Bola.com, Jakarta - Mantan pemain Timnas Indonesia, Oktovianus Maniani, mengisahkan pengalamannya saat menghadapi dualisme kompetisi yang menjerumuskan sepak bola Indonesia di titik nadir.
Pasalnya, Oktovianus Maniani harus merasakan betapa getirnya situasi Timnas Indonesia saat itu. Friksi yang terjadi antara pengurus PSSI turut menghasilkan dualisme kompetisi antara Liga Primer Indonesia (LPI) dengan Indonesian Super League (ISL).
Baca Juga
Advertisement
Dualisme ini tak hanya membuat klub-klub terpecah menjadi dua kubu. Timnas Indonesia pun menjadi korbannya. Saat itu muncul dualisme tim nasional. Skuad Garuda di bawah asuhan PSSI diasuh oleh Nil Maizar, sedangkan Timnas bentukan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) dinakhodai Alfred Riedl.
Okto Maniani yang ketika itu memperkuat Persiram Raja Ampat di kompetisi ISL pun mengakui bahwa dirinya rela tak dibayar saat memperkuat skuad Timnas Indonesia.
“Kita punya tanggung jawab besar untuk tetap bermain 100% untuk negara meskipun sempat tidak dibayar. Karena saya punya tekad besar untuk membawa harum nama Indonesia,” kata Okto Maniani dalam sesi wawancara di kanal YouTube Sport77 Official.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sempat Dilarang Penuhi Panggilan Timnas
Okto Maniani menjelaskan, dia saat itu tetap nekat memenuhi panggilan Timnas Indonesia asuhan Nil Maizar yang mayoritas pemainnya berasal dari kompetisi IPL. Padahal, dia mendapat larangan dari Manajer Persiram, Henry Wairara.
Saat itu, Okto tak kehabisan akal. Setelah sempat mengiyakan larangan dari manajemen, dia justru mencuri kesempatan untuk ‘kabur’ ke Jakarta demi mengikuti pemusatan latihan Timnas Indonesia.
“Saya ingin meminta maaf kepada Bos Henry Wairara, ketika itu dia melarang saya untuk memenuhi panggilan tim nasional,” kata pemain yang bersinar di Piala AFF 2010 ini.
‘Kau tidak boleh berangkat!’ katanya saat itu. Saya pun menjawab, ‘Siap, Bos. Saya tidak berangkat’. Padahal besoknya saya sudah tiba di Jakarta,” kata Okto.
Advertisement
Ambil Risiko Demi Merah Putih
Pemain yang kini telah gantung sepatu itu mengatakan, keputusannya nekat memenuhi panggilan Timnas Indonesia saat itu memang dihantui risiko. Sebab, saat itu ada ancaman putus kontrak dari pihak klub.
Namun, pemain jebolan tim Papua di PON 2008 ini memutuskan untuk tetap mengambil risiko tersebut. Baginya, kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan. Itulah sebabnya, ia tetap memperkuat skuad Merah Putih di Piala AFF 2012.
“Bagi saya ini mengambil risiko karena hal ini berbicara soal kepentingan tim nasional. Kalau Ketua Umum terserah, mereka punya masalah internal ya silakan,” ujarnya.
“PSSI memang punya aturan. Namun, ketika Timnas harus bertanding, saya wajib untuk membela Timnas. Biarpun dari kubu mana pun, karena ini bicara soal Merah Putih,” lanjutnya.
“Hal ini bukan soal nama pemain, sebab ini bicara soal Merah Putih. Apalagi saat itu kami juga sudah terdaftar sebagai peserta Piala AFF 2012,” ujar peraih gelar MVP SEA Games 2011 ini.
Skuad Garuda Merana
Imbas dari berbagai dualisme yang sempat menjangkiti dunia sepak bola Indonesia saat itu memang paling dirasakan Timnas Indonesia. Mereka disebut tampil compang-camping di Piala AFF 2012.
Karena kehilangan banyak pemain andalannya, skuad Garuda pun merana. Bersaing dengan Singapura, Malaysia, dan Laos, di Grup B, anak asuh Nil Maizar gagal merebut tiket ke semifinal.
Timnas Indonesia saat itu tercatat bermain imbang 1-1 kontra Laos, lalu menang tipis 1-0 atas Singapura, sebelum akhirnya digulung Malaysia dua gol tanpa balas pada partai penentuan.
Alhasil, skuad Merah Putih hanya bisa menduduki peringkat ketiga klasemen akhir. Ini menjadi kegagalan kedua bagi Indonesia lolos ke fase grup setelah sempat mengalaminya pada Piala Tiger 2007.
Advertisement