Bola.com, Jakarta - Nama Asnawi Mangkualam Bahar tak bisa lepas dari skuat Timnas Indonesia. Pemain Port FC, Thailand itu sudah membela negara sejak di kategori kelompok usia, hingga menjabat sebagai kapten di timnas senior.
Namun, berada di Timnas Indonesia dalam waktu yang lama tidak mudah. Butuh kerja ekstra keras untuk menjaga performa agar tetap stabil. eperti yang disampaikan Asnawi dalam sebuah wawancara di kanal youtube pemain naturalisasi, Marc Klok.
Baca Juga
Advertisement
“Saya mungkin bisa pemain besar. Tapi untuk bertahan di timnas Indonesia bukan hal yang mudah,” katanya.
Bisa dibilang sejak usia 10 tahun, Asnawi Mangkualam sudah mewakili Indonesia. Dia pernah ke Madrid, Spanyol bermain di ajang Danone Cup pada 2011. Waktu itu, Asnawi bermain untuk SSB Hasanuddin yang jadi pemenang Danone Cup di Indonesia.
“Usia saya masih 10 tahun waktu itu. Main di Santiago Bernabue, Madrid. Pengalaman pertama di turnamen besar. Itu seperti Piala Dunia U-12. Tidak ada target, karena masih kecil hanya berfikir untuk liburan,” kenangnya.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Peran Orang Tua
Tapi justru dari ajang itu, bakatnya terus berkembang. Tentu tak lepas dari peran sang ayah, Bahar Muharram. Karena ayahnya merupakan mantan pesepakbola profesional yang terjun di dunia kepelatihan. Dia menggembleng Asnawi sejak kecil.
“Saya bertahan sejak kelompok usia hingga sekarang. Karena ayah selalu berkata, selalu bantu memberi motivasi. Sering saya dibilang main jelek, kurang begini, harusnya begitu. Tapi itu jadi motivasi dan membuat saya berkembang,” tegasnya.
Sang ayah bisa dibilang sangat keras kepada Asnawi. Apalagi saat keduanya sama-sama berada di PSM. Asnawi sebagai pemain, dan ayahnya asisten pelatih. Ketika Asnawi bermain buruk, dia mengaku tidak berani pulang. Karena ayahnya tidak mengijinkan dia untuk masuk ke rumah.
“Kalau saya tidak main bagus, takut pulang ke rumah. Pasti ayah menunggu didepan rumah. Gak boleh masuk ke dalam. Tetap di luar pintu. Itu terjadi berkali-kali. Itu terjadi waktu main di PSM musim 2017. Karena itu, kalau sedang main tidak bagus, saya memilih tetap di mess,” katanya.
Ketika Asnawi membela timnas atau bermain di Korea Selatan, ayahnya punya cara lain untuk mendidiknya. Setelah pertandingan, Ayahnya selalu menelpon.
“Selalu telepon setelah pertandingan. Tanya kenapa saya main seperti ini dan itu. Kadang, saya jawab besok saja teleponnya. Karena setelah pertandingan kalau sedang main tidak bagus, pasti tambah stres,” imbuhnya lalu tertawa.
Advertisement
Hadapi Para Haters
Membela Timnas Indonesia memang membanggakan. Tapi dibalik itu, ada sebuah ujian mental tersendiri bagi pemain. Jika tampil buruk, serangan netizen di media sosial bakal dirasakan. Asnawi yang selalu memperlihatkan totalitas di lapangan juga tak luput dari serangan itu.
“Waktu itu saya main untuk Timnas Indonesia U-23. Masuk sebagai pengganti sekitar menit 50. Saya dapat kartu merah dan Indonesia kalah 0-3 lawan Malaysia. Saat masuk ruang ganti, saya lihat ponsel. Sangat banyak pesan masuk, dan semua isinya hate atau ujaran kebencian. Saya menangi di ruang ganti. Mungkin waktu itu usia saya 20 tahun,” kenangnya.
Pesan Penting
Waktu itu, Asnawi merasa sedih melihat komentar yang menyakiti hatinya. Ketika pulang ke rumah di Makassar, Asnawi harus berhadapan dengan ayahnya yang kerap memberi masukan.
"Saya bermain di U-23 saya bermain bangku cadangan. Saya main menit 50 dan babak kedua. Saya dapat kartu merah dan kalah 0-3 lawan malaysia. Saya masuk ruang ganti dan melihat ponsel, sangat banyak pesan masuk semua kebencian, haters."
"Saya menangis di ruang ganti. Karena saya masih 20 tahun saya gabung U-23, dengan evan dimas dll, waktu itu luis milla. Saya ke rumah dan bapak memanggilku. Pertama dia tidak marah, dia seperti mengerti. Memberikan motivasi. Jangan khawartir, ini sepakbola. Jika kamu dengar orang orang kamu tidak bisa main kedepan. Kritikan itu harus didengar sekaligus belajar untuk meningkatkan kualitas,” tegas Asnawi.
Kini, Asnawi sudah kuat mental menghadapi kritikan netizen di media sosial. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.
“Saya selalu pegang kata-kata ayah. Caranya, harus tambah latihan agar bisa main bagus di pertandingan. Karena saat main bagus, netizen tidak banyak bicara. Itu cara saya untuk memberi bukti,” tegasnya.
Sumber: Youtube Marc Klok
Advertisement