Bola.com, Jakarta - Periode 2007 hingga 2012 bisa dikatakan sebagai salah satu periode keemasan bagi Sriwijaya FC. Elang Andalas meraih banyak trofi pada periode tersebut.
Hal itu dirasa wajar, sebab saat itu Sriwijaya FC diperkuat banyak sekali pemain bintang. Satu di antaranya adalah Keith Kayamba Gumbs.
Advertisement
Keith Kayamba Gumbs datang ke Sriwijaya FC pada 2007. Saat itu banyak keraguan yang menyertai kehadiran Gumbs. Sebab, pemain yang berposisi sebagai striker itu sudah berusia 37 tahun.
Namun, Keith Kayamba Gumbs mampu membuktikan kualitasnya. Gumbs mampu memberikan tujuh trofi juara untuk Sriwijaya FC.
Belum lama ini Bola.com berkesempatan melakukan wawancara secara eksklusif dengan Keith Kayamba Gumbs. Berikut hasil lengkap wawancara kami.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kabar Terkini
Bagaimana kabar terkini Anda, sekarang kesibukannya apa?
Sudah sebelas tahun saya tinggal di sini, setelah pensiun saya di Sydney. Saya di sini selain menjadi pelatih pribadi dari pemain sepak bola, saya kerja di sini dengan anak-anak yang punya masalah dengan pelecehan seksual domestik dan trauma, mereka punya banyak trauma dari rumah sendiri. Orang tuanya punya masalah, terlalu banyak minum minuman keras. Saya mendukung anak-anak ini dengan menjadi mentor. Saya mengajar mereka keterampilan hidup. Saya sudah lama menjalani pekerjaan itu, sejak awal COVID-19.
Dari pesepakbola dan pelatih, kenapa tiba-tiba bisa banting setir ke lembaga sosial?
Saya awalnya adalah pesepakbola dan pelatih tapi waktu COVID-19 itu susah untuk dijalankan. Jadi saya mengubah karier. Saya belajar bagaimana menjadi mentor dan belajar soal psikologi. Banyak di sini, di dunia juga banyak.
Saya orang yang sangat ramah dan saya merasa sedih ketika melihat anak-anak yang punya masalah seperti itu. Saat saya kecil, saya juga memiliki pengalaman yang mirip. Saya dulu sendirian di rumah, jadi saya mau bantu mereka. Saya tidak mau apa yang saya alami itu dialami oleh anak-anak saya sekarang.
Advertisement
Reuni Sriwijaya FC
Belum lama ini ada reuni dari Sriwijaya FC angkatan 2007 dan 2012. Bisa diceritakan soal reuni itu?
Saya tahu susah untuk bisa mengumpulkan kami semua. Saya pikir itu bukan politik. Mereka bikin itu untuk merayakan hal yang kita raih bersama-sama dari 2007 sampai 2012. Kita tetap kontak semua pemain Sriwijaya FC. Sudah seperti keluarga besar.
Beruntung ada orang yang mau bikin acara seperti itu. Saya pikir acara seperti itu harus dibuat bukan hanya Sriwijaya FC tapi juga tim-tim yang lain. Sebab, itu bagus untuk mental kita semua.
Setelah sekian lama, bagaimana rasanya kembali bermain di Jakabaring yang penuh dengan suporter?
Saya sangat senang bisa menjadi bagian dari Sriwijaya yang berkumpul kemarin. Kalau saya bicara lagi kita tetap kontak, tapi bisa ketemu langsung itu membuat saya senang sekali, bisa ketemu di lapangan di hotel. Sama seperti kita bermain di Liga lagi. Saya pikir waktunya kurang lama itu di sana.
Sambutan fans luar biasa, kelihatan sekali fans Sriwijaya mereka sangat rindu sama kita semua. Saya menghargai itu, saya beruntung bisa bikin mereka merasa seperti itu.
Awal Cerita di Indonesia
Anda berpengalaman di banyak negara Eropa dan Asia. Lalu apa yang membuat anda datang ke Indonesia pada 2007?
Bukan saya yang pilih Indonesia, sepak bola itu universal. Pintu saya selalu terbuka main di mana saja. Saya di Hong Kong ketemu dengan Francis Yonga dia sudah meninggal, semoga jiwanya tenang di sana. Dia ke Hong Kong saat itu, dia tidak masuk. Dia bilang sama saya, 'kami mau ke Indonesia buat main di Arema'. Saya bilang mungkin, karena Kitchee sukses juga, saya waktu itu jadi kapten dan kita menjadi juara beberapa kali di sana. Saya lihat beberapa video pertandingan di Indonesia waktu itu, saya bilang sepak bola Indonesia tidak terlalu profesional.
Saya kasih dia CD highlight video saya, CD itu dibawa Yonga ke Indonesia. Arema mau saya ke sana tapi mereka mau kontrak enam bulan saja, saya di sana disuruh tes dulu. Saya tidak mau, saya tidak mau tes. Saya suruh mereka untuk lihat CD dan CV saya, saya mau tanda tangan kontrak langsung atau saya tetap di Hong Kong.
Lalu kenapa tiba-tiba ada Sriwijaya FC?
Manajemen Arema kemudian sepakat dengan permintaan saya. Ternyata Yonga kasih video saya ke Pak Rahmad Darmawan. Sebenarnya Pak Rahmad cari gelandang serang. Setelah lihat video saya, dia langsung mau datangkan saya, dia tidak mau lagi cari gelandang. Yonga kemudian langsung menghubungi saya. Sriwijaya FC mau kontrak saya satu setengah musim, langsung saya terima.
Sriwijaya saat itu ada di posisi empat atau lima di klasemen ketika saya datang. Itu semua menjadi sejarah. Waktu saya datang beberapa manajemen di SFC tidak terlalu yakin dengan saya. Mereka bilang saya terlalu tua, tapi mereka tidak tahu fisik dan penampilan saya. Mereka bicara saja, suporter juga begitu.
Saya kemudian datang ke Indonesia untuk tanda tangan kontrak dengan Sriwijaya FC. Awalnya saya hanya berencana datang untuk tanda tangan kontrak saja terus berlibur sejenak sebelum benar-benar bermain karena saya baru selesai kompetisi di Hong Kong. Dari saya datang, saya langsung mau latihan, saya ingin fans lihat saya langsung saat latihan.
Saya akan buktikan di sesi latihan. Saya latihan fans banyak yang wow, wow, wow, merek kagaet. Orang yang 37 tahun bisa lari secepat itu, bisa melompat, bisa menembak seperti itu. Jadi saya setelah latihan dan setelah liburan lalu mulai kompetisi saya bisa cetak 17 gol dalam 22 pertandingan. Mereka sampai sekarang tidak percaya. Saya tidak mau bicara saja, saya mau ucapkan terima kasih kepada Pak Rahmad yang percaya saya dan percaya dengan dirinya sendiri. Dia tahu pemain bagus itu seperti apa.
Advertisement
Kesan dengan Sepak Bola Indonesia
Ada dua gelar Liga dan dua gelar Copa yang anda raih bersama Sriwijaya FC. Mana yang terasa paling spesial?
Pada 2007 kita dapat Liga dan Copa. Sriwijaya jadi tim pertama yang mampu melakukan itu, itu menjadi sejarah di Indonesia. Saya bangga bisa bagian dari tim itu. Dan Copa bisa dapat tiga kali beruntun, siapa yang bisa melakukan itu sekarang? saya pikir belum ada. Saya pikir keduanya sama-sama spesial.
Kondisi sepak bola Indonesia dulu seperti apa?
Sekarang saya pikir fasilitas di sepak bola Indonesia lebih baik, bahkan sama seperti di Eropa. Waktu saya main di sini, beberapa stadion bagus, tapi banyak juga yang buruk.
Sekarang pemain asing bisa negosiasi kontrak lebih besar, yang saya dengar seperti itu. Waktu saya bermain, kualitas pemainnya bagus tapi kontraknya tidak sebaik sekarang. Banyak pemain sekarang stay di klub hanya lima bulan, mereka bisa pindah karena tidak sesuai dengan harapan klub atau suporter.
Fisik pemain dulu juga sangat tidak terjaga. Saya dulu lihat, pemain selalu cedera, main beberapa kali lalu cedera. Makanan tidak terjaga, di luar malam-malam minuman keras, banyak cewek di mana-mana. Hanya sedikit pemain bisa melakukan semua itu tapi bisa tetap punya kondisi di atas rata-rata.
Saya tahu bagaimana cara menjaga diri dan saya senang bisa menjadi contoh pemain lain. Siapa saja, tapi itu badan saya. Saya harus menjaga badan saya, karena kalau saya tidak menjaga badan saya, bagaimana saya bisa bermain selama ini. Bisa lebih dari 40 tahun di liga profesional. Saya harus jaga makanan, kondisi, istirahat lebih panjang dari orang lain. Kerja keras juga di lapangan.
Anda pernah memperkuat Sriwijaya FC, Arema Cronus, dan Barito Putera. Ada pengalaman menarik dengan suporter?
Di mana pun saya berada di Indonesia saya sangat respect dan apresiasi fans. Di Indonesia spesial karena mereka suka pemain bola yang kerja keras dan yang jujur dan main dengan hati untuk klub yang dibela. Saya suka hal itu. Saya tidak punya masalah dengan suporter di Indonesia. Suporter dimana-mana sangat ramah dan respect sama saya.
Selebrasi Ikonik
Selain tajam mencetak gol, Keith Kayamba Gumbs juga dikenal dengan banyak selebrasi unik. Misalnya ada handstand, jalan dengan tangan, dan banyak lagi yang lain. Di usia sekarang yang sudah 51 tahun, masih bisa handstand?
Saya masih bisa salto, saya bisa handstand, masih bisa jalan tangan, masih bisa semua. Saya sangat apresiasi bisa bermain di Indonesia. Indonesia memiliki banyak pengalaman, kadang-kadang pahit, kadang manis, tapi tidak papa. Banyak kenangan yang tertinggal di sana.
Selama bermain di Indonesia, adakah pemain belakang yang paling sulit anda lewati?
Mungkin pertama Bio Paulin, dia selalu tarik saya, meski saya tidak kemana-mana. Dia pegang tangan saya, dia selalu melakukan kontak dengan saya. Bukan dia mau cederai saya, dia hanya mau jaga saya. Pemain belakang memang seperti itu ketika jaga pemain terbaik.
Yang kedua mungkin Hamka Hamzah, dia juga pemain belakang yang bagus.
Advertisement
Kondisi Sriwijaya FC Sekarang
Sriwijaya FC pernah mendominasi sepak bola Indonesia. Namun, sejak 2019, mereka harus bermain di Liga 2. Apa pendapat anda soal itu?
Saya sangat sedih sekarang Sriwijaya di Liga 2 dan belum bisa naik ke Liga 1. Saya sebagai salah satu mantan pemain yang pernah main di sana tentu saya sedih. Sriwijaya adalah tim besar di Indonesia.
Saya pikir banyak hal yang harus dipertimbangkan maupun uangnya perusahaan yang mau masuk, sponsor atau apa, manajemen, pemain yang tidak bagus, atau pelatih. Itu semua harus dipertimbangkan.
Kalau menurut saya pemain di era saya itu benar-benar mau main sepak bola, kami seperti keluarga. Kami banyak bicara diskusi, dan main saja. Sekarang saya tidak tahu bagaimana.
Saya pikir manajemen juga harus berubah, mereka harus datangkan pemain yang kerja keras yang serius mau bawa Sriwijaya ke kasta tertinggi. Bukan bawa pemain karena dekat dengan pelatih atau agen. Pemain yang datang harus berkualitas meski mereka kini ada di Liga 2.Â