Bola.com - ‘‘West Ham fans are in the dream land (pendukung West Ham sedang berada di dunia mimpi), ’’ ucap penyiar Skysport UK saat saya menyaksikan laga Manchester City vs West Ham United di layar kaca The Tube Station bar di kota Wina, Austria, Sabtu (19/9/2015) malam waktu setempat.
Ucapan pembawa acara di stasiun televisi olahraga ternama di dunia itu, sebenarnya, tidak 100 persen tepat.
Advertisement
Sebagian besar fans The Hammers punya keyakinan besar bahwa musim ini tim kami bakal menampilkan permainan The West Ham Way di English Premier League (EPL). Kilas balik penampilan The Hammers musim lalu sebenarnya sudah menjadi bukti. Ketika dibesut Sam Allardyce musim 2014/2015, klub asal London Timur ini berhasil masuk jajaran 6 besar, bahkan sempat di posisi 4, hingga paruh musim.
Klub besar seperti Chelsea dan Liverpool berhasil dikalahkan Mark Noble dkk. Namun, penampilan West Ham meredup setengah musim berikutnya. Strategi Big Sam, sebutan bagi Sam Allardyce, yang terlalu memaksakan skema permainan duet Kevin Nolan dan Andy Carroll di pos depan dengan formasi 4-4-1-1 menghasilkan output yang justru merugikan; hanya mengukir 3 kali kemenangan sejak 26 Desember 2014.
Big Sam seperti menutup mata dengan performa Kevin Nolan yang sudah termakan usia. Nolan merupakan anak emas Big Sam sejak dirinya menukangi Bolton Wanderers pada 1999 hingga 2007. Saking kesalnya dengan strategi pelatih 19 Oktober 1954 ini, tidak sedikit fans The Hammers yang mengujatnya di setiap laga.
Bahkan, anak bungsu dari pemilik West Ham, Jack Sullivan, sampai berang dengan langkah Big Sam yang terus menurus memainkan Kevin Nolan. Jack sempat memuntahkan kekecewaannya dengan mengritik Kevin Nolan dan Big Sam melalui akun twitter-nya @jullivanwhu.
Tuntutan fans agar manajemen tidak memperpanjang kontrak mantan manajer Newcastle United, Blackburn Rovers, dan Bolton Wanderers pun diamini duo pemilik West Ham, David Gold dan David Sullivan. Kehadiran Slaven Bilic sebagai nahkoda tim memberikan harapan baru bagi klub yang berdiri tahun 1895 ini. Tidak seperti Big Sam, Bilic punya modal plus yang tidak dimiliki sosok manajer sebelumnya.
Kolaborasi Duet David dan Bilic-Dicks
Ia pernah membela panji The Hammers selama 1,5 musim pada tahun 1996. Untuk menguatkan jajaran tim pelatih, Bilic pun menggandeng bekas rekan satu timnya yang juga legenda West Ham, Julian Dicks. Kehadiran Dicks sebagai asisten pelatih langsung disambut antusiasme tinggi oleh fans.
Mayoritas fans West Ham menilai, duet Bilic-Dicks bakal mengubah cara bermain West Ham yang sebelumnya membosankan di era Big Sam (bola lambung ke depan dengan mengandalkan Andy Carroll) menjadi lebih atraktif dengan kerja sama tim yang solid.
Satu lagi keuntungan hadirnya sosok Dicks di dalam jajaran tim pelatih, ia punya hubungan yang baik dengan suporter. Komunikasi pria asal Bristol yang tercatat sudah 262 kali membela The Hammers dengan pemain ke-12 ini dilakukan melalui akun jejaring sosial twitter.
Tak jarang Dicks membalas pertanyaan-pertanyaan para fans saat waktu luang. Bahkan, beberapa fans dari tanah air pun sering mendapat respons dari pria yang dijuluki The Terminator ini. Kolaborasi Bilic-Dicks juga mendapat dukungan penuh dari Chairman WHU, David Gold-David Sullivan.
Saat masa jendela transfer pemain, Bilic bersama duo David berhasil menggaet sejumlah pemain penting. Salah satunya Dimitri Payet. Playmaker asal Prancis ini menjadi pembelian termahal musim ini dengan banderol, 10,5 juta poundsterling. Selain Payet, Bilic juga sukses mendatangkan pemain bertahan, Angelo Ogbonna, dari Juventus dan gelandang bertahan, Pedro Obiang, dari Sampdoria. Di posisi kiper, West Ham berhasil menggaet Darren Randolph sebagai back-up Adrian San Miguel.
Dua pemain yang musim lalu berstatus sebagai pemain pinjaman, Carl Jenkinson dan Alex Song, berhasil diperpanjang masa pinjamannya. Manajemen pun menambah satu pemain pinjaman, yakni Manuel Lanzini yang didatangkan dari klub Al Jazira Club.
Perburuan pemain pun tidak berhenti sampai di situ. Setelah ditinggal winger andalan musim lalu, Stewart Downing, WHU kembali memburu pemain sayap. Bilic yang menggemari formasi 4-2-3-1, sangat menginginkan pemain bertipe seperti Downing.
Duo David pun berhasil mencari penggantinya dengan mendatangkan dua pemain sayap sekaligus, yakni Victor Moses (pinjaman/Chelsea) dan Michail Antonio dari Nottingham Forest. Beberapa saat sebelum masa transfer pemain ditutup, West Ham berhasil memboyong striker Nikica Jelavic dari Hull City.
Skuat Terbaik
Kini komposisi pemain yang dimiliki WHU boleh dibilang komplet. Baru kali ini sejak 15 tahun terakhir, saya melihat komposisi 11 pemain inti dan cadangan yang dimiliki WHU berimbang. Tidak heran jika satu atau dua pemain absen, kekuatan The Hammers tidak pincang.
Terbukti pada tiga laga tandang melawan tim elite EPL, The Hammers tetap solid meski ada beberapa pemainnya yang absen. Ketika melawan Arsenal, posisi Pedro Obiang diserahkan kepada Reece Oxford yang baru berusia 16 tahun. Oxford tampil lugas dan berhasil meredam pergerakan Mesut Oezil dalam pertandingan yang dimenangkan The Hammers dengan dua gol tanpa balas.
Pada laga tandang berikutnya melawan Liverpool, The Hammers kembali kehilangan Adrian San Miguel di pos penjaga gawang. Namun, peran Adrian mampu ditutupi Darren Randolph yang berhasil menjaga gawang WHU tanpa gol di kandang Liverpool.
Pada laga tandang berikutnya melawan City, WHU harus kehilangan gelandang enerjik, Cheikhou Kuoyate. Pemain berkebangsaan Senegal ini merupkan roh di sektor tengah The Hammers. Ia juga piawai dalam bola-bola atas. Pada laga kontra Arsenal, sundulan Kouyate sukses membobol gawang Petr Cech. Posisi Kouyate pun bisa tergantikan dengan masuknya Obiang.
Selain belanja pemain, duo pemilik West Ham United juga tidak memberikan beban target yang tinggi kepada Bilic. Cukup masuk 10 besar di akhir klasemen EPL, Bilic dianggap sukses mengemban tugas yang diberikan duo David. Dengan target yang cukup realistis itu, Bilic pun merasa nyaman bekerja dan cukup optimistis mampu memenuhinya.
Satu alasan utama mengapa target yang diberikan kepada pelatih asal Krosia itu begitu sederhana, adalah lantaran musim ini merupakan musim terakhir Claret and Blue berlaga di Boleyn Ground (sebutan lain dari stadion Upton Park). Pemilik klub dan juga fans, tentu menginginkan agar anak-anak asuh Slaven Bilic ini menutup musim terakhirnya di stadion yang sejak 1904 ini berdiri dengan indah.
Kostum West Ham sendiri musim ini terasa spesial dengan adanya tulisan "Farewell Boleyn" di bagian dada kanan. Seluruh jajaran manajemen, pelatih dan juga pemain bertekad mempersembahkan kado istimewa kepada seluruh pendukungnya yang juga tersebar seantero Inggris dan dunia.
Bungkusan kado tersebut perlahan mulai diperlihatkan Mark Noble dkk. manakala mereka sukses mempecundangi tiga tim elite EPL, Arsenal, Liverpool, dan Manchester City di tiga laga tandang perdana musim ini. Sebagai fans The Hammers sejak era Paolo di Canio, saya dan juga mayoritas pendukung WHU lain, boleh dibilang tengah berada di dunia mimpi. Tapi mimpi kami tentu realistis. "Kami" bukan tim yang memiliki suntikan dana besar dari investor kaya raya asal Rusia maupun Timur Tengah.
Namun kalau bicara kecintaan fans The Hammers merupakan salah satu fans paling loyal di Inggris. Meski harga tiket nonton dibanderol super mahal, mulai 47 hingga 90 poundsterling per pertandingan, Boleyn Ground selalu sold-out.
The Hammers juga masih mengandalkan tradisi klasiknya yang mengutamakan pembinaan pemain muda. Jangan heran jika WHU mempunyai julukan lain,
yakni The Academy of Football. Nama-nama seperti Rio Ferdinand, Joe Cole, Michael Carrick, dan Frank Lampard merupakan beberapa pemain dulunya berasal dari akademi WHU.
Saat ini, Mark Noble dan James Tomkins, merupakan dua pemain yang merupakan jebolan akademi setempat. Di saat media-media memberikan sanjungan setinggi langit terhadap penampilan ciamik WHU, Slaven Bilic mengingatkan kembali bahwa West Ham bukan lah Real Madrid.
Ya, kami bukan tim dengan setumpuk pemain bintang di daftar susunan pemain. Suporter hanya sebuah tim ‘‘medioker‘‘ yang saat ini menunjukkan kalau uang bukan segala-galanya. Kami sadar betul untuk meraih gelar juara EPL mustahil bisa diwujudkan. Jangankan juara, menembus zona Liga Champions atau Liga Europa
Pun, dirasakan sangat-sangat sulit. Kami hanya bisa berharap The Hammers bisa kembali Berjaya seperti era Sir Bobby Moore, Martin Peters, dan Geoffrey Hurst yang membantu Inggris menjadi kampiun Piala Dunia 1966.
Kami para suporter hanya bisa bermimpi seperti lagu himne kebanggaan The Hammers yang selalu dilantunkan di setiap pertandingan, ‘‘Then like my dreams, They fade and die. Fortune’s always hiding, I’ve looked everywhere, I’m forever blowing bubbles, pretty bubbles in the air.’’
*) Penulis kontributor Bola.com yang menetap di Wina, Austria, yang juga anggota Hammers Indonesia.
Baca Juga:
West Ham Hadiahi Man City Kekalahan Perdana di Premier League
Dikalahkan West Ham, Pellegrini Soroti Penyelesaian Akhir City