Bola.com, Jakarta - Dari bola turun ke bola, kehidupan Bayu Gatra memang tak bisa lepas dari sepak bola. Bisa dibilang, ia manusia setengah bola. Tiada hari tanpa bola.
Dari kecil, pemain andalan Madura United ini sudah bersentuhan dengan si kulit bundar. Lingkungan juga termasuk mendukung, pun orang-orang di sekitarnya.
Advertisement
"Bapak saya pemain bola, tapi tarkam. Saya juga punya kakak sepupu mantan pemain bola Persiba Balikpapan, Persijap, Bontang FC. Terus adik sepupu, Rizky Dwi bermain di Borneo FC. Jadi dari lingkungan, kita memang keluarga bola," kata Bayu Gatra via kanal YouTube Bicara Bola besutan Akmal Marhali.
Ternyata, kelahiran Jember, 11 November 1991, sama sekali tak ditempa di sekolah sepak bola (SSB) atau akademi pemain muda.
"Di desa saya, Jember, susah banget mencari sekolah sepak bola. Tidak seperti anak-anak sekarang ada SSB dan akademi. Saya otodidak. Jadi sama papa diberi bola plastik. Jadi harus benar-benar mandiri".
Meski pernah memperkuat klub lain, Madura United mendapat tempat spesial di hati pemain Timnas Indonesia ini. Sebelumnya, di periode pertama, dari 2016 hingga 2018, Bayu Gatra bagian dari skuad Laskar Sape Kerrab.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Terkesan karena Adat
Menurut Bayu Gatra ia terkesan dengan Madura United karena adat, cara bicara, dan sosok sesorang yang sangat ia hormati yakni Achsanul Qosasi, Presiden Madura United.
"Beliau yang membuat saya terus berinspirasi untuk tetap di Madura United," ujar Bayu Gatra yang kembali ke Madura United sejak 2021 usai memperkuat PSM Makassar.
Uniknya, meski lahir di Jember dan punya darah Madura, tapi Bayu Gatra justru mengawali karier usia muda bersama Persisam Samarinda U-21. Kok bisa?
"Jadi ceritanya begini, saya seleksi PON Jawa Timur tahun 2008 di Sidoarjo. Yang seleksi sekitar 400 pemain. Yang diambil cuma 40 orang. Terus TC di Madiun. Dari TC, dipilih lagi jadi 25 pemain. Nggak tahunya ada Pak Haji Harbiansyah Hanafiah (Dirut Persisam) nonton dan tertarik dengan anak-anak PON yang lagi TC. Terus diambil semua ke Kaltim dan disuruh ikut Persisam U-21".
Advertisement
Spesialis Runner-up
Disinggung soal statusnya yang spesialis runner up, Bayu Gatra hanya tersenyum. Ketika memperkuat Persisam U-21 finis di posisi kedua, musim lalu bersama Madura United juga begitu, dan di SEA Games 2013 juga gagal di final, kemudia Piala AFF 2016 juga runner up.
"Sebenarnya sih nggak enak. Mungkin rezeki saya sudah di situ. Yang jelas kita sudah bermain maksimal, ya buat klub ya buat negara. Hasil akhir belum berpihak kepada saya".
Selain orang tua dan Achsanul Qosasi, ada satu lagi yang berjasa di balik karier Bayu Gatra. Ia adalah legenda Indonesia yang juga pelatih kenamaan, Rudi Keltjes.
"Dia sangat berjasa sekali buat saya. Sampai detik ini kalau saya ada masalah tentang permainan, pasti saya telepon opa Rudi. Dia sangat berperan penting dalam karier saya maju, termasuk ketika saya cedera. Namanya orang cedera tidah mudah. Jadi saya pengalaman".
"Opa Rudi bilang saya begini,'kamu takut kalau begini. Harus diubah cara mainmu. Saya bilang, bagaimana opa caranya?'
Masih Terus Berjuang
Rudi Keltjes lalu menyuruh Bayu Gatra, yang saat cedera parah masih di Persisam U-21, berlatih tiga kali sehari.
"Pagi sama klub, siang sama opa Rudi berdua, dan sore bersama tim Persisam U-21. Saya dilatih lagi skill dan ketenangan. Soalnya kalau skill dan ketenangan sudah bagus, rasa trauma hilang. Akhirnya di tahun 2012 itu saya sudah bisa bermain ke tim senior Persisam".
Bicara Bayu Gatra memang tak ada habisnya. Kisahnya, baik suka maupun duku, setidaknya menjadi inspirasi bagi banyak penerusnya. Dan Bayu Gatra masih terus berjuang bersama Madura United atau mungkin juga bersama Timnas Indonesia jika tenaganya masih dibutuhkan.
Â
Advertisement