Bola.com, Jakarta - Sejak berdiri pada 19 April 1930 di Yogyakarta, PSSI telah melahirkan 19 ketua umum. Mulai dari Soeratin Sosrosoegondo pada periode 1930-1940 hingga Mochamad Iriawan pada 2019-2023.
Di usia yang akan menginjak 93 tahun, gonjang-ganjing masih kerap melanda PSSI, terutama dalam satu setengah dekade terakhir.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan sejak 2011 atau setelah Nurdin Halid lengser sebagai Ketua PSSI, asosiasi telah enam kali menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) dan tujuh kali pergantian Ketua menyusul bakal turunnya Iriawan.
PSSI juga beberapa kali dipimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt) karena Ketua gugur di tengah jalan semisal Joko Driyono pada Januari-Maret 2019 dan Iwan Budianto Maret-November 2019.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Soeratin dan Semangat Perjuangan Mengusir Penjajah
Sejarah mencatat Ketua PSSI pertama adalah Soeratin Sosrosoegondo. Ketika PSSI dibentuk, tujuan awalnya adalah sebagai propaganda untuk membangkitkan semangat nasionalisme pemuda dalam mengusir penjajah.
Soeratin lahir dari kalangan terpelajar. Ayahnya, R. Soesrosoegondo, guru pada Kweekschool atau Sekolah Keguruan, menulis buku Bausastra Bahasa Jawi. Istrinya, R.A. Srie Woelan, adik kandung Dokter Soetomo, pendiri Budi Utomo.
Sekembalinya Soeratin dari Eropa pada 1928, ia bergabung dengan perusahaan konstruksi terkemuka milik Belanda dan membangun antara lain jembatan serta gedung di Tegal dan Bandung.
Namun, pada waktu bersamaan, Soeratin mulai merintis di pendirian sebuah organisasi sepak bola, yang bisa diwujudkan pada 1930. Organisasi boleh dikatakan realisasi konkret dari Sumpah Pemuda 1928. Nasionalisme itu dicoba dikembangkan melalui olahraga, khususnya sepak bola.
Seperti halnya ipar Soeratin, Dr. Soetomo, yang berkeliling Pulau Jawa untuk menemui banyak tokoh dalam rangka menekankan pentingnya pendidikan dan kemudian disusul dengan pendirian Budi Utomo, Soeratin melakukan pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung.
Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda alias PID. Pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI yang kala itu akronim dari Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia. Istilah "sepakraga" diganti dengan "sepak bola" dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950.
PSSI kemudian melakukan kompetisi secara rutin sejak 1931, dan ada instruksi lisan yang diberikan kepada para pengurus, jika bertanding melawan klub Belanda tidak boleh kalah. Soeratin menjadi ketua organisasi ini 11 kali berturut-turut. Setiap tahun ia terpilih kembali.
Kegiatan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin keluar dari perusahaan Belanda dan mendirikan usaha sendiri. Setelah Jepang menjajah Indonesia dan perang kemerdekaan terjadi, kehidupan Soeratin menjadi sangat sulit.
Rumahnya diobrak-abrik Belanda. Dia aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat letnan kolonel. Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api.
Jasanya dalam persepak bolaan nasional diabadikan dalam nama trofi yang diperebutkan dalam kompetisi sepak bola junior tingkat nasional, Piala Soeratin.
Advertisement
Dominasi Jenderal TNI
Selanjutnya, beberapa tokoh berturut-turut menjadi nakhoda PSSI. Setelah Artono Martosoewignyo, muncul sosok Maladi yang memimpin pada 1950-1959. Dia bahkan menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Kemudian muncul Abdul Wahab Djojohadikoesoemo. Dan sosok eks mantan pemain mulai menjadi Ketua Umum. Yakni Maulwi Saelan pada 1964-1967. Dia pernah memperkuat Timnas Indonesia pada era 1950-an.
Mantan pejabat negara pernah menjadi Ketum PSSI. Dia adalah Ali Sadikin pada 1977-1981. Ali sebelumnya menjabat Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora, dan Gubernur DKI Jakarta.
Berikutnya, ada Sjarnoebi Said yang memimpin PSSI pada 1982-1983. Lalu Kardono yang menjabat ketua federasi pada 1983-1991. Di masa kepemimpinannya, Timnas Indonesia merebut medali emas di SEA Games 1987 dan 1991. Kardono juga merupakan presiden pertama AFF pada 1984-1994.
Era Kelam Politisi
Selanjutnya, sejumlah politisi menjadi pemimpin PSSI. Mulai dari Azwar Anas menduduki kursi orang nomor satu di PSSI selama delapan tahun pada 1991-1999.
Di eranya, tepatnya 1994, diselenggarakan Liga Indonesia pertama, yang merupakan penggabungan dari dua kompetisi yang sebelumnya berjalan yakni Perserikatan dan Galatama. Sebelumnya, Azwar menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, Menteri Perhubungan, dan Menko Kesra.
Lalu ada Agum Gumelar. Dia sempat menjadi Menteri Perhubungan, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi. Setelah menjadi Ketua PSSI, Agum kembali dipercaya sebagai Menkopolkam dan Menteri Perhubungan. Agum menjabat Ketua PSSI pada 1999-2003.
Kursi Agum di PSSI diteruskan Nurdin Halid. Era kepemimpinan sang politisi Partai Golkar itu banjir masalah.
Di era Nurdin, 2003-2011, terjadi kisruh berupa dualisme kompetisi. Gerakan-gerakan yang meminta pria asal Makassar itu mundur mencuat mulai 2010. Kondisi tersebut terjadi karena Nurdin Halid tersandung beberapa kasus korupsi yang membuatnya sempat masuk bui.
Dualisme kompetisi terjadi setelah pengusaha, Arifin Panigoro membuat breakaway kompetisi yaitu Liga Primer Indonesia untuk menyaingi kompetisi bentukan PSSI, Indonesia Super League.
Demo massa pecah pada 2011 untuk menuntut Nurdin mundur. Melihat situasi yang tak kondusif, FIFA membentuk Komite Normalisasi yang dipimpin Agum Gumelar. PSSI pun diambil alih, sampai akhirnya pada Kongres Luar Biasa di Solo pada Juli 2011, Djohar Arifin Husin terpilih menjadi Ketua PSSI.
Kemudian dalam Kongres Luar Biasa PSSI yang digelar di Surabaya pada 18 April 2015, La Nyalla Mattalitti didapuk sebagai Ketua PSSI menggantikan Djohar.
Namun, kisruh kembali terjadi. Beberapa saat seusai La Nyalla terpilih, PSSI dibekukan oleh pemerintah lewat Kemenpora. Sampai pada akhirnya PSSI dikenai sanksi FIFA. Saat dibekukan, pemerintah menggelar sejumlah turnamen untuk mengisi kekosongan kompetisi.
Advertisement
Edy Rahmayadi dan Kasus Match Fixing
Setelah era gonjang-ganjing pembekuan FIFA, pada pemilihan Ketua PSSI yang dilaksanakan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, pada 10 November 2016, Edy Rahmayadi dinobatkan sebagai Ketua PSSI dengan total suara 76, Moeldoko 23 suara, dan Eddy Rumpoko 1 suara, dan 7 suara tidak sah.
Edy mengawali kariernya sebagai tentara dengan sekolah terlebih dahulu di Akademi Militer (Akmil) dan lulus pada 1985. Posisi pertama yang diembannya sebagai komandan bataliyon di Jajaran Kopasus TNI Angkatan Darat.
Sederet jabatan di dunia militer pun datang silih berganti pada dirinya. Sejak itu, ia banyak aktif di satuan Kostrad. Pria kelahiran Sabang, Aceh, 10 Maret 1961 ini pernah menjabat sebagai Dankipan B Yonif 323 Kostrad dan Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 100 Bukit Barisan.
Sebelum kenaikan pangkat dan jabatan pada satuan elit ini, Edy juga bertugas di beberapa daerah di Papua. Setelah itu, ia ditarik kembali ke Kostrad dengan menjadi Panglima Divisi Infanteri Kostrad pada 2014. Kariernya pun terus naik.
Tak lama kemudian, pada 2015, ia mendapat tugas sebagai Panglima Kodam I/Bukit Barisan. Pada tahun yang sama, ia juga diminta kembali ke satuan Kostrad, namun kali ini ditunjuk sebagai orang nomor satu sebagai Panglima Kostrad.
Di tengah jabatan-jabatan strategisnya, Edy saat menjadi Pangdam Bukit Barisan, terpanggil hatinya untuk membangkitkan kembali persepak bolaan Tanah Air yang saat itu sedang mengalami kevakuman karena konflik Menpora dengan PSSI yang menyebabkan pembekuan.
Pada saat itulah, Edy terjun langsung dalam usaha untuk membangkitkan PSMS Medan hingga klub tersebut menjuarai Piala Kemerdekaan 2015. Perjuangan Edy untuk memajukan PSMS belum berhenti. Dia juga mengusahakan agar klub itu dapat mengikuti Piala Jenderal Sudirman meski awalnya sempat mendapat penolakan.
Di dunia sepak bola, sosok Edy memang tidak terlalu menonjol. Perlahan nama Edy pun mencuat ke permukaan setelah kelompok K-85 yang merupakan kumpulan dari 85 klub pemilik suara dalam kongres PSSI yang menginginkan rezim La Nyalla segera berakhir. Kelompok ini pulalah yang mencalonkan Eddy sebagai Ketua PSSI.
Hanya saja, Edy tak menyelesaikan jabatannya sebagai nakhoda PSSI. Ia mundur susai Piala AFF 2018 dengan beralasan ingin fokus dengan tugas barunya sebagai Gubernur Sumatra Utara.
PSSI tengah mendapatkan sorotan dengan mencuatnya aneka kasus pengaturan skor di pentas kompetisi. Mabes Polri sampai membentuk Satgas Antimafia Bola untuk mengusut berbagai dugaan match fixing.
Sepeninggal Edy, posisi orang nomor satu PSSI digantikan Joko Driyono dan Iwan Budianto. Nama pertama yang disebut lengser seusai tersandung kasus penghilangan barang bukti pengaturan skor.
Erick Thohir Siap Maju
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI, Erick Thohir telah mendeklarasikan diri untuk menjadi Ketua PSSI periode 2023-2027.
Erick Thohir bakal bersaing dengan empat kandidat lainnya untuk menjadi Ketua PSSI dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 16 Februari 2023.
Erick Thohir mendapatkan dukungan dari selebritas hingga influencer yang berkecimpung di dunia sepak bola antara lain Raffi Ahmad, Kaesang Pangarep, hingga Atta Halilintar.
Selain itu, perwakilan Sriwijaya FC yang juga mendorong Erick Thohir, Hendri Zainuddin menyebut bahwa mantan Presiden Inter Milan tersebut diusung oleh 60 dari total 87 voters.
"Kami dari Sriwijaya FC di Liga 2 mendukung Pak Erick Thohir karena kami melihat setelah pandemi COVID-19, kalau tidak ada Pak Erick, Liga 1 dan Liga 2 musim ini tidak ada," ujar Hendri.
"Untuk itu, komitmen kami jelas. Kami mendukung Pak Erick. Ada 60 voters yang dukung Pak Erick. Bisa menang mutlak," jelasnya.
Advertisement
Daftar Ketua PSSI
- 1. Soeratin Sosrosoegondo 1930-1940
- 2. Artono Martosoewignyo 1941-1949
- 3. Maladi 1950-1959
- 4. Abdul Wahab Djojohadikoesoemo 1960-1964
- 5. Maulwi Saelan 1964-1967
- 6. Kosasih Poerwanegara 1967-1974
- 7. Bardosono 1975-1977
- 8. Ali Sadikin 1977-1981
- 9. Sjarnoebi Said 1982-1983
- 10. Kardono 1983-1991
- 11. Azwar Anas 1991-1999
- 12. Agum Gumelar 1999-2003
- 13. Nurdin Halid 2003-2011
- 14. Djohar Arifin Husin 2011-2015
- 15. La Nyalla Mattalitti 2015-2016
- 16. Edy Rahmayadi 2016-Januari 2019
- 17. Joko Driyono Januari-Maret 2019
- 18. Iwan Budianto Maret-November 2019
- 19. Mochamad Iriawan November 2019-Sekarang