Bola.com — 7 September 1940. Pemimpin Nazi, Adolf Hitler, memerintahkan Hermann Goering, memimpin pasukan Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) melaksanakan operasi Adlerangriffe ke Inggris. Tujuan Hitler awalnya hanyalah untuk "menggertak" Perdana Menteri Inggris, Winston Churhill, agar ambisinya menguasai dataran Eropa dalam Perang Dunia II berjalan mulus.
Rencana Hitler itu dikenal sebagai Battle of Britain yang berlangsung pada Juli hingga Oktober 1940. Pada awalnya Hitler melarang bomber-bomber menjatuhkan bom di kota London. Namun, lantaran pilot Luftwaffe lalai menjatuhkan bom ke wilayah tersebut, Angkatan Udara Inggris (RAF) pun tak tinggal diam.
Baca Juga
Advertisement
Baca Juga
Alhasil, perang tak terhindarkan. Hitler lalu memutuskan untuk meneruskan perang agar Inggris menyerah. J. Bowyer Bell dalam karyanya Besieged: Seven Cities Under Siege (2006), mencatat, sekitar 300 pesawat pengebom setiap hari menjatuhkan ratusan ton bom ke London.
Serangan tersebut, menurut Bowyer Bell, menewaskan puluhan ribu orang di London. Bahkan, tak hanya London, beberapa pelabuhan utama Inggris, seperti Liverpool, Manchester, Birmingham, Nottingham, Portsmouth, Coventry hingga Southampton juga tak luput dari serangan.
“Kami sama sekali tidak akan menyerah!" Demikian lantang Churchill saat mendapatkan intimidasi untuk menyerah dari Jerman di London. Selama masa perang, beberapa wilayah Inggris memang hancur lebur. Efek kehancuran armada Hitler pun tak kalah besar. Tercatat, Luftwaffe kehilangan 1733 pesawat tempur, sementara RAF kehilangan 915 pesawat.
Pada 13 Oktober 1940, Hitler akhirnya menunda serangan ke Inggris untuk memfokuskan invasi ke Soviet. Maklum, selama periodesasi Perang Dunia II kekuatan militer Nazi hanya mengandalkan produksi dalam negerinya sendiri. Di sisi lain, Inggris masih dapat memperoleh sukucadang dan pesawat-pesawat baru dari Amerika Serikat melalui perjanjian sebelum perang.
Namun, serangan kembali dilancarkan Hitler pada periode musim semi 1941. Beberapa kota pelabuhan serta industri kembali menjadi sasaran, termasuk Manchester yang hancur lebur setelah puluhan ribu pabrik serta bangunan dibom dalam operasi udara yang dikenal sebagai "Blitz Manchester".
"Hitler mencoba mengebom Taman Trafford, tetapi tidak mengenai sasaran. Setelah itu, kami pindah dari Old Trafford setelah bom-bom dijatuhkan ke Cliffton Street. Serangan itu menewaskan puluhan orang," kisah Ronald James Welsh, salah satu saksi mata, seperti dilansir BBC Archive (5 November 2003).
Maine Road
Pasca-serangan udara, kondisi beberapa kota di Inggris tampak mengerikan. Tumpukan debu menyelimuti jalanan dan beberapa daerah industri dipenuhi puing reruntuhan bangunan. Old Trafford pun menjadi salah satu saksi bisu keganasan angkatan udara Nazi dalam Perang Dunia II.
Secara tak langsung, periode inilah yang menjadi awal mula kemunculan rivalitas antara dua klub besar di Manchester, Manchester United dan Manchester City. Padahal, sebelumnya hubungan suporter serta pemain kedua klub, sejak masih bernama West Gorton (City) dan Newton Heath (MU), berjalan harmonis.
Ketika Old Trafford direnovasi, City mengizinkan MU menggunakan Stadion Maine Road untuk menjalani pertandingan kandang. Pada 1947, laga Manchester Derby pun tercatat sebagai salah satu peristiwa bersejarah dalam dunia sepak bola Inggris ketika mencatat rekor penonton terbanyak, yakni total 83.260 suporter di dalam stadion.
Akan tetapi, perlahan gesekan mulai muncul kala uang sewa stadion serta pembagian hasil penjualan tiket penonton menjadi persoalan. David Conn dalam Richer Than God: Manchester City, Modern Football and Growing Up (2014), menyebutkan, uang sewa sebesar 5.000 pounds tidak rutin dibayar oleh pihak Manchester United.
Hal tersebut membuat suporter City geram. Pada pertengahan 1949, mereka pun "mengusir" suporter MU dari Maine Road. Selain masalah sewa dan pembagian hasil, beberapa suporter MU juga dikabarkan kerap mengejek beberapa pemain City seusai laga. Belum lagi melihat suporter City yang juga merasa berperan membantu biaya renovasi Old Trafford karena berasal dana pemerintah kota.
Alhasil, pada tahun yang sama, City membentuk kelompok suporter resmi. Demikian halnya dengan MU yang sudah dapat kembali menggunakan Old Trafford. Setelah itu, pertandingan Manchester Derby pun berlangsung panas dan tak jarang, baik suporter dan pemain, terlibat perseteruan di dalam atau luar lapangan.
Lihat saja ketika legenda MU, George Best, mematahkan kaki Glyn Pardoe pada Manchester Derby, 12 Desember 1970. Empat tahun berselang, giliran Mike Doyle dan Lou Macari yang tetap ngeyel berada di lapangan meski sudah mendapat kartu merah dari wasit.
Pada April 1974, terdapat pula momen ikonik ketika Dennis Law, yang sudah berseragam City, mencetak gol dengan backheel ke gawang MU. Law mencoba tidak merayakan gol tersebut, namun tidak dengan ribuan suporter City di dalam stadion. Saking girangnya, suporter City turun ke lapangan dan pertandingan pun terpaksa dihentikan.
Perseteruan kedua klub berlanjut pada era 1990-an. Kali ini, giliran Roy Keane yang menjadi aktor utama ketika menamatkan karier Alf-Inge Haaland saat Manchester Derby digelar di Old Trafford pada April 2001. Bahkan, dalam autobiografi-nya, Keane mengaku sengaja melakukan tekel tersebut dan hingga saat itu tidak menyesali perbuatannya.
"Ada hal-hal yang saya sesali dalam hidup saya, dan dia (Inge Haaland) tak termasuk di dalamnya. Saya tak mencederai Haaland. Ketika Anda bermain sepak bola, Anda tahu bagaimana caranya mencederai seseorang," tulis Keane.
Tetangga berisik
Sepanjang periode 1990-an MU merajai Premier League, sementara City masih berstatus sebagai "tim papan tengah". Namun, titik balik kejayaan City bermula ketika pengusaha asal Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour, mengambil alih pada 2008 dan menjadikan skuat The Citizens sebagai salah satu klub terkaya di dunia.
Proyek besar City dimulai dengan memecahkan rekor transfer ketika merekrut Robinho dari Real Madrid dengan banderol sebesar 32,5 juta pounds. Pada musim berikutnya, giliran Gareth Barry, Roque Santa Cruz, Kolo Toure, Emmanuel Adebayor, dan mantan striker MU, Carlos Tevez, yang berlabuh ke Etihad.
Persaingan dengan MU semakin panas ketika eks manajer MU, Sir Alex Ferguson, melontarkan sindiran "tetangga berisik" kepada suporter City. Sindiran Ferguson mengacu terhadap sikap fans City yang juga beberapa kali menyindir MU lantaran timnya berhasil merayu Tevez agar menolak perpanjangan kontrak di Old Trafford untuk bergabung dengan City.
Puncak persaingan terjadi pada musim 2011-12. MU sudah menang 1-0 atas Sunderland pada pekan ke-38 Premier League. Sementara itu, di saat bersamaan, City masih tertinggal 1-2 dari Queens Park Rangers. Jika City kalah ataupun seri, MU juara. Ferguson bahkan tampak seperti sudah mengepalkan tangannya ke atas sembari menunggu laga City vs QPR berakhir.
Namun, petaka bagi MU tiba pada masa injury time. Setelah sukses menyamakan kedudukan, Aguero kembali membobol gawang QPR hanya dalam kurun waktu dua menit untuk membalikkan keadaan sekaligus membawa City menang 3-2. Aguero bersama puluhan ribu suporter City berpesta, sementara Ferguson tertunduk lesu menahan kecewa.
Kesuksesan tersebut membuat City menjadi salah satu tim papan atas Premier League. Setelah itu, penampilan mereka cukup konsisten. Pada musim 2013-14, City pun kembali meraih gelar. Sementara itu, MU, setelah ditinggal Ferguson yang pensiun pada 2013, hingga kini masih mencari permainan terbaiknya di bawah asuhan Louis van Gaal.
Pada Minggu (20/3/2016), City dan MU bakal kembali bertemu dalam edisi ke-171 Manchester Derby di Etihad Stadium. Kedua tim sama-sama optimistis meraih kemenangan. Toh, sepak bola adalah harapan. Dari harapan itulah semangat juang bisa muncul dalam diri pemain atau suporter, sama seperti ketika muncul rivalitas membara antara kedua klub Manchester yang awalnya bermula dari rencana Hitler dalam Perang Dunia II.
"Saya tidak tahu apa itu sebenarnya arti pertandingan derbi di negara lain. Akan tetapi, saya tidak pernah benar-benar mengerti apa yang harus diharapkan saat kami bermain melawan Manchester City." - Sir Alex Ferguson.
Sumber: berbagai sumber