Bola.com, Hanoi - Pelatih Timnas Vietnam, Philippe Troussier, menyinggu nama manajer Manchester City, Pep Guardiola dan manajer Manchester United (MU), Erik ten Hag, menjelang melawan Timnas Indonesia.
Vietnam akan berhadapan dua kali dengan Timnas Indonesia dalam lanjutan putaran kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia Grup F.
Advertisement
Tim berjulukan Golden Star Warriors itu bakal lebih dulu menantang Timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta Pusat, pada 21 Maret 2024.
Lima hari berselang, giliran Vietnam yang meladeni perlawanan Timnas Indonesia di Stadion Nasional My Dinh, Hanoi.
-
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Contoh Pelatih Lainnya
Dalam wawancaranya dengan media Jepang, Bunshun, yang dikutip oleh banyak media Vietnam, termasuk Dantri, Troussier buka-bukaan dengan kondisi sepak bola Golden Star Warriors.
"Tidak hanya di Jepang, tetapi banyak di tempat lain. Orang tidak memahami sepak bola tim dengan baik," ujar Troussier dinukil dari Dantri.
Selain Guardiola dan Ten Hag, Troussier memberikan contoh sejumlah pelatih yang mempunyai filosofi sepak bola kolektif seperti manajer Brighton & Hove Albion, Roberto De Zerbi, manajer Tottenham Hotspur, Ange Postecoglou, dan pelatih Inter Milan, Simone Inzaghi.
Advertisement
Ungkapan Philippe Troussier
"Selain itu, ada pelatih yang mementingkan membangun tim dari aspek psikologis seperti Jurgen Klopp di Liverpool atau Hajime Moriyasu di Timnas Jepang. Mereka adalah tipe pelatih yang menghargai individu ketimbang tim," tutur Troussier.
"Di Vietnam, hal ini tidak dipahami dengan baik. Sepak bola diyakini dapat membuat perbedaan melalui upaya individu. Ketika tim kalah, orang-orang akan mengkritik 'mengapa pemainnya tidak bermain bagus? atau mengapa pemain lain bermain sangat buruk?'."
"Tentu saja fans dan media bukanlah anggota tim jadi wajar jika mereka bereaksi seperti itu. Di dalam tim dan di luar tim ada dua dunia yang berbeda. Oleh karena itu, sulit bagi media untuk memahami kolektivitas dan disiplin," jelas Troussier.
Sepak Bola Kolektif
"Misalnya, pelatih PSG, Luis Enrique, mendapatkan kritikan keras. Dia membangun gaya permainan berbasis tim dan PSG menciptakan selisih 10 poin dengan tim peringkat kedua. Namun, saya tidak mengerti mengapa masyarakat masih merasa tidak puas," kata Troussier.
"Memang benar bahwa aspek kolektif sulit diterima oleh media. Sebab, mereka ingin para pemainnya bersinar sebagai individu, bukan sebagai tim. Meningkatnya pengaruh jejaring sosial membuat pekerjaan pelatih semakin sulit."
"Saya berbeda. Anda tahu cara saya bekerja. Saya selalu berusaha mengarahkan tim ke arah kolektif. Bagi saya, kerja kolektif jauh lebih penting daripada nilai masing-masing pemain," ungkap pria asal Prancis ini.
Sumber: Bunshun, Dantri
Advertisement