Bola.com, Jakarta - Tegas, keras, dan disiplin. Tiga kata itu menggambarkan karakter Shin Tae-yong sebagai pelatih. Pria asal Korea Selatan itu sudah mengubah kultur Timnas Indonesia.
Program latihan Shin Tae-yong untuk Timnas Indonesia kerap terfokus terhadap fisik. Namun, ia tetap mengombinasikannya dengan pematangan taktik.
Baca Juga
Advertisement
Shin Tae-yong juga dikenal sebagai pelatih yang tidak pandang bulu. Dia tidak segan-segan untuk melakukan pencoretan jika ada pemain yang melanggar aturan atau bermasalah dengan attitude.
Beberapa pemain yang pernah menjadi korban ketegasan Shin Tae-yong di Timnas Indonesia antara lain Rifad Marasabessy, Osvaldo Haay, Nurhidayat Haris, Serdy Ephy Fano, Yudha Febrian, Saddil Ramdani, hingga Elkan Baggott.
Â
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Anatoli Polosin
Karakteristik Shin Tae-yong seperti 11-12 dengan gaya kepelatihan pelatih Timnas Indonesia di SEA Games 1991, Anatoli Polosin.
Polosin, pelatih bertangan besi asal Rusia, juga merevolusi tradisi Timnas Indonesia. Alih-alih sepak bola indah, pria kelahiran 30 Agustus 1935 ini lebih mengedepankan kekuatan fisik yang pernah diaplikasikan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, untuk timnas era 1970-an.
Saat masa persiapan menuju SEA Games 1991, Polosin menempa fisik Timnas Indonesia dengan keras. Selama tiga bulan, fisik seluruh pemain digenjot dengan materi latihan di luar batas kemampuan para pemain. Pemain sampai muntah-muntah dan kabur dari pemusatan latihan menjadi pemandangan lumrah kala itu.
Ketika itu, Polosin menilai Timnas Indonesia tidak bisa berbicara banyak karena kondisi fisik yang tidak memadai. Dia mengasahnya dengan metode Shadow Football. Satuan Tugas (Satgas) Pelatihan Nasional, Suntadi Djajalana, sempat mengaku ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras.
"Ketika itu, kami memang dipersiapkan jauh-jauh hari. Hampir tiga bulan. Ada sesi latihan selama tiga kali dalam sehari selama dua pekan kalah tidak salah. Sangat luar biasa. Waktu itu fisiknya sangat luar biasa. Maklum, pelatih dari Eropa Timur jadi mengandalkan fisik," kata penyerang Timnas Indonesia di SEA Games 1991, Widodo C. Putro kepada Bola.com.
"Waktu itu sepak bola memang mengandalkan power. Beda dengan sekarang. Selain power, ada taktikal dan kombinasi. Kalau dulu, yang penting bisa lari dan itu yang ditempa," ujar Widodo.
Kesaksian Kas Hartadi mirip dengan Widodo. Wingback Timnas Indonesia di SEA Games 1991 ini mengatakan, kunci keberhasilan timnya ada di kekuatan fisik. Para pemain seakan tak pernah lelah untuk berlari dan mengejar bola karena stamina yang memadai.
"Menurut saya, kami waktu itu dalam persiapan kerja keras sekali. Kalau fisik tak bagus, bisa keteteran sama Thailand di final, karena fisik bagus, kami bisa imbangi permainan Thailand dan kami lebih beruntung di babak adu penalti," tutur Kas Hartadi kepada Bola.com.
Tempaan keras yang diterapkan Polosin membawa dampak positif. Fisik pemain Timnas Indonesia mengalami peningkatan drastis. Pelatih yang tak mahir berbahasa Indonesia itu bisa membuat pemain berlari menempuh jarak 4 kilometer dalam waktu 15 menit. Standar VO2Max pemain pun sudah sesuai dengan pemain Eropa.
Latihan keras dan taktik yang diterapkan Polosin berbuah manis. Timnas Indonesia menjadi raja Asia Tenggara dengan catatan tak terkalahkan sepanjang SEA Games 1991.
Polosin yang didampingi Vladimir Urin dan Danurwindo itu membawa anak asuhnya mengalahkan Malaysia, Vietnam, Filipina, Singapura, dan menang adu penalti atas Thailand pada laga final. Beberapa pemain muda Timnas Indonesia saat itu juga tampil gemilang dan mencuri perhatian semodel Widodo C. Putro, Rochy Putiray, dan Sudirman.
"Saking capeknya, kami sampai malas mandi. Bahkan pemain seperti Fakhri Husaini hingga Jaya Hartono tidak kuat dan memilih mundur. Saat latihan dengan menaiki gunung, Kas Hartadi sampai menangis. Dia bilang bal-balan opo iki kok pake naik gunung segala," tutur Sudirman, mengenang Polosin.
Fakhri Husaini menjadi korban tangan dingin Polosin. Bersama Jaya Hartono, ia menyerah dengan meninggalkan pelatnas Timnas Indonesia untuk SEA Games 1991.
"Latihan berat sekali oleh Polosin dengan materi pemain terbaik. Belum pernah merasakan latihan sekeras itu. Saya masih ingat habis latihan fisik aerobic endurance di suatu bukit di dekat pemusatan latihan," kenang Fakhri Husaini dalam kanal YouTube Omah Bal-balan.
"Saya dapat teriakan dari Polosin, dengan usia saya yang masih muda dan kondisi capek, naluri memberontak keluar. Malamnya saya langsung pamit sama salah satu staf pelatih dan meninggalkan pemusatan latihan."
"Saya tidak pernah berpikir bakal kena sanksi atau bisa tidak main lagi di Timnas. Murni emosi sesaat, menyesal pasti. Danurwindo juga bilang bahwa sebenarnya pelatih marah itu adalah bagian dari latihan," imbuh Fakhri.
Advertisement
Wim Rijbergen
Pelatih asal Belanda, Wim Rijsbergen, yang sempat menukangi Tim Merah-Putih di Kualifikasi Piala Dunia 2014, juga doyan mencibir perilaku pemain yang tak disiplin.
Dalam wawancara dengan media Belanda, ia mengaku melatih Timnas Indonesia suatu mimpi buruk. Ia kurang suka dengan budaya tak disiplin anak asuhnya. Mereka diklaim sering terlambat datang latihan dan menyodorkan alasan yang tak jelas.
"Saat pertama kali saya melatih mereka, butuh empat hari sampai seluruh pemain lengkap. Yang satulah tantenya meninggal, yang satu lagi ini, yang sana menyampaikan alasan berbeda kenapa datang telat. Selalu ada sesuatu. Dan kalau saya berkomentar, mereka hanya berkata 'This is Indonesia,' lalu nyengir," kata Wim.
Karier Wim tak panjang di Timnas Indonesia. Sejumlah pemain sempat melakukan aksi boikot dilatih nakhoda yang menggantikan Alfred Riedl itu.
"Ia seringkali mengeluarkan kalimat kasar ke kami dengan menggunakan bahasa Inggris. Tidak pantas pelatih Timnas Indonesia berlaku seperti itu," cerita Firman Utina, pemain Timnas Indonesia saat itu yang cukup vokal dengan perilaku Wim Rijbergen.
Alfred Riedl
Mendiang Alfred Riedl merupakan pelatih Timnas Indonesia yang tak kalah tegas soal pencoretan pemain. Dalam penelusuran Bola.com, ada tiga pemain yang sempat dicoret oleh Riedl dari timnya karena masalah indisipliner. Titus Bonai, Vendry Mofu, dan Dominggus Fakdawer adalah tiga pemain yang harus menerima pencoretan tersebut.
Vendry Mofu adalah pemain yang pernah dicoret Alfred Riedl dalam seleksi Timnas Indonesia U-23 pada 15 Januari 2011. Riedl menegaskan pencoretan Mofu murni karena indisipliner.
Pemain yang saat itu memperkuat Semen Padang itu sudah bergabung dengan rekan-rekannya di Timnas Indonesia U-23 di Hotel Sultan Jakarta pada 14 Januari 2011. Namun, hingga latihan sore yang digelar pad 15 Januari 2011, batang hidungnya tak kunjung muncul sehingga Riedl tak membutuhkan waktu lebih lama untuk mencoretnya dari skuat.
"Satu pemain tidak muncul pada latihan pagi ini. Jadi saya coret dia karena masalah indisipliner. Dia keluar karena tidak muncul saat latihan dan sarapan pagi," ujar Riedl, 15 Januari 2011 sore.
Pemain lain yang pernah dicoret Alfred Riedl adalah Titus Bonai. Peristiwa ini terjadi hanya dua bulan setelah pelatih asal Austria itu mencoret Mofu dari tim yang sama.
Titus Bonai tidak terlihat dalam latihan pagi di kawasan Senayan. Sikap indisipliner tersebut membuat Riedl berang dan tegas menyatakan Tibo, sapaan akrab Titus Bonai, dicoret dari Timnas Indonesia U-23.
"Titus dicoret dari skuad karena tindakan indisipliner. Lihat saja dia tidak ikut latihan hari ini, jadi sudah 99 persen dicoret," tegas Riedl saat itu.
"Dua kali Titus meminum minuman keras, di Hong Kong dan Jakarta," ungkap Riedl yang mengindikasikan pencoretan didasarkan atas sikap tidak profesional yang diperlihatkan oleh Titus Bonai saat itu.
Sementara pemain ketiga adalah Dominggus Fakdawer yang dicoret dalam persiapan Timnas Indonesia ke Piala AFF 2016. Saat itu, Riedl mencoret tiga pemain, di mana Dominggus yang menjadi satu di antaranya dicoret karena masalah indisipliner.
"Setelah pulang dari Vietnam, kami melepas Septian David, Rizky Pellu yang masuk waiting list, dan Dominggus Fakdawer. Dominggus harus kami coret karena indisipliner," tegas Riedl pada 11 November 2016.
Namun, juru taktik asal Austria itu tidak memberikan detail soal tindakan indisipliner yang dilakukan Fakdawer. Bahkan pemain asal Papua itu pun belum mendapatkan satu kesempatan pun dari Riedl dalam laga uji coba yang dijalani Timnas Indonesia.
Alfred Riedl merupakan pelatih yang sukses mengantar Timnas Indonesia mencapai final Piala AFF dalam dua edisi berbeda, yaitu pada 2010 dan 2016. Ia merupakan satu di antara pelatih terbaik yang pernah menangani Tim Garuda hingga saat ini.
Advertisement
Ivan Kolev
Ivan Kolev juga dikenal sebagai pelatih yang tegas. Ketika menangani Timnas Indonesia pada 2007, arsitek asal Bulgaria itu pernah mencoret Zaenal Arief di Piala Asia tahun yang sama.
Ivan Kolev mengeluarkan Zaenal Arief dari Timnas Indonesia karena alasan indispliner, yang belakangan diungkap karena melewati jam malam yang telah ditetapkan.
"Saya belum pernah sedikitpun, senakal-nakalnya saya tetap menjaga kondisi badan. Kalau pulang malam, bisa ditolerir, jalan-jalan dengan teman. Memang waktu itu di Timnas Indonesia bukan kabur," kata Zaenal Arif.
"Kebetulan tidak ada di kamar, sampai di hotel lebih dari pukul 23.00 WIB lebih. Pukul 10.00 WIB memang harus di kamar. Saya sekamar dengan Achmad Jufriyanto yang masih sangat muda kala itu".
"Saya akui, saya indisipliner tapi jam batas malam. Tapi kalau menyebut saya kabur, saya menolak Timnas Indonesia, tidak nasionalis, itu perlu diluruskan," tegas eks pemain Persita Tangerang dan Persib Bandung itu.
Benny Dollo
Benny Dollo pernah dua kali melatih Timnas Indonesia pada 2000-2001 dan 2008-2020. Dia populer sebagai nakhoda yang keras dan blak-blakan.
Bambang Pamungkas, mantan anak buah Benny Dollo di Timnas Indonesia, coba mengenang mantan arsitek Arema FC, Persita Tangerang, hingga Persija Jakarta tersebut.
Ada obrolan via telepon yang tak bisa ia lupakan saat itu. Dalam obrolan itu, Bepe mengungkapkan bahwa Benny Dolo adalah sosok yang apa adanya. Benny kerap mengeluarkan kalimat yang cenderung menyakitkan, tetapi kalimat itu memang benar adanya.
"Beng, tidak ada satu pun pelatih yang mau timnya kalah. Jadi, setiap pelatih tim nasional pasti akan panggil pemain terbaik dari yang tersedia di negara ini," begitu tulis Bepe menirukan apa yang diucapkan Benny Dollo saat memanggilnya ke skuad Timnas Indonesia.
"Dan terbaik itu menurut gua, sesuai kebutuhan skema yang mau gua pake, bukan menurut orang-orang yang banyak bac*t itu."
"Lo emang lagi busuk, tapi gua butuh lo. Jadi, sampai ketemu besok malam di Hotel Santika," lanjutnya.
Advertisement
Peter Withe
Piala AFF 2007 menjadi cerita memalukan buat Timnas Indonesia. Bagaimana tidak, Tim Merah-Putih untuk pertama kali gagal lolos ke semifinal alias terhenti di fase penyisihan grup pada turnamen sepak bola terbesar di Asia Tenggara ini.
Padahal, asa mengangkat trofi juara untuk kali pertama begitu tinggi. Dalam lima penyelenggaraan terakhir, Indonesia selalu berhasil melaju ke semifinal.
Bahkan dalam tiga edisi terakhir sebelum Piala AFF 2007, Indonesia tidak pernah absen di partai final dan mengakhiri turnamen dengan status runner-up secara beruntun.
Dengan latar belakang tersebut, Ketua PSSI kala itu, Nurdin Halid, langsung memberi target juara kepada Peter Withe sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia di Piala AFF 2007.
"Kalau Peter Withe gagal, posisinya langsung dievaluasi. Intinya, pokoknya Indonesia harus juara Piala AFF!" ucap Nurdin Halid ketika itu.
Pernyataan Nurdin tersebut didasari kegelisahannya melihat performa Timnas Indonesia jelang penyelenggaraan turnamen. Sihir Peter dinilai tak sedasyat tahun pertama kedatangannya.
Secara khusus, keinginan memenangi Piala AFF 2007 makin tinggi setelah kegagalan di turnamen Merdeka Cup di Malaysia pada Agustus 2006 dan BV Cup yang digelar di Vietnam pada November 2006.
Pemilihan pemain yang dilakukan Peter terkesan subjektif. Banyak pemain bagus yang tak dipanggil.
Peter bahkan sempat bersitegang dengan Boaz Solossa, bintang utama Piala AFF 2004. Sang pemain mendadak menghilang dari skuad inti Timnas Indonesia. Saat ditanya alasan kenapa tidak memanggil Boaz, Peter beralasan bahwa "Boaz pemain yang tidak disiplin."
Boaz beberapa kali mangkir memenuhi panggilan pelatnas. Bocorannya, hal itu karena ia kesal abangnya, Ortizan Solossa, tak masuk skuad Merah-Putih.
Tak hanya relasi dengan Boaz yang disorot. Peter dinilai menyia-nyiakan bakat Bambang Pamungkas. Pemain yang saat itu kinclong bersama klub Malaysia, Selangor FA, hampir tak pernah dipanggil Timnas Indonesia. Namanya baru muncul, setelah petinggi PSSI melakukan intervensi.
Benar saja, riak-riak konflik internal membuat langkah Timnas Indonesia di Piala AFF tertatih-tatih.
Pada Piala AFF 2007, Timnas Indonesia bak dinaungi kesialan. Pasalnya, Skuad Garuda tersingkir di babak penyisihan setelah kalah bersaing dengan Timnas Singapura dan Timnas Vietnam.