian dengan saya, Dendy Gandakusumah, sebagai reporter Bola.net yang ada di lapangan saat itu. Saya berusaha sekuat tenaga agar tak lagi mengingat malam tersebut. Malam yang membuat hidup saya dan ribuan orang lainnya tak akan pernah sama lagi.
Malam itu, sama seperti malam-malam akhir pekan lainnya. Berbeda dengan kebanyakan orang, pada akhir pekan, saya justru menghabiskannya dengan bekerja. Waktu itu, yang menjadi objek liputan saya adalah laga Arema FC versus Persebaya Surabaya, yang dihelat di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang.
Advertisement
Tak ada persiapan khusus yang saya lakukan menjelang pertandingan ini. Semua seperti biasanya. Juga tak ada bekal khusus yang saya bawa menjelang pertandingan ini. Semua sama seperti bawaan rekan-rekan jurnalis lainnya. Jika ada yang berbeda mungkin hanya kantong P3K. Sejak mengikuti pelatihan safety journalism dan beberapa pelatihan keselamatan, saya selalu membawa kantong P3K ini dalam tas.
Di lapangan, laga antara Arema FC dan Persebaya Surabaya berlangsung sengit. Dengan tempo tinggi, kedua tim saling serang dan berupaya mengalahkan lawan. Tingginya tempo dan intensitas permainan membuat adrenalin penonton melonjak. Sorak sorai dan cemoohan penonton saling bersahutan terdengar. Namun, tak ada tanda-tanda bakal terjadi sesuatu dalam laga ini.
Menjelang laga usai, suasana sempat memanas. Para penonton merasa tak puas dengan permainan Arema FC, yang saat itu tertinggal 2-3 dari Persebaya. Chant, “maine kurang sangar,” terus menggema dari penjuru stadion. Namun, hanya sebatas itulah ungkapan kekecewaan para suporter di tribune.
Selepas pertandingan, seperti biasanya, para penggawa Arema FC berkumpul di tengah lapangan untuk menyapa suporter mereka. Terlebih lagi, pada waktu itu, mereka hendak meminta maaf setelah menelan kekalahan dari Persebaya.
Ketika para awak tim Arema FC berada di tengah lapangan, ada dua orang suporter yang masuk ke lapangan. Mereka tampak menghampiri dan merangkul kiper Arema FC, Adilson Maringa.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Keriuhan dari Lorong
Tak lama berselang, saya turun ke ruang media Stadion Kanjuruhan untuk mengikuti konferensi pers setelah pertandingan. Ruang media ini terletak di lantai 1 stadion. Di depan ruang media terdapat mixed zone, yang sekaligus menjadi penghubung ruang ganti pemain ke pintu servis, tempat bus pemain biasanya menanti. Selain itu, mixed zone juga memiliki pintu yang mengarah ke lapangan.
Ruangan media masih sepi ketika saya tiba. Hanya ada beberapa rekan yang sudah berada di ruangan berukuran berukuran 6x4 meter persegi tersebut. Seperti biasa, saya duduk di kursi deret kedua dari depan. Teman-teman yang lain berdatangan dan sibuk menganalisis jalannya pertandingan dan permainan skuad Arema FC pada laga tersebut. Dari luar terdengar suara teriakan dan orang-orang berlari.
Terdorong rasa penasaran, saya keluar ke lapangan melalui pintu yang berada di dekat mixed zone. Pintu ini mengarah ke sebelah tribune 14. Betapa terkejutnya saya menyaksikan ratusan suporter sudah berada di lapangan berlarian tunggang langgang dikejar aparat keamanan yang bersenjata tongkat.
Tak berapa lama, situasi kian tak kondusif. Polisi mulai melepaskan tembakan gas air mata. Asap gas air mata ini membuat mata pedih dan berair. Walhasil, saya dan beberapa rekan wartawan lain kembali masuk ke lorong mixed zone.
Persebaya dijadwalkan menjadi tim pertama yang akan melakukan konferensi pers. Namun, tak lama berselang, Media Officer Arema FC, Sudarmaji, masuk ke ruang media dan mengatakan skuad Persebaya tak jadi mengikuti konferensi pers. Sebagai gantinya, mereka akan menggelar konferensi pers via zoom.
Ketika sedang menanti skuad Arema menggelar konferensi pers, terdengar keriuhan dari lorong antara mixed zone dan lapangan. Puluhan suporter masuk dengan memapah, membopong, bahkan menggendong rekan-rekan mereka yang sudah dalam kondisi lemas. Korban yang dibawa rata-rata perempuan dan anak-anak. Beberapa di antara mereka dibawa dalam kondisi tak sadarkan diri. Para korban ini dibawa menuju ke fasilitas medis yang berada di sebelah utara bangunan stadion.
Advertisement
Panik dan Menangis
Mulanya, saya dan sebagian jurnalis yang berada di ruang media tak sadar dengan skala tragedi ini. Namun, semuanya tersentak ketika sekelompok Aremania menggendong tubuh seorang wanita berusia belasan tahun. Mereka berteriak bahwa wanita tersebut telah meninggal. "Iki mati arek iki. Wes gak enek umur," teriak mereka sembari memanggil tenaga medis.
Namun, tak ada petugas medis yang mendekat. Dengan jumlah yang terbatas, para tenaga medis ini kewalahan menolong korban-korban lain yang terus berdatangan.
Tubuh korban yang disebut telah meninggal ini kemudian diletakkan di mixed zone, tepat di depan ruang media.
Sebagai jurnalis, saya selalu dilatih untuk skeptis. Saya tak mau langsung percaya bahwa si korban ini telah meninggal. Saya menghampirinya. Kemudian, saya coba cek denyut nadi di leher. Tidak ada.
Saya coba taruh telunjuk saya di dekat lubang hidungnya. Tak ada napas. Saya coba lakukan pijat jantung, seperti yang pernah saya pelajari dalam beberapa pelatihan. Nihil. Tak ada tanda-tanda korban sadar. Rekan-rekan korban mulai menangis.
Panik, saya berlari ke arah ruangan medis sembari berteriak memanggil tenaga medis. Yang ada dalam pikiran saya, penderita yang tak bisa bernapas merupakan korban yang harus diprioritaskan untuk ditangani. Dalam bahasa kedaruratan, pasien ini masuk kategori triase merah.
Namun, betapa kagetnya saya, ternyata fasilitas kesehatan sudah penuh korban. Bahkan, yang membuat lebih miris lagi, beberapa tubuh sudah ditutupi. Sudah tak bernyawa. Saya tak lagi berteriak mencari bantuan medis. Percuma. Mereka pontang-panting menangani korban yang terus mengalir bak air bah.
Saya kembali ke korban yang tadi dibaringkan di mixed zone. Akhirnya, oleh rekan-rekannya, tubuh korban dibawa ke musala lantai 1, tempat sebagian korban meninggal ditempatkan. Wajah korban yang pucat dengan bibir membiru pun ditutupi syal Arema.
Kepungan Gas Air Mata
Ketika kembali ke ruang media, saya sempat melihat banyak korban yang merasakan kepanasan di mata mereka. Ada juga yang terduduk kelelahan dan kehausan. Banyak juga anak kecil yang menangis merasakan pedih di mata dan sesak di pernapasan mereka.
Sampai di ruang media, saya melongok ke kardus tempat air mineral, yang biasanya disediakan. Kosong. Namun, saya melihat ada beberapa botol air mineral yang sudah kosong. Jika tak salah ingat, ada empat botol berukuran 600 ml dan satu botol berukuran 1,5 liter.
Bersama jurnalis Wearemania, Agung Prima, saya segera berlari ke kamar mandi lantai 2. Kami menuju kamar mandi VIP, yang terletak di dekat tribune media. Paling tidak, kami yakin bahwa ada air bersih di tempat tersebut.
Setelah mencucinya dengan air bersih di wastafel, kami mengisi botol-botol tersebut dengan air dan membawanya ke lantai 1. Kami bagikan air ini ke para korban untuk mencuci wajah, mata, dan saluran pernapasan mereka. Bahkan, ada sejumlah korban yang meminum air tersebut saking hausnya. Padahal, kami sudah mengingatkan mereka bahwa air tersebut mentah.
Beberapa kali kami bolak-balik dari lantai 1 ke kamar mandi lantai 2 untuk mencuci dan mengisi ulang botol-botol tersebut. Kegiatan kami terhenti ketika Javier Roca dan Dedik Setiawan masuk ke dalam ruang media untuk menggelar konferensi pers selepas laga.
Selepas konferensi pers, yang berlangsung dalam suasana muram, Agung kembali membagikan air ke korban gas air mata. Sementara, saya berjalan ke lapangan untuk melihat situasi di luar. Untuk mengurangi dampak gas ini, saya menggunakan masker yang sudah dibasahi. Saya membawa satu botol kecil air untuk membasuh muka.
Sampai tepi lapangan, kondisinya memprihatinkan. Asap pekat membuat napas menjadi sesak. Mata pedih. Pemandangan yang terpampang di depan mata kian menyesakkan dada. Ada dua mobil polisi terguling dalam kondisi rusak berat. Sejumlah tameng dan tongkat polisi terbakar. Ada sejumlah titik api di area tribune.
Terdengar jeritan dan tangisan di mana-mana. Banyak suara bersahutan mencari rekan dan keluarga yang terpisah kala sama-sama berusaha menyelamatkan diri dari kepungan gas air mata di tribune.
Advertisement
Momen yang Terbitkan Semangat
Dari tribune selatan, terlihat sejumlah orang terhuyung-huyung membopong rekan mereka yang berada dalam kondisi tak sadarkan diri. Tak berpikir panjang, saya dan beberapa orang lain berlari menghampiri sekelompok orang tersebut. Kami menggantikan mereka menggotong tubuh yang dalam kondisi tak sadar ini ke aula stadion, tempat di mana korban dikumpulkan setelah fasilitas medis stadion tak cukup lagi.
Saya sempat beberapa kali ikut menggendong korban ini. Yang tak terlupakan, ada korban -yang ketika baru beberapa meter meninggalkan area tribune selatan- tubuhnya mengejang dan bergetar kemudian lemas.
Rekan yang membantu menggendong spontan bergumam, "Innalillahi wa innailaihi rojiun." Kemudian, korban ini diletakkan sebentar untuk ditutupi wajahnya dengan kaos yang digunakan rekan tadi. Jenazah ini kemudian digotong lagi untuk ditempatkan di sisi utara pintu utama VIP stadion, tempat sejumlah jenazah lain sudah berada.
Yang juga membuat mental down adalah ketika saya berjalan ke arah tribune selatan untuk membantu mengevakuasi korban, ada seorang pria berusia 20-an tahun berlari sembari membopong seorang balita. Sembari berlari, ia berteriak-teriak, "Areke gak ambekan (anaknya tidak bernapas)."
Hancur rasanya hati waktu itu. Namun, situasi waktu itu membuat saya tidak bisa banyak berpikir dan merasa. Bagaimana pun, saya harus berusaha membantu mengevakuasi korban, minimal membantu menjauhkan mereka dari titik gas air mata tersebut.
Setelah serangkaian hal yang meremukkan hati, akhirnya ada hal yang cukup menerbitkan semangat. Salah seorang yang saya dan rekan-rekan gotong akhirnya siuman. Namun demikian, kondisinya sangat lemas. Sembari terbata dan dengan suara lirih, ia mengaku sulit bernapas. Dadanya terasa sakit. Lehernya pun kaku, yang membuatnya sulit bernapas dan berbicara. Wajah pemuda berusia 20-an tahun ini pucat. Bibirnya membiru. Napasnya cepat dan pendek-pendek. Ia selalu mengeluh ngantuk dan ingin tidur.
Saya meminta bantuan rekan-rekan jurnalis lain untuk membantu menangani korban ini. Rekan-rekan pun bergerak cepat. Ada yang membantu melepas baju korban. Saya bertugas mengoleskan minyak kayu putih yang ada di kantong P3K saya- ke dada dan leher korban. Iwan Setiawan, jurnalis Bola.com, waktu itu menyangga kepalanya agar kondisinya agak nyaman dan lebih mudah bernapas.
Saya terus berusaha menjaga kesadaran korban, yang terus mengatakan mengantuk dan ingin tidur. Saya mengajak korban bercerita ngalor-ngidul. Saya tanya nama, umur, alamat, dan rekan-rekan korban. Korban asal Trenggalek ini saya minta bercerita perjalanannya dari rumah sampai ke stadion. Apa saja saya lakukan agar korban tak sampai tertidur. Saya takut jika si korban sampai tertidur, kondisinya bakal kian parah.
Saya juga mengecek apakah di tubuh korban ada luka atau bekas benturan. Ternyata tak ada. Dalam ceritanya, korban berusia 20 tahun itu pun mengaku tak terinjak-injak atau terbentur. Ia mengaku matanya perih dan napasnya sesak setelah menghirup gas air mata. Akibat gas air mata itu, ia mengaku terpisah dengan pacar dan rekan-rekannya.
Setelah agak membaik, si remaja ini tadi kami bawa ke depan gerbang pintu VIP. Ia disandarkan di dinding dan diganjal tas. Setelah otot lehernya tak lagi kaku dan kesadarannya membaik, ia sudah bisa makan biskuit, kendati masih harus disuapi. Iwan membantu korban untuk minum air dari dalam botol.
Tak berapa lama, ada seorang tentara yang mendekati. Dari identitasnya, ia merupakan seorang Babinsa. Ia menemani sembari memijat kaki si pemuda tersebut.
Kehidupan Tak Sama Lagi
Karena sudah ada yang menemani, pemuda Trenggalek ini pun kami tinggalkan. Saya bergabung dengan teman-teman yang sudah duduk kelelahan di tangga sebelah kiri pintu utama. Tak ada canda dan tawa. Tak ada celetukan-celetukan yang biasa terdengar. Bahkan, tak ada seorang pun yang mengetik berita. Semua diam dengan pandangan kosong. Ada beberapa yang terisak sembari memandang deretan jenazah yang ada di hadapan kami.
Saya tak bisa menulis saat itu. Pikiran dan perasaan berkolaborasi mengkhianati saya. Saya akhirnya memutuskan menelepon Mustopa, reporter Bola.net di Surabaya. Kepadanya, saya minta bantuan untuk menulis berita soal tragedi ini. Saya bercerita kepadanya apa saja yang saya lihat di lapangan, sementara ia yang menuliskannya. Mustopa melakukan follow-up dengan mencari konfirmasi ke skuad Persebaya.
Setelah beberapa jam, jenazah dan para korban dievakuasi ke rumah sakit di sekitar Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Situasi perlahan mulai membaik. Kemudian, kami beranjak meninggalkan stadion menuju Mapolres Malang, untuk menunggu konferensi pers Kapolda Jatim soal tragedi ini.
Tanpa mengecilkan jumlah korban dan orang-orang yang ditinggal sosok-sosok terkasih mereka, kami bersyukur selamat dalam tragedi ini.
Namun, saya sadar, kehidupan tak akan lagi sama. Sebagian diri saya ikut mati dalam tragedi tersebut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa si balita dan pacar pemuda asal Trenggalek ini masuk ke dalam daftar korban tewas pada tragedi kemanusiaan tersebut.
- Penulis: Dendy Gandakusumah
Advertisement