Bola.com, Jakarta - Persija Jakarta tepat berusia ke-96 tahun pada Kamis (28/11/2021). Tim berjulukan Macan Kemayoran itu masih tercatat sebagai klub tersukses di Indonesia.
Selain karena faktor jumlah trofi Liga Indonesia di lemari, tim kebanggaan The Jakmania itu juga tidak pernah turun dari kasta teratas.
Baca Juga
Advertisement
Persija Jakarta berhasil 11 kali menjadi yang terbaik di Liga Indonesia, masing-masing pada 1931, 1933, 1934, 1938, 1953/1954, 1964, 1971/1973, 1973/1975, 1978/1979, 2001, dan 2018.
Macan Kemayoran lahir pada 28 November 1928 dengan nama Voetbalbond Boemipoetera (VBB). Identitas tim lalu berganti setahun berselang menjadi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ).
Nama Persija baru digunakan pada 1942. Identitas itu tidak berubah hingga sekarang.
Sejak dulu, Persija telah terbiasa nomaden. Markas Macan Kemayoran kerap berpindah-pindah. Mulai dari Lapangan Petojo, Lapangan Ikada, Stadion Menteng, Stadion Lebak Bulus hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Selama 96Â tahun berdiri, bergelimang cerita mewarnai perjalanan Persija Jakarta hingga kini. Berikut beberapa di antaranya:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Berawal dari Merah
Ketika lahir, Persija Jakarta memakai identitas merah dan putih. Sejarah mencatat klub ibu kota tersebut meraih kejayaan dengan penggunaan identitas warna-warna tersebut.
Surat kabar Pemandangan pada 1934 pernah menulis arti dari warna merah dan putih tersebut. "Merah adalah kekoeatan dan Poetih adalah kehaloesan." Pemilihan warna ini tepat untuk menggambarkan perjuangan yang diusung VIJ pada saat itu.
Merah adalah lambang perlawanan dan kekuatan, sedangkan putih adalah lambang kehalusan dan bisa juga berarti suci. Pada era itu pula, VIJ adalah corong dari perlawanan bangsa Indonesia melalui sepak bola. Dua warna itu berpadu dalam seragam VIJ, mewakili semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda lewat jalur sepak bola.
Bond (klub perserikatan) yang lahir dari konsep dua pendirinya, Allie dan Soeri, itu memang mewakili cita rasa Indonesia. Bermarkas di Jakarta, Persija tidak hanya milik masyarakat Betawi, tapi masyarakat lintas suku yang menetap di ibu kota negara.
Penggambaran merah dan putih di VIJ juga menjadi cerminan Indonesia secara kecil. Di tubuh VIJ bercokol tokoh-tokoh besar negeri ini.
Mohammad Husni Thamrin menjadi pelindung perkumpulan sepak bola ini. Selain itu hadir pula tokoh penting BPUPKI, Dr. Koesoemah Atmadja, sebagai Ketua Umum VIJ yang kedua. Kehadiran Dr. Moewardi dan Dr. A. Halim juga turut menjadikan VIJ sebagai tempat berkumpulnya para tokoh besar bangsa ini yang siap berjuang memerdekakan Indonesia dari jalur sepak bola.
Bahkan, setelah Indonesia merdeka terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, warna merah dan putih tetap dipertahankan walau VIJ sudah berganti nama menjadi Persija, yang lebih kental dengan cita rasa Indonesia.
Sementara di bawah pimpinan Jusuf Jahja, Persija masih tetap sama seperti dulu yang menjadi pusat bertemunya pemain dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia.
"Warna Merah-Putih mempertegas Persija sebagai sebuah klub pemersatu. Perserikatan yang satu ini dimotori klub-klub internal berwarna warni dari berbagai suku. Keberagaman terangkum dalam warna yang mewakili ke-bhineka tunggal ika-an," tutur Binner Tobing, pentolan klub PS Mahasiswa, satu di antara klub anggota Persija.
Advertisement
Digantikan Oranye
Persija Jakarta dengan warna khas warna merah dan putih mengalami masa-masa sulit pada periode 1980-an sampai awal 1990-an.
Tim Macan Kemayoran sempat hampir degradasi dari kompetisi elite perserikatan pada 1985-1986. Beruntung Persija lolos dari kemelut, setelah sukses jadi jawara play-off promosi degradasi di Cirebon pada awal 1986. Momen kelam itu tak akan pernah terlupakan hingga kini.
Uniknya walau kering prestasi Persija tetap subur melahirkan pemain-pemain top di era tersebut. Patar Tambunan, Adityo Darmadi, Tiastono Taufik, Rahmad Darmawan, Noah Meriem, Tony Tanamal, adalah pemain-pemain binaan Persija yang kerap dipanggil membela Timnas Indonesia. Kondisi internal organisasi membuat Persija kesulitan mencetak prestasi.
Penggabungan kompetisi perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an tak membuat penampilan Persija membaik. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.
Problem pendanaan membuat Persija kesulitan membangun tim bertabur bintang. Persija perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya.
Momen penting terjadi pada 1996, saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta, nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur berdarah Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.
Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.
Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub pengganti Persija. Ia berpandangan warna Jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.
Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia yang juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat timnas Indonesia.
Oranye lekat dengan timnas Belanda, negara yang ada di level elite di jagat sepak bola internasional. Gaya permainan menyerang De Oranje amat dikagumi Sutiyoso.
"Saya ingin Persija bermain total football layaknya timnas Belanda yang enak untuk ditonton," ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan Bola.com.
Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.
Klub yang pada awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub yang mudah kalah.
Ide mengubah identitas klub berjalan mulus karena klub-klub anggota cenderung menurut dengan titah Bang Yos yang berstatus sebagai pembina klub. Sang pemimpin jadi sandaran terakhir mereka untuk mengangkat Persija yang terhuyung karena krisis keuangan akut.
Lahirnya kelompok suporter The Jakmania membuat sosialisasi perubahan warna kebanggaan klub mulus. Jumlah anggota Jakmania yang terus bertambah meningkatkan popularitas warna Oranye.
Suporter tim ibu kota tampil dengan ciri khas atribut warna Oranye saat memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. "Warna merah sudah menjadi bagian dari sejarah masa lampau. Saat ini Persija adalah oranye," tegas Ferry Indrasjarief, salah satu pendiri Jakmania yang juga Ketua Umum Jakmania.
Gelar juara LI 2001 menegaskan Persija baru citra rasa Jingga.
"Sebuah kebanggaan bagi saya menjadi bagian dari klub ini saat Persija. Momen final Liga Indonesia 2001 jadi salah satu kenangan indah yang tidak bisa saya lupakan sebagai seorang pemain," ujar Widodo C. Putro, mantan striker Persija yang tampil dalam final LI 2001 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, yang berkesudahan 3-2.
Kembali ke Merah
Pada pengujung masa kepengurusan Ferry Paulus, keputusan berani diambil klub-klub anggota Persija. Mereka sepakat mengembalikan warna kebesaran Persija menjadi Merah. Momen pengumuman perubahan dilakukan menjelang HUT Persija ke 87 yang jatuh pada 28 November 2015.
"Semangat yang diusung Spirit To Basic, kami klub-klub anggota berharap Persija bisa kembali berjaya dengan menggunakan atribut merah. Mulai 2016 Persija akan menggunakan kostum berwarna Merah," papar Kusheri Hapsari, Ketua Yayasan Persija.
Apapun keputusan yang diambil klub-klub internal, sejarah mencatat Persija menjadi klub besar saat menggunakan atribut merah, putih, serta oranye. Perubahan ini tak lantas mengubur sejarah panjang klub selama puluhan tahun. Para legenda meninggalkan kebanggaan lewat sederet trofi, baik di era perserikatan atau Liga Indonesia.
Advertisement
Juara 2018
Sempat menanti sangat lama setelah sukses 2001, penantian panjang The Jakmania berakhir pada 2018. Persija Jakarta berhasil menjadi juara. Trofi Liga Indonesia ke-11 ini sekaligus mempertegas predikat Macan Kemayoran sebagai klub tersukses di Tanah Air.
Tidak banyak yang meyakini Persija bisa merengkuh gelar Liga 1, label Liga Indonesia sejak 2017, pada dua tahun lalu. Paling banter, Macan Kemayoran hanya difavoritkan finis di lingkaran empat besar.
Namun, situasi mendadak berubah ketika Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menghukum Persib Bandung akibat perbuatan suporternya yang mengeroyok pendukung Persija hingga tewas ketika kedua tim bertemu.
Persib yang saat itu memimpin klasemen, perlahan turun dari tahtanya setelah harus bermain di luar Pulau Jawa plus tanpa penonton hingga kompetisi tuntas. Posisi tim berjulukan Pangeran Biru itu dikudeta oleh PSM Makassar dengan Persija menguntit di belakangnya.
Kedua tim bertarung hingga pengujung musim sebelum PSM terpeleset pada dua pertandingan terakhir kompetisi. Persija dengan sigap mengambil alih puncak klasemen hingga menjadi juara.
Banyak pihak waktu itu menuduh gelar juara Persija telah diatur. Asumsinya pemilik saham mayoritas Macan Kemayoran adalah Joko Driyono, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PSSI saat itu. Namun, tudingan tersebut tidak pernah terbuktikan.
"Sebetulnya jangan berbicara saja. Tolong dibuktikan. Segala sesuatu kan harus pakai bukti. Orang bisa saja membuat pernyataan, tapi butuh bukti," ujar bek Persija, Ismed Sofyan.
Pembina Persija kala itu, Syafruddin, juga membantah bahwa timnya sengaja diatur untuk menjadi juara. Mantan Wakapolri ini bilang gelar juara Macan Kemayoran tidak perlu diragukan.
"Tidak ada yang perlu dicurigai, jangan bikin hoaks dan macam-macam, saya ingatkan. Tidak ada yang perlu diragukan. Persija hanya seimbang Persib. Itu penilaian di persepakbolaan. Sekarang ini kesebelasan Persija paling tinggi. Kelasnya bukan di bawah, tapi tertinggi," kata Syafruddin, yang saat itu menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB).
Skuat Persija pada musim itu cenderung tidak mewah. Malah relatif sederhana. Macan Kemayoran masih ditangani oleh Stefano Cugurra Teco, pelatih muda yang kenyang pengalaman namun masih seret gelar.
Arsitek asal Brasil itu berhasil mengombinasikan wajah gaek semodel Ismed Sofyan dan Maman Abdurrahman dengan pemain berpengalaman seperti Andritany Ardhiyasa, Ramdani Lestaluhu, dan Riko Simanjuntak.
Belum lagi kontribusi empat pemain asing yang terdiri dari Jaimerson Xavier, Rohit Chand, Renan Silva, dan Marko Simic yang begitu besar. Teco sukses menyulap Macan Kemayoran sebagai tim terminim kebobolan; 36 gol dari 34 pertandingan.
Persija pada 2018 bukti penggambaran dari sebuah ungkapan "Bermain menyerang bisa memenangkan pertandingan, sementara bermain bertahan bisa merebut gelar juara." Rasanya trofi Liga 1 2018 Macan Kemayoran memang tidak perlu dipertanyakan.
Selamat ulang tahun Macan Kemayoran!