Bola.com, Jakarta - Kabar buruk akhirnya datang bagi sebagian pelaku sepak bola Tanah Air. Dalam rapat Komite Ekesekutif (Exco) PSSI, Kamis (12/1/2023) malam WIB, Liga 2 2022/2023 resmi dihentikan, sedangkan putaran nasional Liga 3 2023 ditiadakan.
Implikasinya tentu sangat serius bagi piramida kompetisi sepak bola nasional. Dengan terhentinya kasta kedua, otomatis tak ada tim yang promosi hingga membuat Liga 1 musim ini dijalankan tanpa degradasi.
Baca Juga
Advertisement
Tentu hal tersebut sebuah kemunduran telak untuk sepak bola nasional. Saat negara-negara Asia Tenggara lain makin serius menggarap jenjang liganya, Indonesia justru jalan di tempat atau bahkan berbalik arah.
Tetapi sejatinya, penghentian kompetisi bukan kali pertama terjadi di sepak bola Indonesia. Tercatat ada berbagai peristiwa yang membuat kompetisi diberhentikan di tengah jalan seperti yang terjadi sekarang.
Apa saja faktor yang melatarbelakangi beberapa penghentian kompetisi sepak bola nasional? Berikut ini ulasan selengkapnya.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Krisis Moneter dan Pergolakan Politik (1998)
Pada akhir 1997, Asia mengalami satu di antara krisis ekonomi paling parah sepanjang sejarah. Indonesia juga terkena imbas akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang anjlok tajam
Kekacauan masal tak terhindarkan. Berbagai daerah melaporkan kerusuhan akibat krisis ekonomi. Kondisi diperparah dengan gejolak politik yang makin panas pasca-Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto kala itu lantas memerintahkan untuk menghentikan kompetisi Liga Indonesia (Ligina) akibat alasan keamanan. Padahal, kompetisi yang saat itu bernama Liga Kansas nyaris menuntaskan fase grup.
Advertisement
Campur Tangan Pemerintah, Pembekuan PSSI (2015)
Pada 2015 lalu, kompetisi Liga Indonesia juga tak bisa dituntaskan hingga akhir. Penyebabnya adalah campur tangan pemerintah yang melakukan pembekuan kepada PSSI lantaran tak mengikuti arahan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
Sebelumnya, mereka mengeluarkan rekomendasi untuk mengeluarkan Arema Cronus (sekarang Arema FC) dan Persebaya Surabaya (kini Bhayangkara FC), lantaran kepemilikan atau kepengurusan ganda sebelum kompetisi diputar. Tetapi, hal itu diabaikan begitu saja oleh PSSI dan operator liga.
Kemenpora pun bertindak dengan melakukan pembekuan terhadap PSSI. Mereka tak lagi mendapatkan izin keamanan dari pihak kepolisian, sekaligus tidak bisa lagi menggunakan stadion-stadion yang dikelola oleh pemerintahan setempat.
Mendengar kabar tersebut, FIFA selaku induk federasi tertinggi sepak bola dunia langsung bereaksi. Indonesia pun dijatuhi hukuman internasional lantaran menilai pemerintah sudah mencampuri urusan internal PSSI.
Pandemi COVID-19 (2020)
Kompetisi yang telah berganti nama menjadi Liga 1 juga tak luput dari penghentian mendadak. Pada awal 2020, kompetisi yang baru berjalan tiga pekan terpaksa ditangguhkan lantaran pandemi COVID-19 yang menyerang seluruh dunia.
Ada perbedaan mendasar terkait masalah kali ini dengan penyebab penghentian kompetisi sebelumnya. Pandemi COVID-19 tak hanya menghentikan sepak bola Indonesia saja, tetapi hampir di seluruh dunia.
Hanya saja, kompetisi Tanah Air tak ikut kembali diputar saat sepak bola di belahan dunia lain mulai berjalan. Setelah mencoba berbagai cara, izin keamanan yang tak kunjung turun memaksa PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) sepakat menghentikan Liga 1 2020.
Advertisement
Tak Punya Biaya Operasional? (2022/2023)
Fakta menarik tersaji dalam penghentikan Liga 2 2022/2023. PT LIB selaku operator kompetisi rupanya tak memiliki anggaran yang cukup untuk memutar kompetisi kasta kedua tersebut.
Dalam surat nomor 836/LIB-COR/XII/2022 yang ditujukan kepada Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, PT LIB menyebut mayoritas klub meminta lanjutan kompetisi dengan sistem bubble. Tetapi permintaan itu tak bisa dipenuhi.
Mereka berdalih, pelaksaan kompetisi dengan sistem bubble bakal memakan biaya besar. Sementara itu, cashflow yang dimiliki PT LIB tak bisa menanggung semua biaya. Sehingga keputusan 'unik' itu pun akhirnya diambil. (ADIT WAHYU)